NovelToon NovelToon
Perempuan Di Balik Topeng Kemewahan

Perempuan Di Balik Topeng Kemewahan

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Cerai / Percintaan Konglomerat / CEO Amnesia / Diam-Diam Cinta / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Idayati Taba atahiu

Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.

Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian

Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Hujan turun deras di kota yang ramai. Amara berjalan sepanjang jalan, mencoba mencari taksi. Ia merasa terpuruk dan tak berdaya. Ia tak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia takut menyakiti ayahnya yang sedang sakit dan ia takut menyakiti ibunya.

Amara berjalan terus menerus, tanpa tahu arah tujuan. Ia hanya ingin menjauh dari rumah Radit dan dari Dewi dan Yuni.

Ketika sampai di sebuah rumah yang sederhana, Amara bertemu dengan seorang ibu muda yang bernama Sania. Ibu Sania pun menawarkan tempat tinggal untuk Amara.

"Maaf, Mbak. Kamu kelihatan lelah dan basah k kuyup. Mau menginap di rumah saya?" tanya Sania dengan suara yang lembut.

Amara menatap Sania dengan heran. "Maaf, Mbak. Saya tak mau merepotkan Anda."

Sania tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Mbak. Rumah saya masih luas. Lagipula, saya sendiri di rumah. Sangat sepi."

Awalnya, Amara masih merasa keberatan. Ia tak mau membuat Sania kerepotan. Tapi karena dipaksa dan Sania merasa kasihan pada Amara, akhirnya Amara pun mau menginap di rumah Sania.

"Terima kasih, Mbak," ujar Amara, suaranya bergetar sedikit. "Saya sangat berterima kasih."

Sania tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Mbak. Silahkan masuk. Saya akan menyiapkan minuman hangat untukmu."

Amara berjalan masuk ke rumah Sania. Ia merasa lega dan terharu dengan kebaikan Sania. Ia berharap bisa menemukan kebahagiaan di rumah baru ini.

*******

"Oh ya, siapa namamu?" tanya Ibu Sania, ramah.

"Namaku Amarah," jawab Amarah, sedikit gugup.

"Aku Sania. Kamu boleh memanggilku Ibu Sania," kata Ibu Sania, tersenyum hangat.

Amarah terdiam, hatinya sedikit terenyuh. Kebaikan Ibu Sania membuatnya merasa sedikit tenang di tengah badai yang sedang ia hadapi.

Kejadian yang dialaminya di kota besar, jauh dari kampung halamannya, masih terbayang jelas di benaknya. Amarah memilih untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Ibu Sania. Rasa malu dan takut membuatnya memilih untuk menyimpan beban itu sendiri.

Setelah tiga hari menumpang di rumah Ibu Sania, Amarah memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Ia ingin memulai hidup baru, terlepas dari masa lalu yang pahit.

"Ibu Sania, saya ingin mencari tempat tinggal sendiri," kata Amarah, dengan suara sedikit gemetar.

"Kenapa, Nak? Apa ada masalah?" tanya Ibu Sania, khawatir.

Amarah hanya menggeleng pelan, "Tidak apa-apa, Bu. Saya ingin mencoba hidup mandiri."

Ibu Sania menatap Amarah dengan sorot mata penuh pengertian. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis muda itu, tetapi ia tidak memaksa untuk menceritakannya.

"Baiklah, Nak. Ibu doakan yang terbaik untukmu," kata Ibu Sania, sambil mengusap lembut rambut Amarah.

Amarah berpamitan kepada Ibu Sania, hatinya dipenuhi rasa haru dan sedikit kecemasan. Ia memulai perjalanan baru, mencari tempat tinggal dan pekerjaan, sambil terus berjuang untuk menyembuhkan luka batinnya.

Kejadian yang dialaminya masih menjadi bayang-bayang yang menghantuinya, tetapi Amarah bertekad untuk bangkit dan menjalani hidup dengan lebih baik. Ia percaya bahwa masa depan yang cerah masih menunggunya, di balik semua kesulitan yang telah ia lalui.

******"

Setelah beberapa hari menelusuri jalanan kota, Amarah akhirnya menemukan secercah harapan. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten sekretaris di sebuah perusahaan yang memproduksi pakaian Muslim. Amarah diterima dengan baik dan langsung merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya.

"Kamu diterima, Amarah! Selamat!" Pak Mulyono, sekretaris perusahaan, tersenyum lebar menyambut Amarah.

Amarah merasa lega. Sambil berterima kasih, ia bertanya, "Apakah saya akan bekerja langsung dengan Bapak?"

"Tentu saja! Dan kamu akan sangat disayang, karena saya memiliki seorang anak laki-laki yang akan datang dari Amerika besok pagi," kata Pak Mulyono, matanya berbinar.

Amarah tercengang. Pak Mulyono menceritakan semuanya kepada Amarah, seakan-akan ia sudah menjadi bagian dari keluarganya. Amarah pun mulai merasa nyaman dan bersemangat dengan pekerjaan barunya.

"Besok pagi, kamu bisa membantu saya menyiapkan kamar tamu untuk anak saya," kata Pak Mulyono.

"Tentu, Pak," jawab Amarah, semangat.

Amarah merasa bersyukur.

******

Matahari mulai meredup, menandakan hari telah menjelang senja. Amarah duduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas. Hari ini, ia telah menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor. Pak Mulyono, sekretarisnya, berpesan agar ia pulang lebih awal karena besok pagi akan ada tamu istimewa, anak laki-lakinya yang baru pulang dari Amerika.

Amarah terdiam, pikirannya melayang ke masa lalu. Ia teringat akan janji manis Mas Radit, pria yang pernah ia cintai dan ia nikahi. Namun, janji itu kini telah sirna, digantikan oleh luka dan kekecewaan. Rasa sakit dan kekecewaan itu seakan mencengkeram hatinya, membuatnya sesak dan tak berdaya.

Amarah meraih ponselnya, jari-jarinya gemetar. Ia ingin menelepon ibunya, menceritakan semua yang telah terjadi. Sudah berhari-hari ia menahan rasa sakit dan kesedihan, tapi kini ia tak sanggup lagi. Ia ingin berbagi beban dengan ibunya, orang yang paling ia cintai dan percayai.

"Ma, Amara mau cerita," bisik Amarah, suaranya bergetar. Ia bisa merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah.

Di seberang sana, suara ibunya terdengar sayu. "Ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis?"

Amarah menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Ma, Amara sudah pergi dari rumah Mas Radit," katanya, suara bergetar. Ia merasa lega bisa mengeluarkan kata-kata itu, meskipun hatinya masih terasa sesak.

"Kenapa, Nak? Kenapa kamu pergi? Mas Radit sudah tidak sayang lagi sama kamu?" tanya ibunya, nada suaranya khawatir.

Amarah terdiam, air matanya mulai menetes. "Ma, Mas Radit tidak lagi menganggapku sebagai istrinya. Ia sudah bahagia dengan istri pertamanya, Mbak Dewi, dan juga Mbak Yuni. Mereka berdua telah mengusirku dari rumah. Mas Radit salah paham dengan aku, Ma. Mbak Dewi dan Mbak Yuni menjebakku," kata Amarah, suaranya terisak. Ia merasa sangat sedih dan kecewa, perasaan itu membuat tubuhnya gemetar dan suaranya terengah-engah.

Di seberang sana, ibunya hanya terdiam. Amarah mendengar isak tangis ibunya, suara yang begitu menyayat hati. Amarah menyesal telah menceritakan semuanya kepada ibunya. Ia takut membuat ibunya sedih.

"Ma, maaf. Amara salah. Seharusnya Amara tidak menceritakan semua ini kepada Mama," kata Amarah, suaranya terengah-engah. Ia merasa bersalah telah membuat ibunya sedih, ia ingin menarik kembali semua kata-katanya.

"Tidak apa-apa, Nak. Mama mengerti. Mama selalu ada untukmu. Kamu tidak sendirian," kata ibunya, suaranya lembut. Kata-kata ibunya menjadi obat penenang bagi Amarah, ia merasa sedikit tenang mendengarnya.

Amarah terdiam, air matanya semakin deras. Ia merasa sangat bersalah telah membuat ibunya sedih. Ia menyalahkan dirinya sendiri, mengapa ia tidak bisa menjaga hati Mas Radit? Mengapa ia harus mengalami semua ini?

"Ma, Amara takut. Amara takut tidak bisa melewati semua ini," kata Amarah, suaranya berbisik. Rasa takut dan ketidakberdayaan menguasai dirinya, ia merasa sangat rapuh dan tak berdaya.

"Tidak apa-apa, Nak. Mama selalu ada untukmu. Kamu kuat, Nak. Kamu bisa melewati semua ini," kata ibunya, suaranya penuh dengan kasih sayang. Kata-kata ibunya menjadi sumber kekuatan bagi Amarah, ia merasa sedikit lebih berani dan tegar.

Amarah terdiam, ia merasakan pelukan hangat ibunya, meskipun hanya melalui telepon. Ia merasa sedikit tenang, meskipun rasa sakit dan kekecewaan masih menghantuinya. Ia tahu, ibunya akan selalu ada untuknya, menemaninya melewati badai kehidupan.

1
nao chan
Semangat terus ya, ditunggu kelanjutan ceritanya!"
Idayati Taba atahiu: amin..trimkasih kak
total 1 replies
Alexander_666
Alur cerita ini mengejutkan dan memikat hatiku.
Idayati Taba atahiu: terimaksih kak...lanjutkan membaca yaa
total 1 replies
Jock◯△□
Intrik yang kuat!
Idayati Taba atahiu: trimkasih kak...lanjutkan membacanya yaa
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!