Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Setelah menelpon dokter, Ferdi kembali menemui ibunya di ruang tamu. Raut wajahnya masih menunjukkan kecemasan yang belum surut. "Mi, kenapa mami tidak membawa dia ke rumah sakit saja? Lebih aman, dan kita tidak perlu menanggung risiko apa-apa," katanya,dari nada suaranya Ferdi terdengar cukup serius dengan ucapannya sendiri.
Rita menghela napas dan menatap Ferdi, wanita itu tersenyum tipis. “Mami tidak kepikiran membawanya ke rumah saat itu, karena mami pikir, mami harus segera menolongnya. Kalau dokter Sugie bilang dia harus dibawa ke rumah sakit, kita akan membawanya kesana. Untuk sementara, biarkan saja dia disini dulu” jawab Rita, meyakinkan putranya.
Ferdi masih tampak tidak yakin. Matanya melirik ke arah tangga yang menuju kamar tamu, tempat wanita asing itu berbaring. “Aku tetap tidak yakin, Mi. Bagaimana kalau dia berbahaya? Kita tidak mengetahui apapun soal dia,” lanjutnya, meski dia tahu bahwa Rita jarang salah menilai orang.
Tak lama, Dokter Sugie, dokter keluarga mereka yang sudah lama mereka percayai, tiba bersama seorang perawat. Mereka segera menuju kamar tamu untuk memeriksa kondisi Dina yang masih tak sadarkan diri. Rita mengikuti dari belakang, sementara Ferdi mengamati dari jarak dekat, rasa curiganya masih belum sepenuhnya hilang.
Sugie memeriksa Dina dengan cermat, memeriksa denyut nadinya dan memperhatikan bekas luka di perut wanita itu. "Dia baru saja melahirkan," kata Sugie, matanya beralih ke Rita. "Bekas operasinya masih sangat baru. Kemungkinan besar, dia pingsan karena tubuhnya masih lemah setelah operasi caesar dan dia mengalami stres yang luar biasa.”
Rita mengernyit, merasa sedih mendengar penjelasan itu. "Melahirkan? Lalu kenapa dia bisa berkeliaran sendirian di jalanan sepi sampai seperti ini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, tapi cukup keras hingga Sugie dan Ferdi bisa mendengarnya.
Sugie menggeleng tidak mengerti, dokter itu lalu meresepkan beberapa obat untuk membantu pemulihan fisik Dina. "Saya akan meninggalkan perawat ini di sini untuk memantau kondisinya semalaman. Besok, saya akan kirim perawat lain untuk berjaga,” tambah Sugie sebelum pamit.
Setelah dokter dan perawat selesai, Ferdi mendekati ibunya, masih dengan ekspresi cemas. “Mi, lebih baik mami istirahat sekarang. Biar aku yang mengawasi semuanya. Kalau ada apa-apa, aku akan segera memberitahu mami,” kata Ferdi sambil memegang pundak ibunya.
Rita mengangguk, tapi matanya tak lepas dari sosok Dina yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuat hatinya tersentuh, sebuah kegetiran yang mengingatkannya pada putri yang telah pergi. Bayangan putrinya kembali muncul di benaknya—wajah cantik yang kini hanya ada di dalam kenangan.
Dengan berat hati, Rita berbalik menuju pintu kamar. Sebelum meninggalkan kamar, dia menoleh sekali lagi, menatap Dina dengan tatapan lembut namun penuh kerinduan. Perasaan iba bercampur dengan kenangan pahit berputar dalam benaknya. "Semoga dia baik-baik saja," bisiknya pelan, hampir seperti doa.
Ferdi memandang ibunya pergi sebelum dia kembali menatap Dina. Meski masih ada kekhawatiran di benaknya, dia tak bisa menyangkal bahwa wanita itu kini menjadi tanggung jawab mereka—setidaknya untuk saat ini. Setelah memastikan semuanya dalam kendali, Ferdi pun meninggalkan kamar, siap menyelesaikan pekerjaannya sebelum malam itu berakhir.
****
Dikediaman orang tua Ronny
Di kediaman Johan dan Inneke, mereka berkumpul di ruang tamu, ketegangan diantara semuanya tampak terasa apalagi setelah mereka mendengar cerita Ronny tentang Dina. Teh dan kopi yang terhidang di meja seolah tak tersentuh. Johan duduk di kursi besar, wajahnya tampak serius, sementara Inneke duduk dengan gelisah di sampingnya, sesekali melirik suaminya dengan gugup.
Ronny masuk ke ruang tamu, menggendong Gio yang baru beberapa hari lahir, diikuti oleh baby sitter yang tampak gugup berjalan di belakangnya. Dengan sikap penuh percaya diri, Ronny berniat meyakinkan orang tuanya tentang perceraiannya dengan Dina.
“Pa, seperti yang sudah aku katakan di telepon, aku sudah memutuskan untuk bercerai dengan Dina,” kata Ronny tanpa basa-basi, suaranya datar tapi penuh keyakinan.
Mendengar kata "cerai," raut wajah Johan langsung berubah. Wajahnya memerah, tangannya terkepal di lengan kursi, dan pandangan tajamnya tertuju pada Ronny. “Apa?!” teriak Johan, suaranya menggelegar, membuat Inneke tersentak ketakutan di sampingnya. “Apa yang kau katakan? Cerai?! Dengan Dina?”
Inneke tampak cemas, mencoba berbicara tapi takut melihat kemarahan suaminya. Di sudut ruangan, Teddy, adik Ronny, memperhatikan dengan hati-hati dari jauh. Matanya menyipit, penuh rasa ingin tahu mendengar topik panas ini. Tanpa suara, ia memutuskan untuk mendekat dan bergabung dalam percakapan keluarga yang semakin memanas. Pria yang terpaut usia 2 tahun lebih muda dari Ronny itu tampak penasaran dan memberanikan diri mendorong kursi rodanya memasuki ruang tamu.
Ronny, yang mulai menyadari bahwa reaksinya ayahnya tak seperti yang diharapkan, mencoba membela diri. “Papa, dengar dulu. Dina yang minta cerai lebih dulu. Dia bukan wanita baik-baik. Dia berselingkuh dengan pria lain dan selama ini kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang saja,” Ronny berkata, berusaha agar suaranya terdengar lebih meyakinkan, dia terus mencoba meyakinkan Johan bahwa dirinya adalah korban.
Johan menggeleng tak percaya. “Omong kosong apa yang kau bicarakan, Ronny? Dina selama ini selalu setia dan baik pada keluarga kita! Aku tidak akan percaya begitu saja!” bentaknya.
“Lihat ini!” Ronny buru-buru mengeluarkan foto-foto dari sakunya, menunjukkan gambar-gambar Dina yang tampak mesra dengan pria lain. Gambar yang telah diedit dengan rapi, dibuat untuk merusak citra Dina di mata ayahnya.
Namun, Johan tetap tak tergoyahkan. Meski melihat foto-foto itu, hatinya berkata lain. Dia tahu siapa Dina sebenarnya. “Kau pikir papa akan tertipu dengan foto-foto ini? Papa sudah lama mengenal Dina. Dia bukan wanita seperti itu!” Johan menggebrak meja di depannya, suaranya meledak dalam kemarahan yang lebih besar.
Suara gebrakan meja itu membuat Gio yang ada di gendongan baby sitter menangis keras, tangisannya mengisi ruangan yang tegang. Ronny, dengan wajah kesal, membentak bayi kecilnya. “Diam! Berhenti menangis!”
Johan langsung berdiri, tak tahan melihat sikap Ronny terhadap cucunya. Dengan cepat dia melangkah ke arah baby sitter, mengambil Gio dari gendongannya. “Jangan pernah bentak anakmu seperti itu!” Johan memeluk Gio dengan lembut, mengayunkannya perlahan, mencoba menenangkan tangisnya.
Tatapan Johan kini penuh kemarahan dan kekecewaan pada Ronny. “Aku sudah berjanji pada orang tua Dina sebelum mereka meninggal. Aku berjanji akan menjaga dia seperti anakku sendiri. Dan sekarang kau, anakku, melanggar janji itu! Kau tak seharusnya bercerai dengan dia!” suara Johan bergetar, tak hanya karena marah, tapi juga karena rasa bersalah yang perlahan merayap di hatinya.
Ronny terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Usahanya untuk membangun narasi bahwa Dina bersalah seolah hancur di depan matanya. Teddy yang kini berdiri di samping, hanya menghela napas dalam, matanya tertuju pada Ronny yang tampak semakin terpojok.
Johan terus memeluk Gio, hatinya semakin berat. Ia tahu, meski Ronny putranya, tapi Dina adalah bagian dari keluarganya yang sudah dia anggap sebagai putrinya sendiri terlepas statusnya sebagai menantu.
Johan berusaha mengatur napasnya yang tersengal setelah ledakan emosinya sendiri. Ketegangan diantara Johan dan Ronny belum juga reda, dengan tangan yang masih terkepal erat, dia menenangkan hatinya sebelum berkata pada Ronny, "Aku ingin bertemu Dina. Aku ingin dengar langsung dari mulutnya tentang alasan kalian bercerai."
Mendengar permintaan itu, wajah Ronny berubah tegang. Dia tidak tahu di mana Dina berada sekarang setelah mengusirnya dari rumah, dan yang lebih penting, dia takut semua kebohongannya akan terbongkar jika Johan benar-benar menemui Dina. “Tidak perlu, Pa,” jawab Ronny cepat, suaranya terdengar gelisah. “Dina pasti hanya akan mengarang cerita. Lagipula, untuk apa lagi bertemu dengannya? Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.”
Namun, Johan tidak mudah digoyahkan. Dia menatap putranya dengan pandangan tajam, membuat Ronny merasa dilucuti dan gugup. “Aku akan mendengar langsung dari dia,” ucapnya penuh tekad. "Aku sudah cukup mendengar dari mulutmu, sekarang giliran Dina yang bicara."
Ronny merasa terpojok, otaknya berputar cepat mencari alasan. Tidak ada jalan lain, dia harus berpura-pura setuju untuk mengulur waktu. “Baiklah, Pa,” katanya akhirnya, suaranya lebih tenang meski hatinya kacau. “Aku akan mengatur pertemuan dengan Dina secepatnya.” Dia berusaha tersenyum, meskipun dalam hati dia tahu bahwa dia tidak bisa mempertemukan Johan dengan Dina—karena dia tidak tahu di mana Dina sekarang berada.
Johan memperhatikan putranya dengan mata menyipit, dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Setelah memberikan anggukan singkat, Ronny pun berpamitan. “Aku akan segera pergi dan mengurus ini,” katanya sambil berdiri, bergegas keluar dari rumah orang tuanya dengan hati yang berat.
"Biar Gio dan baby sitternya tetap disini, aku tidak bisa mempercayakan cucuku padamu" ucap Johan tegas. Ronny mengangguk setuju.
Di rumahnya, Tari, kekasih gelapnya, sudah menunggu dengan senyuman lebar. Tapi kali ini, kepala Ronny terlalu penuh dengan kekhawatiran untuk membalas senyuman itu.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina