(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 24
Livia meneguk air ludahnya dengan susah payah. Dia menatap wajah itu yang sangat mirip dengan Kennet. "Cae, dulu ayah mu memiliki penyakit. Ayah mu tidak bisa memiliki anak dan ayah mu tidak percaya bahwa Mama mengandung. Hingga Mama bercerai. Sayang Mama sudah bercerita, terserah kamu. Mama tidak akan menghalangi mu atau menyuruh mu."
Caesar memeluk Livia. "Ma, aku sayang Mama. Ayah sudah memiliki istri. Biarkan saja dia bahagia dengan istrinya. Kita sudah begini dan aku sangat menyukainya."
Livia mencium pucuk kepala Caesar dengan bangga. Hari-hari terus berlalu, kini sudah tiga hari dimana Livia ingin menemui Kennet dan saat ini Kennet kembali ke Jakarta. Mereka akan mengadakan pertemuan di rumah Anita dan Erland.
Livia menggunakan Kemeja dan celana Jens. Jika di lihat, dia bukan seperti sosok ibu tapi seperti wanita yang belum memiliki anak. Wajahnya yang cantik tak pernah pudar.
Dia menghela napas panjang. Malam ini adalah malam dimana ia bertemu dengan Kennet. Dia keluar dari kamarnya dan melihat anak-anaknya masih berada di ruang keluarga menonton kartun.
"Sayang Mama keluar dulu sebentar. Mama mau ke rumah tante Anita dan om Erland dulu."
"Iya Ma. Mama hati-hati di jalan." Khanza memperingati.
"Om Alan tidak ikut Ma?" tanya Killian.
"Tidak Sayang, Mama sendirian kesana. Kalian di sini, ingat kalau ada orang yang mengetuk pintu jangan di buka." Sebenarnya ia ingin membawa mereka, tapi ini pertemuannya dengan Kennet. "Mama pergi dulu."
...
Sementara itu Anita dan Erland menyiapkan makan malam untuk mereka, dan Kennet pun ikut membantu. Walaupun pria itu hanya menggunakan celemek mengantar hidangan yang sudah selesai ke atas meja.
"Kennet sebaiknya kau membersihkan diri dulu. Biarkan aku dan Anita yang menyiapkan makan malamnya."
"Baiklah." Kennet menuju kamar tamu.
Selang beberapa saat, Livia pun datang. Seorang Art mengabari kedatangannya. Anita melepaskan celemeknya dan menemui Livia.
"Livia kau sudah datang. Kennet masih bersiap-siap. O iya kita makan malam dulu."
Livia mengangguk, dia menurut. Dari pada membantah lebih baik dia langsung menyikan saja, menurutnya lebih cepat lebih baik. Ia juga merasa tidak nyaman jika menolaknya.
"Kalian tolong panggil Kennet. Katakan bahwa Livia sudah datang."
"Baik Nyonya." Sahutnya.
Tok
Tok
Tok
"Tuan, Nyonya Livia sudah datang."
Ceklek
"Baiklah aku akan kesana." Dengan rasa senang, Kennet melangkah lebar. Sejak tadi ia merasa gugup. Ia tidak sabar menemui Livia secara langsung.
Deg
Deg
Jantung Kennet berdetak kencang, semilir angin seakan menghantuinya. Dia menatap punggung yang membelakanginya itu. Ia tidak tau, ia memang senang tapi sekaligus takut. "Livia."
Livia menoleh, dia menatap wajah Kennet. Bahkan netranya yang terlihat sempurna itu. Dulu ia jatuh hati karena netra itu.
"Kennet duduklah." Titah Erland. Dia duduk di kursi keplaa keluarga. Anita duduk di samping Livia. Zelo dan Bernad duduk di samping Kennet.
Acara makan malam pun berjalan dengan damai. Livia tidak banyak berbicara. Sebenarnya tubuhnya merasakan hawa panas dingin. Dia gugup, rasa kesal, benci, amarah itu bercampur aduk di dalam hatinya. Dia seolah tak bisa menelannya makananya.
...
Livia duduk berhadapan dengan Kennet di taman samping. Sedangkan Erland, Anita dan Bernad memperhatikan keduanya dari balkon. Mereka berharap pembicaraan mereka berjalan dengan lancar.
“Bagaimana kabar mu?” Tanya Kennet memperhatikan Livia. Dia merindukan wajahnya itu yang selalu menyambutnya saat pulang kerja. Dia merindukan omelannya yang menyuruhnya jangan makan dengan telat. Dia merindukan saat-saat Livia membawakan bekal saat ia lupa membawanya. Sekalipun ia tidak bermesraan, tapi yang ia tau. Ia dan Livia tidak pernah bertengkar walaupun ia bersikap dingin, cuek dan ketus. Livia sosok penyabar.
“Aku baik.”
Kennet tersenyum, ia tidak menyangka Livia menjadi sosok ibu padahal jika di lihat, Livia seperti bukan seorang ibu. “Aku senang mendengarnya. Dimana anak-anak?”
“Kennet, aku ingin kamu menjauhi mereka.” Ia tidak ingin menyakiti Kalisa. “Kau tidak bisa membawa mereka sekalipun mereka adalah anak mu. Aku tidak tau, kau percaya atau tidak yang jelas.”
“Aku mempercayainya, mereka memang anak-anak ku.” Dengan adanya bukti, Livia tidak bisa mengelak hasil test DNA. Dia hanya menjadikan test DNA itu sebagai bukti jika Livia mengelaknya. Ia bersyukur Erland membantunya. “Aku tidak bisa menjauh. Aku ingin mengganti hari-hari mereka yang di lalui tanpa diriku. Aku ingin mengganti sosok diriku.”
Kennet kau belum memahaminya. “Kau sudah memiliki istri. Aku seorang wanita, aki menjaga perasaan Kalisa. Bagaimana perasaannya? Dia pasti kesakitan saat tau kebenarannya. Kennet kau bisa memiliki anak, entah dengan pakai cara bayi tabung atau mengadopsi anak.”
“Apa kau pikir semudah itu mengatakannya? Aku tau Livia, semuanya salah ku karena tidak mempercayai mu. Tapi aku ayah mereka yang tidak bisa kamu gantikan dengan siapa pun. Livia maafkan aku.” Kennet menunduk, ia menyesal karena tidak menyelidikinya dan mudah menikah dengan orang lain. Kenyataannya pernikahannya selama lima tahun terasa hambar.
“Baiklah, kau boleh menemui anak-anak. Jika anak-anak tidak mau, jangan memaksanya. Kennet, aku ingin kamu mengerti. Kalisa pasti kecewa pada mu jika kamu selalu mendekati anak-anak. Aku tidak ingin menjadikan anak-anak sebagai alasan untuk dekat dengan mu. Datanglah dan katakan pada mereka bahwa mereka adalah anak mu. Kennet samopai saat ini aku masih membenci mu.” Livia berdiri, dia bergegas pergi.
Anita, Erland dan Bernad langsung turun dari lantai dua menghampiri Kennet. Mereka penasaran pembicaraan mereka.
Kennet mengusap air mata yang hampir menetes itu. Dia mengusap wajahnya. Rasanya sangat sakit ketika mendengarkan di benci dengan rasa penyesalan yang sangat dalam.
“Kennet bagaimana?” Tanya Erland.
Kennet berdiri dan bergegas pergi, ia butuh waktu sendiri. Saat ini ia ingin menghindari pertanyaan dari sahabatnya itu. Ia duduk di tepi ranjang dan menangis dalam diam. Kedua matanya memerah. “Livia maafkan aku.” Ternyata lebih menyakitkan, di saat kebodohan itu membuat kita menyesal. “Haaaah.” Ia memegang kepalanya dan menangis tersedu-sedu.
Erland mendekatkan telingannya ke arah pintu. “Sepertinya Kennet terguncang. Aku merasa dia masih mencintai Livia. Seharusnya dia dulu memeriksanya jangan asal menuduh saja.”
Bernad menatap sepasang suami istri itu. Dia jadi kasihan pada Kennet. Seharusnya dulu ia tak begitu bodoh mempercayai Livia mengkhianati tuannya.
Keesokan harinya.
Kennet keluar dari kamarnya dengan wajah kacau, di bawah matanya terasa menghitam. Bernad menyadari bahwa tuannya sangat kacau. Bahkan Kalisa beberapa kali menghubunginya dan ia tidak mengangkatnya.
“Tuan mau kemana?” Tanya Bernad.
“Aku mau menemui anak-anak. Hari ini aku akan ke rumah Livia.”
“Baiklah, saya akan mengantar tuan.” Bernad melangkah lebar, dia menyiapkan mobilnya.
Sesampainya di rumah Livia, Kennet turun. Dia melihat anak-anaknya yang sedang berada di halaman. Karena masih pagi sepertinya mereka belum bersiap-siap untuk ke sekolah.
Khanza melihat Kennet dari jauh, dia terkejut dengan kedatangan om jahatnya itu. “Kakak, lihat itu kan om jahat. Mau apa dia kesini?”
Caesar masuk dan berlari ke dalam rumah. “Mama di sini ada orang itu, Ayah.”
Livia mematikan kompornya. Hari ini dia memasak nasi goreng. Dia bergegas keluar dan membuka pintu gerbang. “Masuklah.”
Si kembar empat menatap bingung saat Livia menyuruh Kennet masuk. Ternyata ibunya mengenal om jahat itu.
“Anak-anak ayo masuk. Mama ingin mengatakan sesuatu.”
Si kembar lima pun ikut, mereka berdiri memandangi Kennet. Livia menatap anak-anaknya.
“Sayang, kalian pasti penasaran tentang Papa kan? Di hadapan kalian saat ini, dia Papa kalian.”
Sontak si kembar menatap Livia. Caesar kemudian beralih menatap Kennet.
“Dia Ma, dia Papa ku maksudnya Papa kita.”
“Mama jangan bercanda. Om jahat ini tidak mungkin Papa kita. Dia pernah menghina kita Ma.” Khanza sama sekali tidak menerima pria itu sebagai ayahnya.