Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Hangat - Kemurkaan Soya
“Eungh!" lenguhan lirih keluar dari mulut kecil yang tengah terbaring di ranjang ruang kesehatan. Kelopak matanya terbuka perlahan, bersamaan dengan itu, cahaya berlomba-lomba masuk ke dalam matanya membuat iris dan pupilnya bekerja secara otomatis menyesuaikan cahaya yang masuk.
Ia mengedarkan pandangannya, putih, ranjang, dokter, dan bau obat-obatan yang menusuk indera penciuman. Sudah dipastikan, ia pasti masuk UKS. Akan tetapi, kenapa? Soya berusaha mengingatnya. Ah, iya. Dia muntah-muntah setelah menjalankan hukuman tak masuk akal dari guru barunya Cu Pat Kai. Oke, mulai hari ini dan seterusnya, ia akan memanggil guru baru sok tampan itu dengan Cu Pat Kai. Kalian tahu Cu Pat Kai tidak? Itu loh teman sejatinya Sun Go Kong. yang memiliki hidung besar macam ... ah sudahlah. Pasti kalian tahu, kan? Jika tidak tahu, tidak perlu diingat. Tidak masuk juga dalam mata pelajaran.
Yang Soya herankan, bagaimana pada akhirnya dirinya bisa terdampar di UKS? Padahal seingatnya tadi, ia masih di lapangan sekolah kemudian muntah-muntah, tetapi setelah itu, Soya tidak mengingat apa pun.
“Oh, kau sudah siuman?" tanya dokter yang melihat Soya hanya memandang dokter tampan favorit para siswi itu.
Kalau boleh jujur. Sebenarnya Soya juga menaruh perasaan pada dokter tampan di depannya ini, tutur katanya yang lembut, senyumnya yang manis bagai gula-gula, dan sangat perhatian dengan para siswa. Tak heran ia digandrungi para kaum hawa, termasuk Soya pastinya. Namun, sayangnya dia sudah beristri.
Hah ... pupus harapan Soya untuk menggaet hati dokter tampan ini sebagai pengganti Richard. Jika Soya mengingat kenyataan pahit ini.
“Gerdmu kambuh?" tanya Francis.
“Eum, sepertinya," jawab Soya jujur. Lagipula mengapa juga ia harus berbohong?
“Bagaimana bisa saya berada di UKS? Karena seingat saya, saya muntah dan tubuh saya melemas, kemudian pingsan di lapangan," tanya Soya pada dokter berparas tampan itu.
“Gurumu yang membawamu kemari, dia melihatmu muntah-muntah dan pingsan di tengah lapangan. Dia tampak panik tadi," jelas Francis.
Tunggu ... apa, dia dibawa ke UKS oleh guru. Guru siapa dan tadi apa katanya, guru itu tampak panik? Sungguh sulit dipercaya!
“Tunggu ... Guru siapa yang Dokter maksud?" Soya bertanya, bermaksud meyakinkan.
“Kai Devinter?" jawab Francis dengan senyum yang dibuat-buat.
“Ha-ha-ha ... Dokter pasti bercanda. Mana mungkin guru yang tidak memiliki hati dan belas kasih seperti Guru baru itu mau menggendong saya hingga UKS?" Soya menyangkal.
“Aku dan siswa lain melihatnya. Kau, kan pingsan, jadi mana tahu?" ujar Francis.
“Benar juga apa kata Dokter, tapi tetap saja itu sulit dipercaya. Apa Dokter tahu jika guru itu sangat-sangat kejam, melebihi kejamnya ibu tiri? Sebenarnya, saat pembagian hati oleh Tuhan, beliau itu absen ke mana?" Soya masih menggerutu. Ia berusaha beranjak dari posisinya.
Akan tetapi, Francis menahannya, “Jangan terlalu memaksakan diri, jika masih pusing. Dan jangan ubah posisi bantalnya, penderita gerd harus tidur dengan posisi bantal yang tinggi!"
“Ah, ini sarapan untukmu. Sengaja aku memberikan porsi yang sedikit. Kau tahu, kan, jika penderita gerd tidak boleh makan hingga kekenyangan, itu akan sangat berbahaya. Dan ini obatnya, jangan lupa diminum terlebih dahulu sebelum makan!" nasehat Francis panjang lebar.
Soya mendengus, terlalu hafal di luar kepala di luar kepala dengan nasehat dokter tampan ini, “Iya-iya, Dokter. Dokter selalu berpesan seperti itu setiap kali saya jatuh sakit, nasehat Dokter sampai saya hafalkan di luar kepala. Sampai saya bosan mendengarnya."
“Aku cerewet pun nasehatku tak pernah kau dengar, Sophia," Francis hanya menatap datar gadis bertubuh mungil itu, yang dibalas senyuman manis oleh Soya.
“Saya kesiangan, makanya saya terlambat, Dokter. Ya, saya tahu jika saya salah. Maka dari itu, mau tidak mau saya harus merelakan sarapan saya untuk segera ke sekolah, bukan?"
“Dan kau tidak pakai sepatu, di mana sepatumu?" tanya Francis yang sedikit keheranan, pasalnya Sophia tak mengenakan sepatu.
Lagi-lagi Soya tersenyum, “Sepatu saya ada di dalam tas, saya pun tidak sempat menyisir rambut, apalagi pakai sepatu."
Francis terkekeh, “Kau memang siswa lain daripada yang lain, Sophia."
Merasa sudah lebih baik, Soya beranjak dari posisi tidurnya. Tangannya bergegas meraih obat yang diberikan oleh Francis, kemudian meminumnya. Setelahnya, ia meraih nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk, tak lupa segelas air putih juga asudah disiapkan oleh Francis.
“Dokter yang menyiapkan ini semua untuk saya?" tanya Soya sambil menyuapkan sesendok nasi beserta sayur dan laut ke mulutnya.
“Bukan, itu bukan aku. Itu hantu, menurutmu, siapa lagi yang menyiapkannya jika bukan aku?" Francis bertanya, “apa kau berharap guru barumu itu yang memberimu makan?"
“Terima kasih, Dokter. Tidak perlu repot-repot. Saya tidak ingin emosi saya meledak hanya dengan melihat Guru Baru itu. Itu akan memperburuk kesehatanku," jawab Soya yang masih sibuk makan.
“Aha-ha-ha ... kau ini bisa saja," Francis tertawa.
Sampai akhirnya Soya sudah selesai dengan makannya, “Terima kasih, Dokter, atas sarapannya. Kenapa Dokter sangat baik sekali, andai Dokter belum memiliki istri, saya sudah menjadikan Dokter sebagai kekasih saya."
“Uhuk!" Francis tersedak ludahnya sendiri. Demi Tuhan, ia tak pernah berpikiran sampai ke sana. Memang ia tidak salah mengira, jika siswi satu ini agak lain, “apa maksudmu?"
“Apanya yang apa. Saya sudah jujur Dokter. Bukankah memendam perasaan itu tidak baik? Lebih baik diungkapkan saja. Kan, saya sudah mengungkapkan perasaan saya pada Dokter. Saya tidak memaksa Dokter untuk menerima perasaan saya, kok. Saya hanya ingin Dokter tahu saja dengan perasaan saya," Soya berkata dengan lugas.
Francis memijit pelipisnya yang terasa pening, harus ia akui, gadis ini memiliki nyali yang tidak main-main. Ia hanya terdiam seribu bahasa, enggan berkomentar apa pun. Lebih tepatnya tidak tahu harus berkomentar apa?
“Soya, kau tahu, kan jika aku sudah ...." ucapan Francis terpotong.
“Ssst! Saya tahu, maka dari itu saya hanya bilang, Dokter tak perlu membalas perasaan saya, hanya cukup mengetahui saja. Saya sudah merasa berterima kasih," Soya langsung menyahut ucapan Francis.
Kecanggungan tiba-tiba menyeruak di antara mereka, Francis hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ah, pernyataan siswi di depannya ini benar-benar membuatnya mati kutu. Memang dia mengatakan tak perlu membalas, sih. Akan tetapi, itu membuat suasana menjadi canggung dan tak nyaman.
Francis berdeham, berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan karena pengakuan yang begitu mengejutkan dirinya, “Terima kasih karena kau sudah jujur mengenai perasaanmu, tetapi aku tetap mencintai istriku. Sedangkan kau ... kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, Sophia. Sejak setahun yang lalu, saat kau untuk pertama kalinya terbaring di ranjang UKS ..."
“... aku yakin jika suatu saat nanti akan ada pria yang benar-benar mencintai dan menyayangimu dengan tulus. Kau adalah gadis yang hebat dan kuat, juga memiliki sisi lain yang menarik, yang tidak akan ditemukan di gadis, atau wanita manapun. Percayalah!"
“Kata-kata Dokter bagaikan embun pagi yang menyejukkan hati," Soya menyanjung Francis, yang hanya ditanggapi dengan kekehan dari sang dokter tampan itu.
Tanpa mereka ketahui seseorang tengah menguping pembicaraan ringan mereka dengan wajah yang memanas karena terbakar api cemburu. Tak tahan dengan kedekatan mereka, orang itu pergi dari sana.
“Pak Kai, hari ini kami sedang ada praktik kewirausahaan, kelas kami sedang membuat cookies. Maukah Bapak mencobanya?" tanya seorang siswi sembari menyodorkan setoples cookies pada Kai.
“Maaf, saya tidak menyukai makanan manis, berikan pada yang lain saja," tolak Kai dengan wajah dinginnya dan kembali melanjutkan jalannya menuju ruang guru. Meninggalkan siswi yang menatap kecewa ke arahnya.
“Argh! Pak Kai menolak cookies buatanku. Aku tidak akan menyerah, aku pasti bisa mendapatkan hatimu, Pak Kai," gumam siswi tersebut.
Kai tidak memedulikan tatapan memuja dari para siswi dan juga para guru wanita yang memang terang-terangan mengaguminya. Hatinya merasa panas seperti terbakar melihat kedekatan Soya dan sepupunya itu.
“Apa dia lupa diri jika dia sudah memiliki istri, lalu Kak Wilona mau di kemanakan?" Kai mengomel di mejanya, “seharusnya dia menjaga jarak dengan siswi di sini, bukan? Dasar playboy!"
Soya sendiri sudah keluar dari UKS, setelah kondisinya merasa sudah lebih baik. Ia berjalan menuju kelasnya. Soya belum tuli, ia mengetahui bisik-bisik para siswi, yang sangat mengusik indera pendengaran dengan membawa-bawa namanya. Terus terang saja, hal itu membuat Soya merasa jengkel. Hatinya dan telinganya memanas mendengar desas-desus tak bermutu dari bibir tipis biang gosip itu.
“Jika membicarakan seseorang, bicaralah di depannya bajingan! Kalian semua memiliki masalah denganku?" Soya bicara dengan suara keras dan mengancam. Para siswi yang tengah membicarakannya itu langsung terdiam seribu bahasa, wajah mereka memucat. Langkah kaki Soya yang terlihat tegas dan beradu dengan dinginnya lantai itu bagaikan denting waktu kematian bagi mereka.
“Ayo, bicaralah lebih keras, kenapa diam?! Ayo, bicara lagi. Agar aku bisa merobek mulut kalian satu-persatu dengan pisau lipat ini, atau bahkan memotong pita suara milik kalian hingga kalian tak mampu bicara lagi!" teriak Soya murka. Tangannya sudah merogoh ke dalam saku roknya, mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia bawa, membuat para siswi bergidik ngeri, bahkan tak sedikit dari mereka yang sudah berusaha menahan tangis di kala rasa takut mulai merayapi tubuh mereka.
Seluruh tubuh mereka bergetar meski samar. Mereka lupa jika Soya bisa menjadi sosok monster mengerikan saat marah. Akan tetapi, mereka justru menyulut api kemarahan Soya.
“Kalian pikir aku tuli saat kalian mengatakan aku pura-pura pingsan hanya untuk mendapatkan perhatian Guru Baru itu? Dengar, ya wahai para kupu-kupu malam. Jika kalian ingin Si Cu Pat Kai itu, ambil saja sana. Dekati saja, ia. Tak perlu menyebar fitnah pada orang lain! Aku tidak akan melakukan hal menjijikan dan rendahan macam itu. Tidak seperti kalian yang dengan mudah membuka paha untuk sembarang lelaki. Dasar makhluk rendahan!" Soya menghardik sekumpulan siswi itu dengan keras, sesekali ia juga balik merendahkan harga diri sekumpulan siswi tersebut.
Seketika beberapa pasang mata melayangkan tatapan tajam pada Soya, tetapi gadis mungil itu hanya membalasnya dengan tawa remeh, “Apa, kalian marah ... merasa tidak terima? Memang kenyataannya, kan? Kalian ini aneh, ya? Tidak ingin dipanggil kupu-kupu malam, tetapi justru tingkah kalian itu seolah mempertegas, jika kalian benar-benar seorang kupu-kupu malam. Dasar tante-tante girang, miris sekali!"
Namun, rupanya masih ada siswi yang mencoba melawan Soya dengan berniat memberikan sebuah tamparan. Namun, dengan cepat pula Soya menangkis dan mengunci tangan siswi di belakang punggung siswa tersebut. Hingga tangan gadis itu mengalami patah tulang pada lengannya. Hingga terdengar bunyi ....
Krak!
“Argh!"
“Wow, kau dengar itu, suara tulangmu, merdu sekali, bahkan lebih merdu dari teriakanmu itu!"
Gadis itu menangis meraung-raung, kesakitan. Salah besar ia melawan Soya di saat Soya sedang dalam mode tidak bersahabat.
Karena teriakan kesakitan tersebut, banyak guru yang berlarian dengan tergopoh-gopoh menghampiri kerumunan siswa, termasuk Kai.
Saat jarak semakin lama semakin terpangkas dan kerumunan semakin lama, semakin jelas. Kai membekalakan matanya. Di depannya Soya tampak sangat mengerikan. Tatapannya menjadi sangat dingin dan aura membunuhnya sangat kuat.
“Viola, hentikan!" teriak Kai. Namun, sayangnya Soya tak mengacuhkan peringatan gurunya tersebut. Kai yang merasa geram, lantas menghampiri Soya, membelah kerumunan, dan merengkuh tubuh gadis kecil itu dari belakang dengan sedikit menariknya. Hingga kuncian pada tangan temannya terlepas.
“Kaupikir apa yang kau lakukan, lepaskan aku?!" teriak Soya.
“Nope, aku tidak akan melepaskanmu sampai kau tenang, kau bisa membunuhnya jika aku terlambat sedikit saja, Viola!" ujar Kai dengan nada tegas yang tak terbantahkan.
“Minggir, kau pikir aku begini gara-gara siapa? Gara-gara dirimu. Kau membuat gosip murahan itu menyebar dengan cepat seperti virus dan menjadikan aku sebagai bahan gunjingan, dasar brengsek!" umpat Soya sambil menendang tulang kering Kai hingga pria itu mengaduh kesakitan. Sementara Soya meninggalkannya.