Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HUKUMAN APA YANG PANTAS UNTUK MEREKA?
“Tunggu kalian ini sedang patrolkan?” Tanya Bima sedikit mengatur napasnya.
“Na’am ustadz.” Jawab salah seorang santri putra yang terlihat kebingungan itu.
Bima mangambil napasnya dengan pelan, lalu kembali bersuara. “Kalian, apa kalian melihat Almaira dan teman-temannya?” Tanyanya. Santri putra itu dan kedua temannya menggeleng tanda tak tahu.
“Afwan ustadz, sedari tadi kami berkeliling tak satu pun santri baik itu putra maupun putri kami lihat disekitar pondok.” Jawab salah seorang dari mereka.
Bima semakin panik, kemana sebenarnya istrinya itu dan ketiga temannya? Astaga ini sudah hampir setengah jam Adira dan teman-temannya belum kembali juga dan mereka sudah mencari disetiap sudut pondok namun tidak menemukan batang hidung mereka ini.
“Begitu ya, nanti jika bertemu dengan salah satu dari mereka minta untuk segera menemui saya.” Ujar Bima.
“Na’am ustadz.”
“Kalian silahkan lanjutkan lagi.” Bima mempersilahkan mereka kembali melanjutkan tugas yang sempat tertunda itu karena dirinya.
Sepeninggalan santri putra itu kini Bima memilih duduk dipembatas jalan yang kecil itu, mengacak rambutnya dengan asal-asalan. “Kemana si kamu Almaira? Jangan buat saya khawatir.”
Almaira pulang, noh suamimu khawatir!
“Bima!”
Bima menganggkat kepalanya, melihat Agra, Abraham dan Abyan berjalan kearahnya dengan langkah lebar mereka.
“Bagaimana? Kau menemukan mereka?” Tanya Agra mewakili kedua temannya. Perasaannya tak bisa berbohong sangat khawatir dan panik tak mendapati istrinya dirumah.
Helaan napas terdengar semakin berat saat melihat gelengan dari Bima, berarti Adira dkk masih belum ditemukan.
“Astaghfirullahal ‘adzim, kemana mereka ini sampai disekitaran pondok pun tidak ada?” Abraham mendudukkan bokongnya disebelah Bima.
Keheningan sempat terjadi, mereka mencoba menerkah-nerkah dimana tempat apa lagi yang mereka belum cari dan juga kemana sebenarnya santriwati bandel ini?
“Sedang apa kalian di sini?” Tanya seorang laki-laki paru baya dengan sarung hitamnya serta baju kokoh putih yang masih rapih beridiri tepat didepan para ustadz itu.
“Loh kiyai!”
Kiyai Aldan tersenyum. “Sedang apa di sini?” Tanyanya kembali. Membuat keempatnya saling menatap dan wajahnya yang kembali murung.
“Kiyai, emmm Aruna dan ketiga temannya tidak ada dipondok.” Jawab Abraham mewakili ketiganya.
Kiyai Aldan mengerutkan keningnya. “Tidak ada dipondok?” Tanyanya kembali untuk memastikan pendengarannya masih jelas.
“Na’am kiyai.” Jawab Abyan. Membuat kiyai Aldan terdiam.
“Sejak kapan kalian menyadari mereka tak ada dipondok? Tidak mungkin kaburkan malam-malam begini?”
Kabur?
Agra dan Abyan yang pada dasarnya manusia dingin, semakin dingin lagi saat mendengar kalimat terakhir kiyai Aldan. Sedangkan Bima dan Abraham terdiam mencerna kalimat terakhir kiyai Aldan.
xxx
Malam, 21;15
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, kota yang memiliki banyak kisah unik. Salah satunya adalah tentang lambang hiu dan buaya yang menjadi ikon bagi Kota Surabaya.
Tahu julukan Kota Surabaya? Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan, bukan tanpa alasan kota yang selalu dikaitkan dengan kisah perjuangan dan keberanian.
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara lahir dan besar di Kota Pahlawan ini.
“Kita pisah di sini, nanti aktif di group ya.” Ujar Ayyara kepada ketiga temannya.
Mereka berada di kompleks perumahan yang cukup mewah, mereka satu kompleks namun tidak bertetangga.
“Aku capek banget…,” Lirih Almaira. Wajahnya tampak kelelahan setelah menempuh perjalanan satu jam lebih dari pondok kerumahnya.
“Ayok kembali kerumah masing-masing.” Ujar Adira menyeret Almaira karena anak itu bahkan sudah sedikit linglung.
Aruna mengangguk dan berjalan bersama Ayyara karena rumah mereka tak terlalu jauh hanya beberapa rumah saja, sedangkan Adira dan Almaira sedikit jauh namun Adira tetap akan mengantar Almaira sampai kerumahnya.
“Kamu masuk, jangan lupa bersih-bersih dulu sebelum tidur.” Pesan Adira kepada Almaira yang hanya mengangguk patuh.
Adira hanya menggeleng pelan. “Aku pulang, assalamu’alaikum.” Pamitnya tak lupa menutup pintu gerbang rumah temannya itu.
Almaira mengetuk beberapa kali pintu rumahnya, sesaat kemudian pintu itu terbuka dan muncullah anak laki-laki yang berusia 11 tahun.
“Kakak!” Pekik anak laki-laki itu. Melihat kehalaman rumahnya, lalu kembali menatap kakaknya. “Kakak kok bisa pulang? Kakak pulang sama siapa? Ayah tahu kalau kakak pulang? Ayah…,”
Almaira menempelkan jari telunjuknya pada bibir adiknya itu. “Hussttt, kenapa belum tidur?” Tanyanya balik.
Dipondok pesantre Al-Nakhla.
Agra tak berhenti menghubungi ayah mertuanya, sejak beberapa menit yang lalu dia mencoba menghubungi ayah dari istrinya itu namun tak kunjung diangkat. Adira benar-benar berhasil membuat dirinya panik dan khawatir setengah mati.
Agra mengusap kasar wajahnya, napasnya terdengar kian berat dan tak beraturan. “Kamu sangat nakal Adira.”
Kiyai Aldan menggeleng pelan, melihat seberapa prustasinya para ustadz muda ini yang kehilangan istrinya.
“Begini saja, kalian kembalilah kerumah. Saya akan berusaha menghubungi orang tua mereka, jika sudah mendapatkan informasinya maka saya akan memberi tahu kepada kalian.” Saran kiyai Aldan.
“Maaf kiyai, tapi kami sendiri yang akan mencarinya. Sudah cukup kami terlalu merepotkan kiyai dan umi, kami hanya merasa tak enak dengan kiyai.” Ujar Abraham. Kiyai Abraham sangat banyak membantu mereka.
“Saya tidak apa-apa, namun Adira dan teman-temannya adalah santri saya. Anak didik dibawah asuhan saya dan itu menjadi tanggung jawab saya, dan kalian kembalilah besok kita lanjutkan lagi.” Kata kiyai Aldan.
“Afwan kiyai, ana tidak bisa tenang jika menunggu sapai hari esok.” Timpal Bima. Istrinya kabur entah kemana, dan lagi mertuanya sama sakali tak bisa dihubungi. Mana bisa dirinya menunggu sampai besok? Yang benar saja.
“Lalu kalian akan melakukan apa? Memangnya tahu dimana mereka? Orang tua mereka menjawab panggilan dan pesan kalian?” Cecar kiyai Aldan. Semua terdiam, benar yang dikatakan kiyai Aldan.
“Sudah, kalian kembalilah. Saya akan berusaha menemukan mereka secepatnya.” Lanjutnya kembali. Merasa iba melihat para suami ini.
Walau ogah-ogahan menuruti ucapan kiyai Aldan, mereka berempat tetap pamit untuk kembali. Entah sampai kapan mereka akan menunggu kabar dari sang kiyai, namun mereka juga akan tetap mencoba menghubungi mertua mereka.
xxx
Malam ini seharusnya Adira dan Almaira menyetor hafalan mereka kepada ustadz Agra dan ustadz Bima, namun keduanya malah asik menikmati kacang goreng yang tersisah sedikit itu.
“Besok mau kemana? Atau kita kembali kepondo ajah?” Tanya Aruna. Tertidur telentang memainkan ponselnya.
“Eeetsss, kita pulang besok tapi sebelum itu…,” Ayyara menganbil jedah untuk minum. “Kita kepantai dulu.” Lanjutnya.
Ketiga temannya saling menatap, anak dari pengusaha ini memang yang paling banyak setannya sekalipun dirinya santriwati. Lihat saja, seharusnya mereka ini sudah kembali besok pagi tanpa harus belok kepantai dulu.
“Memangnya tidak apa-apa? Aku takut ajah ustadz Bima marah dan berakhir dihukum lagi.” Tutur Almaira. Benar, saat ini ia tengah merasa khawatir dan takut akan berhadapan dengan suaminya itu.
“Tidak usah takut, kita hanya sebentar ajah kok tidak lama.” Timpal Adira menenangkan Almaira. Walau juga ada rasa takut melihat wajah dingin ustadz Agra nanti.
“Pokoknya mampir dulu, terus kita kembali kepondok.” Ucap Aruna. Sama saja dengan Ayyara.
“Benar!”
terimakasih banyak, jangan lupa tinggalkan 👣 kalian😁
semangat 💪👍