Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. UANG HASIL...
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Di dalam kamar yang sunyi, Alya duduk di tepi tempat tidurnya.
Matanya menatap tajam ke arah tumpukan uang berwarna merah yang tergeletak di atas nakas yang seakan berkilau dalam redupnya lampu kamar.
Uang itu tampak seperti pengingat dari segala dosa yang telah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir. Sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa ia tolak.
Alya menarik napas panjang, lalu berdiri dan berjalan ke pintu kamar.
Dia menguncinya dengan cepat, karena khawatir ada seseorang yang tiba-tiba masuk dan menemukan rahasia terbesarnya.
Setelah itu, dia kembali duduk, lalu membuka ranselnya yang sudah mulai sesak oleh gepokan uang.
"Sampai kapan aku akan terus seperti ini?," bisik Alya, suaranya bergetar oleh rasa bersalah.
Lalu, ia mengambil salah satu tumpukan uang itu dan mengamatinya dengan teliti. "Ini bukan yang aku inginkan. Aku bukan orang seperti ini..."
Setiap lembar uang di tangannya terasa seperti beban yang semakin menekan hatinya. Uang yang diberikan Arman setelah setiap kali mereka berbuat salah.
Arman, dengan segala karismanya, selalu berhasil membuat Alya terjebak dalam hubungan yang salah. Dan seolah untuk menenangkan hatinya, Arman memberikan uang sebagai imbalan, atau mungkin untuk membungkamnya.
“Dengan uang ini... aku bisa membantu keluargaku. Tapi, apa yang sudah aku korbankan?," gumam Alya, tangannya menggenggam lembaran uang itu erat-erat.
Pandangannya menerawang jauh, membayangkan wajah kedua orang tuanya di desa, dan adik-adiknya yang masih kecil.
Air mata Alya kini mulai mengalir tanpa bisa ditahan. "Ini semua salah... aku tahu ini salah... tapi bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?."
Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan yang basah oleh air matanya. Setiap pemberian dari Arman bukan hanya materi, melainkan juga sebuah tanda bahwa ia terjebak lebih dalam, dalam lingkaran hitam ini.
Setelah beberapa saat, dia mengusap air matanya dan menatap kembali tumpukan uang itu.
Pikiran untuk meninggalkan semuanya, berhenti bekerja di rumah Arman dan Andin, sempat terlintas di benaknya.
Tapi, dia tahu bahwa dunia di luar sana tak mudah. Uang yang telah ia kumpulkan bisa menjadi jalan keluar bagi keluarganya yang hidup susah, namun harga yang harus ia bayar terlalu mahal.
"Sampai kapan aku bisa bertahan?," bisik Alya lagi, kali ini dengan nada lemah dan penuh keraguan.
Kemudian Alya meraih ranselnya dan dengan hati-hati memasukkan tumpukan uang itu ke dalamnya untuk memastikan tidak ada yang terlihat dari luar.
Sambil memeluk ransel itu, Alya berbaring di tempat tidurnya, berharap bisa tidur dan melupakan sejenak semua beban yang ia rasakan. Tapi kenyataan terus membayanginya, dan suara hatinya tidak bisa diabaikan.
**
Keesokan harinya...
Pagi itu, setelah sarapan, Alya memberanikan diri untuk berbicara dengan Andin. Dengan hati-hati, ia menghampiri majikannya yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.
“Nyonya, saya mau minta izin sebentar keluar rumah setelah menyelesaikan tugas saya,” ucap Alya.
Andin menoleh lalu tersenyum ramah. “Oh, tentu saja, Alya. Tidak masalah. Ada urusan apa?,” tanyanya.
“Cuma ada perlu sebentar, Nyonya,” jawab Alya dengan singkat dan berusaha menutupi rasa gugupnya.
Andin pun mengangguk tanpa ragu. “Baik, tapi jangan terlalu lama, ya. Jaga diri di luar.”
"Baik, Nyonya... Terima kasih."
Setelah menyelesaikan tugas-tugas di rumah besar itu, Alya lalu kembali ke kamarnya.
Dengan hati yang berdebar, ia membuka ransel besar di sudut ruangan yang terisi dengan uang yang telah disimpan selama ini. Ia menatapnya sejenak lalu menutupnya kembali.
"Aku tidak bisa terus menyimpannya seperti ini, semuanya akan terbongkar jika orang lain tau," bisik Alya.
Pukul sepuluh tepat, Alya siap untuk keluar rumah. Dia mengenakan pakaian sederhana, tetapi penampilannya tetap bersih dan rapi.
Dengan ransel besar yang menggantung di punggungnya, ia pun keluar dari kamarnya lalu berjalan menuju pintu depan.
Namun, tepat saat ia hendak keluar, Dinda tiba-tiba muncul dari arah dapur, memandang ke arah Alya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
“Alya, kamu mau pergi ke mana?,” tanya Dinda sambil menyipitkan mata dan memperhatikan ransel besar yang terlihat berat di punggung Alya.
Alya tersenyum kecil dan mencoba tetap tenang. “Ada perlu sebentar di luar, Dinda. Tidak lama.”
Dinda mengangguk, tapi tatapannya tetap tertuju pada ransel besar itu. “Kamu bawa apa di dalam ransel itu? Kok besar sekali? Berat ya kelihatannya.”
"I-ini...."
Alya tergagap sejenak, merasa gugup, tapi berusaha tetap tenang. “Ah, ini cuma... barang-barang yang perlu aku bawa untuk urusan penting. Tidak apa-apa, kok.”
Dinda masih tampak penasaran, tetapi akhirnya tidak bertanya lebih jauh. “Oh, ya sudah. Hati-hati di luar, ya.”
Alya pun tersenyum samar dan mengangguk. “Terima kasih, Dinda.”
Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya lagi, Alya melangkah dengan cepat keluar dari pintu utama.
Udara pagi yang sejuk menyambutnya ketika ia berjalan menuju gerbang rumah. Di pinggir jalan, Alya mencegat sebuah taksi yang kebetulan melintas. Ia membuka pintu taksi dengan cepat dan masuk ke dalam.
“Ke mana, Mbak?," tanya sopir taksi seraya menoleh ke arah Alya.
“Ke bank, Pak,” jawab Alya, suaranya terdengar mantap namun hatinya bergetar.
Taksi pun melaju, membawa Alya menuju bank. Dalam perjalanannya, Alya hanya diam dan berpikir panjang.
Uang yang ada di ransel bukanlah hasil jerih payahnya yang tulus, melainkan hasil dari hubungan terlarang yang ia jalani bersama Arman.
Namun, Alya merasa tidak punya pilihan lain. Dia butuh menabung uang itu untuk masa depan keluarganya di desa.
"Apakah aku salah mengambil jalan ini?," gumam Alya dalam hati, pertanyaan yang terus-menerus menghantuinya.
**
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya taksi yang membawa Alya berhenti di depan sebuah bank besar di pusat kota.
"Ini Pak," kata Alya seraya menyerahkan beberapa lembar uang.
Lalu Alya pun keluar dari taksi dan menggendong ransel berisi uang di punggungnya lalu berjalan menuju pintu masuk bank.
Namun, sebelum sempat melangkahkan kaki ke dalam, seorang pria tiba-tiba muncul dari arah samping, berpakaian rapi namun dengan senyum licik di wajahnya.
“Permisi, Mbak. Mau ke bank, ya?," sapa pria itu dengan ramah dan terlihat terlalu akrab.
Alya menoleh dan sedikit terkejut. “Iya, Pak. Mau buka rekening tabungan,” jawabnya dengan polos dan tidak mencurigai apapun.
“Oh, kebetulan sekali!,” kata pria itu seraya mendekatkan diri. “Saya kerja di dalam bank sini. Mbak baru pertama kali ya mau buka rekening? Wah, kalau gitu, saya bantuin aja. Mbak enggak perlu repot-repot antri lama di dalam.”
Alya mengerutkan kening dan agak bingung. “Oh, benar, Pak? Saya baru pertama kali mau buka tabungan.”
Pria itu pun tersenyum lebar karena melihat kesempatan. “Tentu saja! Sekarang ini banyak nasabah yang sibuk, jadi bank kasih kemudahan. Apalagi kalau bawa uang tunai banyak, ya? Nanti di dalam repot, Mbak. Biar aman, saya bantu urus di sini aja. Jadi Mbak tinggal serahkan uangnya ke saya, nanti saya setorkan langsung ke sistem. Cepat dan gampang, kan?.”
Maklum, Alya yang belum pernah menabung dalam jumlah besar dan tidak terlalu paham prosedur bank, mulai merasa sedikit bingung tapi tergoda oleh kemudahan yang ditawarkan.
“Tapi... apakah benar begitu caranya, Pak?,” tanyanya ragu sambil memegang erat tali ranselnya.
“Oh, tentu! Bank sekarang lebih fleksibel. Mbak pasti enggak mau antri lama-lama di dalam, kan? Lagi pula, kalau bawa uang banyak kayak gini, kadang bisa bahaya, loh. Biar lebih aman dan cepat, serahkan saja pada saya. Saya jamin, Mbak enggak perlu khawatir.”
Alya terdiam dan memikirkan ucapannya. Sementara ransel di punggungnya terasa semakin berat hingga ia pun mulai gelisah.
"Benarkah orang ini akan membantuku?," batin Alya.
Namun, wajah pria itu tampak sangat meyakinkan, dan tanpa pengalaman sebelumnya, Alya merasa bingung harus berbuat apa.
Melihat Alya mulai goyah, pria itu makin mendekat dan tersenyum ramah. “Jadi, bagaimana? Biar saya bantu, Mbak. Kita percepat urusannya, enggak perlu ribet.”
Alya menatap pria itu sejenak. Ia sempat ragu, tapi ia akhirnya mengangguk pelan, percaya pada penampilan dan sikapnya yang terlihat resmi. “Baiklah, Pak.”
Saat Alya mulai membuka ranselnya, pria itu melihat tumpukan uang yang mengisi hampir seluruh ruang di dalamnya. Matanya pun bersinar penuh keserakahan, meskipun wajahnya tetap menjaga senyum profesional.
“Bagus, Mbak. Saya urus ini sekarang,” katanya sambil mengambil ransel dari tangan Alya.
Tepat saat pria itu akan pergi, seseorang dari dalam bank melihat mereka dari jauh dan mendekat dengan cepat. “Mbak, hati-hati! Jangan kasih uang sembarangan."
Suara itu membuat Alya terkejut dan segera menarik kembali ranselnya dengan cepat. Seketika raut wajah pria itu mendadak berubah, ia tampak panik sejenak sebelum berusaha tersenyum lagi.
Namun, Alya sudah mulai curiga dan menjauh dari pria tersebut karena merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Maaf, Pak. Saya rasa saya urus sendiri saja di dalam,” kata Alya dengan tegas.
"Aish!."
Pria itu mendesis marah dalam hati, tapi ia tetap berusaha menjaga sikap. “Ah, ya, Mbak. Kalau begitu, silakan saja. Tapi hati-hati, ya, Mbak.” Lalu pria itu segera pergi dengan cepat dan menghilang di keramaian.
Kini Alya berdiri mematung di depan bank dengan napas yang terasa berat. Baru saja ia hampir kehilangan seluruh uangnya, tapi berkat seseorang yang memperingatkannya, ia pun terselamatkan.
Lalu, Alya melangkah ke dalam bank dengan lebih berhati-hati kali ini. Dan sekarang seluruh uangnya sudah ia simpan di tabungan.
"Ayah, Ibu, sebentar lagi aku pulang," gumam Alya sambil memegang kartu ATM di tangannya.