Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Kenyataannya sikap Arumi tadi pagi membuat Narendra menjadi kurang fokus. Pekerjaannya terbengkalai, pikirannya berkelana tak tentu arah. Terlebih sedari tadi pria itu menunggu pesanannya untuk diantar oleh Arumi. Akan tetapi, pesanan itu tidak kunjung datang padahal sudah hampir dua jam dirinya menunggu. Ia pikir Arumi marah dan enggan menemui dirinya saat ini.
“Ke mana dia, ya? Dari tadi nggak keliatan sama sekali,” gerutu Narendra.
Fokusnya telah hilang, ia mengabaikan pekerjaannya dan justru tengah menyibukkan dirinya memikirkan sang istri yang sepertinya tengah merajuk, atau mungkin malu padanya.
Tok!
Tok!
Ketukan dari pintu ruang kerjanya membuat pria itu menerbitkan senyum manisnya, akhirnya yang ia tunggu datang juga.
“Masuk!” Narendra berseru senang.
Tidak lama kemudian muncullah Desi dengan membawa nampan berisi secangkir kopi. Jangan lupakan bibirnya yang kini sudah terpoles lipstik merah merona dengan dua kancing kemeja ketatnya yang ia buat berbuka.
Narendra menelan senyumannya. Ia pikir Arumi yang mengantarkan pesanannya, tetapi kenyataannya bukan. Seenggan itukah Arumi padanya sekarang? batin Narendra miris.
Wanita itu berjalan dengan dibuat begitu anggun, meletakkan dengan pelan secangkir kopi di atas meja kerja Narendra. Ia juga sedikit membungkukkan badannya hingga gundukkan kembar di dadanya turut menyembul seakan ingin menampakkan wujudnya pada sang atasan.
“Ini kopi pesanan Anda, Pak,” ucapnya dengan nada pelan.
Desi juga menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan ekspresi malu-malu.
“Ke mana Arumi? Bukannya tadi yang saya minta adalah dia? Kenapa bukan dia yang mengantarkan kopi pesanan saya?” tanya Narendra dingin.
Pria itu begitu muak dengan wanita seperti Desi yang terlihat begitu murahan. Narendra memang sudah menyadari ada yang tidak beres dari sikap Desi.
Ia pikir Desi hanya menganggumi dirinya dengan memberikan perhatian lebih selayaknya ia mengidolakan idolanya. Namun, semakin lama tingkah Desi semakin berani dan hari ini wanita itu secara terang-terangan berniat menggodanya.
Mulai dari berbicara dengan disertai sedikit desa*han, kancing kemeja yang pasti sengaja dilepas agar gundukan bulat itu menyembul, juga bibir yang ia buat begitu merah seakan untuk menarik perhatiannya.
Narendra sama sekali tidak memandang kasta di kehidupannya. Akan tetapi, tetap saja, pria itu tidak respek terhadap Desi yang menurutnya sangat murahan.
“Arumi tidak mau dan justru dia meminta saya untuk membuatkan sekaligus mengantarkan minuman ini untuk Anda, Pak,” jawab Desi.
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Ada di pantry, Pak. lagi istirahat," jawabnya terlihat enggan.
Narendra mengangguk paham meski sebenarnya pria itu begitu kesal. “Ada lagi?” tanya Narendra yang melihat Desi masih bertahan di ruangannya.
“A-ah, tidak, tidak ada, Pak. Kalau begitu, saya permisi,” pamitnya.
Kembali wanita itu sedikit membungkuk hingga menampilkan pemandangan yang menggelikan bagi Narendra sebelum akhirnya pergi dari ruangan itu.
“Dasar! Nggak tahu malu!” Narendra berseru kesal.
***
Vino memasuki rumahnya dengan bersiul senang sambil memutar kunci mobil di tangan kanannya. Senyumnya terus mengembang hingga membuat kedua orang tuanya menatap heran ke arah Vino yang baru saja tiba di rumah.
Berbeda dengan Bastian yang sudah mengetahui apa saja yang dilakukan oleh putranya di luar sana. Silvi yang tidak tahu apa-apa lantas beranjak dari duduknya dan menghampiri Vino dengan raut wajah khawatir.
“Kamu dari mana saja, Vin. Dua hari nggak pulang dan tanpa kabar? Kamu tidur di mana?” cerocos Silvi pada putra tunggalnya.
“Apaan, sih, Ma, tumben banget Mama kepo sama apa yang Vino lakuin di luar sana. Biasanya juga Mama nggak peduli, Mama cuma peduli sama geng sosialita Mama saja. Mau Vino nggak pulang seminggu pun Mama nggak pernah khawatir, tuh!” timpal Vino dengan sinis.
Bukan tanpa sebab pria itu berkata demikian. Setelah pembacaan harta warisan dari sang Kakek lah mamanya terlihat peduli padanya. Biasanya wanita itu membebaskan Vino untuk melakukan apapun tanpa banyak bertanya.
“Kamu kenapa ketus begitu sama Mama, sih, Vin. Mama cuma khawatir sama kamu. Kamu sudah makan?”
“Vino sudah makan dan sekarang mau istirahat. Vino capek, Ma!”
Vino hendak pergi dari ruang keluarga. Namun, Bastian membuka suara dan memintanya untuk tetap tinggal di sana.
“Duduk dulu, Vin!” tegasnya.
“Ada apa lagi, Pa? Mau marahin Vino juga?” protes Vino kesal.
Ia baru saja mengembalikan moodnya yang rusak, kini ketika dirinya pulang, orang tuanya kembali membuatnya kesal.
“Mulai sekarang berhentilah main-main, Vin. Kamu harus belajar memimpin perusahaan karena saat ini, meski perusahaan itu sudah berada di tangan kita, tidak menutup kemungkinan investor kita akan kabur kalau perusahaan memiliki pemimpin yang tidak kompeten. Kamu mau perusahaan itu jatuh ke tangan Narendra atau Galendra?”
“Kan aku udah pernah bilang kalau aku belum siap, Pa! Lagipula Papa masih sangat kuat kalau hanya memimpin perusahaan dari kakek!”
“Papa tidak mau tahu, Vin. Mulai minggu depan kamu sudah harus memimpin perusahaan!” tegas Bastian membuat Vino mendengkus kesal.
“Tapi Vino nggak jamin kalau semua akan baik-baik saja ketika Vino mulai kerja di sana,” ucapnya terdengar mengancam.
“Mau sampai kapan kamu hidup seperti ini terus, Vino? Kalau kamu benar-benar tidak ingin kerja di kantor, Papa akan sita semua yang sudah Papa berikan sama kamu termasuk semua kartu yang saat ini kamu pegang!”
Vino membolakan matanya mendengar akan hal itu. Tentu saja dia tidak terima. Jika semua disita, maka dirinya akan sulit untuk menyenangkan kekasihnya dan itu berarti dirinya tidak akan bisa meminta jatahnya ketika bertemu dengan Karina.
“Oke! Vino akan kerja!”
Bastian tersenyum puas. Bukan, bukan karena ancamannya berhasil, melainkan karena bisa menarik Vino ke perusahaan sehingga nantinya dirinya bisa sedikit bersenang-senang dengan kekasih putranya itu.
Ah, lebih baik kuhubungi sekarang saja si Karina. Sudah dari lama aku tertarik pada wanita itu, kini sudah saatnya aku akan menghabiskan malam panas dengan dia, batin Bastian kemudian pergi meninggalkan sang istri.