Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Peringatan Keras
“Sepertinya, Ardhan memang akan menikahi istri sopir itu, Kil.”
“Dalam waktu singkat, keduanya tampak sibuk dan selalu berduaan. Seolah mereka sengaja menyiapkan hal akbar. Setelah kemarin Ardhan mengajak istri sopir itu bertemu dr. Sundari, hari ini keduanya keciduk naik mobil bareng lagi dengan tujuan lokasi wilayah rumah orang tua si istri sopir.”
“Istri sopirmu bahkan tinggal di kontrakan keluarga Ardhan. Mau macam-macam kepadanya, tentu sulit.”
Ucapan yang lebih terdengar sebagai pengaduan dari pak Sugeng barusan, sukses mengacaukan pikiran seorang Killa. Pertemuan di ruang besuk yang Killa yakini akan membuatnya bernapas lega, nyatanya justru membuat Killa sudah langsung merasa sengsara. Bagaimana tidak? Karena jika Killa saja terancam tetap akan menjalani hukuman penjara, pernikahan Ardhan dan Arini juga tak ubahnya kiamat sugra untuknya.
“Pak Sugeng bakalan lawan Narendra, kan? Pak Sugeng sanggup lawan dia, kan? Soalnya aku tahu banget, Narendra kalau sudah mau bela orang apalagi terbukti yang dibela korban—” Killa tidak bisa untuk tidak gelisah. Kedua tangannya sibuk mengepal di atas meja kayu pembatas kebersamaannya dan sang pengacara. Sementara tubuhnya condong ke pria tua di hadapannya.
“Sanggup sih, sanggup. Saya akan tetap melawan Narendra. Bahkan andai Kalandra kakeknya Narendra yang terkenal sebagai pengacara kawakan, juga sampai turun tangan. Saya akan tetap melawan mereka, Kil! Masalahnya, hasilnya tetap kembali lagi pada fakta di lapangan. Namun andai saya dan pihak kita tidak bisa menang, minimal saya akan meng uliti Ardhan di depan semua orang! Saya pastikan, semua ya v i r a l!” yakin pak Sugeng Optimis. Pria berkumis tipis itu menatap saksama kedua mata Killa yang sudah langsung lesu. Killa tampak kecewa. Kekecewaan yang berubah dipenuhi keterkejutan layaknya apa yang ia rasakan.
Sebab terlemparnya sebuah tongkat kayu khas alat bantu jalan lansia mengenai mereka, nyaris membuat Killa maupun pak Sugeng, jantungan bahkan pindah alam.
“M—Mbah Arum ...?” lirih Killa maupun pak Sugeng langsung ketar-ketir. Keduanya berangsur berdiri, tapi tak berani untuk sekadar melirik wanita sepuh yang sebelumnya melempar tongkat bantu jalan ke mereka. Wanita sepuh yang mereka panggil Mbah Arum, dan tak lain nenek kandung Ardhan maupun Narendra.
“Bisa-bisanya Mbah Arum ada di sini, ya ampun ... serem banget. Mbah Arum pasti ngamuk parah!” batin Killa benar-benar ketakutan.
Mbah Arum itu istrinya kakak Kalandra—si pengacara kawakan yang terkenal sangat totalitas ketika membela korban. Keadaan yang juga terjadi kepada Narendra. Karena walau lawan Narendra bukan orang biasa, Narendra tetap akan memperjuangkan nasib kliennya. Dan tak bisa dipungkiri, kedua pengacara tersebut sangat ditakuti, bahkan oleh pak Sugeng sendiri.
“Menguli ti Ardhan, katamu? Mulutmu tadi bilang begitu? Lambemu tidak pernah makan bangku sekolahan, ya? Berani kamu nyenggol apalagi sampai mengu liti Ardhan cucuku, ... rumah sakit pun enggak sanggup menerima kamu. Langsung dilelepin saja tubuhmu ke sungai atau rawa sekalian!” ucap mbah Arum yang mengakhirinya dengan memu kul punggung pak Sugeng menggunakan tongkat bantu jalannya. Kakek Kalandra yang datang bersamanya, sengaja membantunya memungut tongkatnya.
“Kamu ya Killa ... l o n t e saja dibayar, kamu kok sengaja ngobral? Utekmu neng ndi—otak kamu di mana? Suamimu sibuk kerja tak kenal waktu agar bisa kasih kamu kehidupan lebih, kamu justru sibuk selingkuh. Andai Ardhan ada kekurangan, kalian bisa membicarakannya!” marah mbah Arum meledak-ledak.
“Sampai kapan pun, selingkuh tidak dibenarkan! Selingkuh bukan penyelesai masalah. Namun saya pastikan, orang tua kamu akan menikahkan kamu dengan sopir beristri itu. Setelah kalian selesai menjalani hukuman, saya sendiri yang akan menikahkan kalian. Sepeduli itu saya ke kamu, walau kamu sudah melukai cucu saya. Walau kamu sudah menco re ng nama baik keluarga saya dengan ai b. Sepeduli itu saya ke kamu, hingga saya tidak akan membiarkan kamu terus menerus z i n a h. Itu kan yang kamu mau?!” Saking emosinya, mbah Arum jadi terbatuk-batuk karena tersedak ludahnya sendiri.
Sebelum mbah Arum menggunakan tongkatnya untuk meng ha ntam kepala Killa, penuh pengertian kakek Kalandra berkata, “Mbah Uti, p-ukulnya jangan tanggung-tanggung. Minimal sampai kepalanya terbelah atau malah lepas dari lehernya. Biar sampai pindah alam karena dia sudah bikin kehidupan tercema r. Pemakaman di sekitar sini masih luas, kok.”
“Hah!” murka mbah Arum nyaris meng h an tamkan tongkatnya ke kepala Killa. Namun dengan segera, Killa jongkok kemudian sibuk meminta ampun.
Di tempat berbeda, di tempat duduk belakang sopir mobil Ardhan, Arini mendadak diselimuti keraguan. Arini yang kembali tampil modis sekaligus cantik, merasa ada yang mengganjal hatinya. Seolah ada yang tidak beres, padahal sebentar lagi, mobil yang dikendalikan sopir Ardhan, akan membawa mereka sampai kediaman orang tua Arini.
Jalan yang awalnya berupa jalan aspal, kemudian menjadi berupa jalan cor-coran seiring perjalanan, kini mulai berupa bebatuan dan berlubang. Ardhan yang awalnya fokus mengurus pekerjaan di ponsel, berangsur mengawasi sekitar. Ardhan melongok keluar melalui jendela.
“Jalan sini belum dapat jatah perbaikan?” lirih Ardhan yang tentu saja bertanya kepada Arini si pemilik wilayah.
Rumah orang tua Arini ada di sekitar sana. Bagi Ardhan, harusnya Arini paham keadaan di sana, termasuk itu perkara jalan berlobang yang sedang ia pertanyakan.
“Sudah berulang kali dapat jatah perbaikan, Pak. Masalahnya ini termasuk jalan utama. Dari para orang jauh yang ke sawah. Baik itu mau nanam padi, atau malah ngarit rumput buat kambing dan sapi,” jelas Arini santun.
Mendengar itu, Ardhan mengernyit. “Masalahnya di mana?”
“Banyak dari mereka yang membawa mobil dan biasanya muatannya enggak tanggung-tanggung. Muatan mereka mengalahkan tingginya gudung Slamet. Kadang sampai ngehantam kabel listrik.”
“Walau kemajuan zaman juga bikin masyarakat berlomba-lomba mbangun rumah gedong. Hingga pengangkutan material berlebihan bikin jalan jadi korban. Pengangkutan padi, gula, dan juga pengangkutan batu untuk pembangunan jalan sendiri, jadi alasan jalan ru sa k parah sih.” Arini menutup ceritanya sambil mengawasi keadaan jalan yang membuat mobil terguncang-guncang.
“Oalah ... ini jangan-jangan, mobil angkut gula sama padinya Pakde Sepri ini, tersangkanya!” ujar Ardhan sangat tidak nyaman dengan keadaan di sana. Sedangkan pakde Sepri merupakan kakak dari mamanya yang memang merupakan juragan padi sekaligus gula merah paling tersohor satu kecamatan bahkan kabupaten mereka tinggal.
“Jegluggg!” Baru saja mobil Ardhan, melewati lobang yang lebih besar.
Selain membuat penumpangnya terkejut apalagi baik Ardhan maupun Arini nyaris terpental. Demi berlindung, keduanya juga refleks berpegangan asal. Akan tetapi, pegangan asal keduanya justru membuat tangan kanan Ardhan memegang kuat-kuat tangan kiri Arini.
“Ya ampun, Pak ... kandas mobilku. Pernikahanku saja sudah kandas. Masa mobilku juga, Pak?” keluh Ardhan yang sangat mengkhawatirkan nasib mobil barunya.
Sempat tegang bahkan syok karena mobil sampai berhenti, Arini justru sibuk menahan tawa gara-gara celotehan Ardhan barusan. “Ya ampun ini orang bisa latah juga ya!” batin Arini masih sibuk menahan tawa.
(Ayo komentarnya diramaikan juga. Oh iya, boleh minta sekalian rate kasih bintang 5, enggak? Bintang novel ini tinggal 4,9 karena ada yang rate 4. kan kalian tahu, buat nutup jadi sempurna, butuh puluhan bahkan ratusan bintang)
ayo up lagi
batal nikah wweeiii...
orang keq mereka tak perlu d'tangisi... kuy lah kalean menikah.. 🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣