Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33 - Tempat Asing
“Haaah?” Pria paruh baya dengan rambut mengembang kusut itu menoleh seraya memiringkan kepala, memberi tatapan jengkel.
Ia tak habis pikir. Di tengah kondisi yang kian memburuk, Tuan Minos justru tetap memaksakan diri. Hal itu tentu akan membuat raganya semakin hancur.
Sambil mengorek kupingnya dengan jari kelingking, tatapan malasnya masih tertuju pada lawan bicaranya tersebut. “Dari pada sibuk membual dengan mulut kotormu itu. Lebih baik kau gunakan sisa tenagamu itu untuk kembali ke kastil. Atau kau mau berakhir menyedihkan di sini? Sudah tahu dikhianati, kau malah membiarkan tubuhmu yang jelek itu semakin hancur.”
Tuan Minos tidak menjawab. Tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggantung lemas. Sementara gumpalan rambut di tangannya masih setia ia genggam.
Mencoba menaikkan pandangan dengan susah payah seraya menggerakkan kedua kakinya yang berat—layaknya ditempeli sebuah magnet, Tuan Minos melihat penyihir di depan sana mulai merapalkan mantra.
Mulutnya komat-kamit. Gerakkan tangannya memutar, melilitkan rambut milik kedua perempuan tadi pada sebuah benda kecil mirip seperti akar pohon, yang setiap kali dililit benda tersebut akan berpendar mengeluarkan cahaya.
Kedua mata Tuan Minos membelalak kala menyaksikan hal tersebut. Meski tidak tahu mantra apa yang sedang dirapalkan dan entah ritual apa yang akan dilaksanakan, tapi dirinya menduga, besar kecil kemungkinannya, ini adalah ritual pemindahan jiwa.
“HENTIKAN!” Sekuat tenaga mulutnya berteriak, tangannya terulur ke depan. Menggapai-gapai angin, berusaha untuk menahan pergerakannya meski terlihat mustahil.
Tenaganya tak cukup kuat untuk menggerakan energi sihir dalam dirinya, dan kedua kakinya masih diupayakan untuk bisa bergerak cepat. Ingin berlari ke depan dan menghentikan apapun yang akan dilakukan oleh penyihir itu.
“Ini sudah saatnya ... kini, siapapun tak lagi bisa menghentikanku. Maka ... Demi sang penguasa kegelapan! Dengan darah sebagai perjanjian, dengan nyawa sebagai persembahan, dan dari kami yang telah bersumpah setia tanpa akhir...”
Ketika perkataan sumpah tersebut terucap dari mulut sang penyihir, Tuan Minos geleng-geleng kepala. Lidahnya terasa kelu, tapi melalui matanya—segalanya tergambar jelas di sana.
“... Melalui batas kehidupan dan kematian ... wahai sang penguasa kegelapan! Bukalah jalan bagi perpindahan ini—”
“Tidaaaakkkkk!” jerit Tuan Minos melengking, suaranya menutup suara komat-kamit mantra yang dilafalkan oleh penyihir yang nampaknya begitu fokus, tak mengindahkan apapun yang ada di sekitarnya.
Telapak kakinya yang terasa berat hingga rasanya sulit untuk melangkah dari tanah, ia paksakan untuk tetap melangkah. Seluruh tulang-tulang dalam tubuhnya terasa seperti terlepas dari tempatnya, semua permukaan kulitnya meleleh—nyaris melebur dan membuat sebagian wajahnya penyok, pandangannya pun mulai tertutup.
“Sedikit lagi ... Sedikit lagi, kumohon!” gumamnya sambil terus menggerakkan tungkai kakinya yang gemetar hebat.
Tetesan hitam dari kulitnya yang melebur seolah timah panas, berlomba-lomba jatuh ke tanah layaknya hujan, mencipta kepulan asap di mana-mana.
Jantungnya bertalu-talu, semakin kuat, terasa nyata ingin melompat keluar. Dan beberapa detik selanjutnya, ketika Tuan Minos tetap mengabaikan penderitaan dari rasa sakitnya, kalung aegis yang masih terikat di leher seketika pecah sehingga cahayanya padam total.
Dan ketika satu langkah lagi dirinya berhasil meraih dan menghentikan pergerakan dari aktivitas pria tua itu, tiba-tiba saja tubuhnya tertarik ke belakang. Bagian punggungnya seperti dicengkram oleh sesuatu, dibawa terbang menjauh sehingga jarak antara dirinya dengan penyihir itu jadi jauh kembali.
Di sisa-sisa sebelum pandangannya mengabur, Tuan Minos melihat bahwa acara ritual tersebut sepertinya sudah berhasil dilakukan. Naina yang semula terbujur kaku, beberapa kali mulai menggerakkan anggota tubuhnya.
“Meski tahu aku telah dikhianati, mengapa rasa sakitnya jauh lebih terasa ketika tahu dia tak lagi bisa berada di sisiku?”
***
Di tempat nun jauh di sana, di luar kendali dunia tempat mahluk hidup yang masih bernyawa, seorang perempuan berambut panjang dengan gaun putih bersihnya terlihat berjalan sendirian.
Kaki tanpa alas itu memapah diri tanpa tahu arah, tanpa pernah tahu dirinya sedang ada di mana. Pada ruangan kosong berwarna putih yang terlihat tak memiliki ujung itu, dia bersenandung kecil, seolah inilah tempat yang paling dia senangi.
“Kenapa kau kemari?”
Pertanyaan yang disodorkan barusan membuat perempuan itu berhenti melangkah. Ketika kepalanya menoleh, sepasang mata pemilik seseorang yang bertanya langsung membeliak ketika melihat siapa penghuni baru di sini.
“Eh, kau?!”
Perempuan itu menyelipkan rambut ke belakang telinga, ekspresi wajahnya seperti sedang kebingungan. “Iya, ada apa denganku?”
Perempuan bergaun merah itu berlarian kecil, bergerak menghampiri lebih dekat. Lalu meletakkan kedua tangannya di bahu lawan bicaranya. “Ini aku! Kita pernah bertemu sebelumnya. Kau ingat?”
Perempuan yang terlihat linglung itu menggelengkan kepala. “Tidak. Aku bahkan ... tidak ingat apapun.”
Pandangannya mengedar ke sekitar, melihat permukaan putih yang menghiasi seluruh penjuru tempat. Layaknya berada dalam ruang putih kosong yang di dalamnya hanya mereka berdua saja.
Perempuan bergaun merah itu berkedip-kedip cepat. “Ti-tidak ingat apapun? Kau serius?!”
Pegangannya pada kedua bahu seseorang dihadapannya reflek dikencangkan, sedikit ia goyangkan sembari mencondongkan wajah.
Ia mengangguk. “Aku juga tidak tahu namaku siapa, aku berasal dari mana dan bagaimana caraku menjalani hidup selama ini. Tapi yang jelas ... Aku merasa tenang. Seolah aku baru saja melepaskan beban-beban kehidupan dalam diri ini.”
Sang empu yang mendengarnya langsung terdiam. Mencermati situasi yang terjadi saat ini. Sekelebat pikirannya memunculkan satu dugaan yang mungkin bisa mendeskripsikan situasi di sini.
“Kau mungkin telah lupa dengan segalanya. Tapi kau perlu tahu, seburuk apapun kehidupanmu di dunia, kau masih punya satu alasan bahwa kau masih layak kembali ke sana untuk mendapatkan kebahagiaan.”
Mata mereka bertemu lebih dekat. Jarak wajah di antara keduanya hanya tersisa satu jangkauan hembusan napas panjang.
“Kebahagiaan apa lagi yang perlu kucari, jika di sini saja sudah bisa membuatku tenang?” Perempuan bergaun putih itu bertanya, mimik wajahnya seperti sedang meragukan.
“Kau harus kembali! Apa kau tahu tempat apa ini? Kau tidak bisa menemukan kebahagiaan di sini. Kau tidak akan merasa cukup jika hanya dengan merasa tenang saja. Kebahagiaan banyak bentuknya, dan salah satu sumber terbesarnya ada dalam cinta. Dan kau...”
Perkataannya menggantung, ada yang tertahan dalam dada. Rasanya sesak sekali. Tapi meski begitu, sejak awal dirinya tahu bahwa kesempatan itu hanya datang untuk orang lain, bukan untuk dirinya.
“... Punya kesempatan untuk merasakan hal itu,” tutupnya dengan nada bicara yang mulai melemah, kepalanya menunduk, cengkraman tangan pada bahu sudah hampir melorot.
Sambil menelengkan kepala dan memasang tatapan polos, ia menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Aku—”
“Akkhhh! Cepat pinjamkan auramu padaku, biar aku yang kembali ke sana untuk menangani semua kekacauan ini,” potongnya yang mulai tak sabaran.
“Bagaimana cara aku meminjamkannya padamu?”
***