Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah
Gue sadar kalau julukan "Pangeran Jawa” pas banget buat Anan, apalagi setelah melihat dia telanj*ng.
Ya, lo benar.
Gue lihat Anan telanj*ng, menyentuh dia, bahkan lihat dia sampai puncak.
Ini benaran kejadian atau gue lagi mimpi, sih?
Mungkin gue kebanyakan minum dan sekarang lagi mimpi gila gara-gara mabuk.
Pas gue keluar, dalam hati, gue bersyukur Anan sudah pakai baju lagi, tapi agak heran juga, kenapa dia pakai semua, termasuk kemeja dan sepatu.
Dia mau pergi ke mana?
Jantung gue sedikit mencelus pas dia enggak melirik gue sama sekali. Fokusnya masih di HP-nya, duduk di kursi meja belajar gue.
Dia nge-chat siapa sih, jam segini?
Stop, deh, lagi pula bukan urusan lo, Zielle.
Gue berdiri di situ, merasa canggung.
Apa yang harus gue lakukan?
Atau ngomong apa?
Beberapa detik kemudian, Anan angkat matanya dari HP dan menatap gue. Gue langsung telan ludah sambil main-mainkan tangan di depan dada.
Serius, Zielle?
Habis melakukan semua itu sama dia, lo sekarang malah gugup kayak begini?
Batin gue memang nyebelin banget.
Anan berdiri, masukkan HP-nya ke saku belakang celana. "Gue cabut," katanya. Jantung gue serasa jatuh ke perut. "Kalau Asta bangun, kasih tahu dia buat loncat pagar dan masuk lewat pintu belakang. Gue bakal biarin pintunya kebuka buat dia."
"Gue kira enggak baik cewek tidur sama cowok sendirian," gue coba buat bercanda , tapi Anan cuma diam, enggak senyum sama sekali.
“Memang enggak, tapi ini kamar lo, hidup lo, enggak ada urusannya sama gue.”
Oke, cowok ini jelas-jelas enggak stabil.
Datang marah-marah, terus berubah jadi manis, lanjut ke panas, dan sekarang?
Dingin banget?
Ini, sih super labil namanya.
“Lo kenapa, sih?” tanya gue.
Anan jalan ke arah jendela. “Enggak kenapa-kenapa.”
Oh, enggak bisa, lo enggak boleh pergi dari sini dengan sikap kayak begitu tanpa menjelaskan apa yang terjadi.
Gue enggak bakal biarkan diri gue dipakai terus ditaruh begitu saja setelah selesai, nyeri banget hati ini.
Gue samperin dan berdiri di depannya, tutup jendela.
“Sekarang lo kenapa, Anan?”
“Gue enggak kenapa-kenapa.”
“Jelas lo ada apa-apa, mood lo itu berubah, bikin gue pusing.”
“Dan drama lo bikin gue kesel, makanya gue cabut.”
“Drama?”
Dia tunjuk ke arah kita berdua. “Ini drama.”
“Gue bahkan belum ngomong apa-apa dan tiba-tiba lo mau pergi.”
“Kenapa gue enggak boleh pergi?”
“Lo bilang bakal nginep di sini.”
Anan menghembuskan napas panjang. “Gue berubah pikiran. Lo enggak tahu, kenapa?”
“Lo memang lagi costplay jadi idiot, apa gimana, sih? Enggak jelas lo.”
“Dan ini alasannya kenapa gue mau pergi.” Gue melihat sorot matanya yang bingung. “Gue enggak ngerti... kenapa semua cewek selalu nganggap kalau cowok itu punya utang budi ke mereka. Cuma karena kita habis senang-senang bareng. Gue enggak punya utang apa-apa sama lo, gue enggak harus nginep, dan gue enggak harus lakuin apa pun buat lo.”
Oh.
Anan lanjut mengoceh. “Dengar, Zielle, gue selalu jujur sama setiap cewek yang gue deketin.”
Dan gue tahu apa yang bakal dia katakan habis ini, gue enggak bakal suka.
“Lo sama gue memang seru-seruan, tapi gue enggak mau ada hubungan. Lo harus tahu itu, gue enggak mau nyakitin lo. Kalau lo mau senang-senang aja tanpa komitmen, oke, tapi kalau lo maunya pacar, hubungan serius kayak pangeran dan ratu, biar gue yang pergi.”
Air mata mulai mengular di pipi gue. Gue basahi bibir, siap buat ngomong. “Gue paham.”
Ekspresi Anan langsung berubah jadi sedih, tapi sebelum dia sempat ngomong, gue buru-buru mengusap air mata dan buka mulut lagi. “Jadi, pergi lo dari hidup gue.”
Kagetnya Anan kelihatan banget, jelas karena itu enggak seperti yang dia kira bakal gue kasih.
Gue minta dia pergi karena gue tahu kalau gue turuti semua itu enggak akan cukup buat mengubah orang yang memang enggak mau berubah.
Nyokap gue dulu pernah bilang, jangan pernah mencoba mengubah orang lain, karena itu pertarungan yang enggak akan pernah bisa dimenangkan kalau orang itu sendiri enggak mau berubah, dan Anan jelas-jelas enggak mungkin bisa berubah.
Gue suka dia?
Gue gila sama dia, bahkan gue bisa bilang gue mulai jatuh cinta.
Tapi sejak gue lihat Nyokap bertahan dan maafin Bokap gue yang selingkuh berulang kali, melihat dia melupakan harga dirinya sendiri, gue belajar. Mau sekuat apa pun dia tahan, sampai menangis, dan sakit hati pun bokap enggak pernah berubah, malah memilih hidup yang baru dengan wanita yang lebih muda.
Setelah melewati itu semua, gue janji enggak bakal jadi kayak nyokap.
Gue enggak bakal biarkan diri gue diinjak-injak atau dilukai begitu saja. Enggak bakal membuang harga diri gue cuma karena cinta.
Soalnya, sakit hati itu bakal sembuh, tapi kalau penyesalan karena lo biarkan orang lain menginjak harga diri lo, itu bakal tinggal selamanya.
Jadi, gue tatap mata Anan dalam-dalam, enggak peduli air mata kering masih menempel di pipi.
“Pergi dari hidup gue, dan tenang aja, gue enggak bakal nguntit lo lagi. Lo bisa tidur nyenyak.”
Dia masih kelihatan shock.
“Lo enggak pernah berhenti bikin gue heran, lo itu... enggak bisa ditebak.”
“Dan lo emang tolol. Lo pikir dengan tidur sama cewek, terus ninggalin mereka, lo bakal dapat kebahagiaan? Lo pikir sikap lo yang 'cuma mau seru-seruan doang dan enggak mau ada hubungan serius’ itu bakal nganter lo ke mana? Tahu, enggak, Anan? Gue kira lo orang yang beda. Sekarang gue paham kenapa orang bilang ‘jangan nilai buku dari sampulnya,’ karena lo punya sampul yang keren, tapi isinya... isi lo kosong, lo bukan buku yang menarik buat gue baca, jadi keluar dari kamar gue dan jangan pernah balik lagi!!”
“Wow, jadi lo benaran mau kisah tentang pangeran dan ratu, ya?”
“Iya, dan enggak ada yang salah sama itu. Setidaknya gue tahu apa yang gue mau.”
Anan menggertak rahangnya. “Oke, terserah lo.”
Gue minggir, dan dia mulai memanjat jendela. “Eh, Anan?”
Dia menengok, tangannya sudah ada di tangga, badannya setengah keluar. “Gue harap lo udah benerin internet di rumah lo, soalnya gue mau ganti password Wi-Fi. Kayaknya udah enggak relevan lagi kalau passwordnya ‘AnanDanZielleSelamanya’.”
Ada sedikit rasa sakit yang sekilas lewat di wajah Anan, tapi mungkin itu cuma khayalan gue saja. Dia cuma angguk kecil dan langsung menghilang dari tangga.
Gue menghembuskan napas panjang sambil memperhatikan punggung cowok impian gue pergi lewat jendela kamar gue.
...***...
Gue merasa kacau banget. Kepala gue pusing, badan gue lemes, perut gue masih goyah gara-gara minuman semalam. Gue enggak tidur sama sekali, dan sekarang sudah terang.
Asta?
Dia santai banget, tidur kayak vampir di siang bolong.
Gue genggam cangkir kopi yang hangat di tangan, duduk di lantai depan ranjang dan berselimut. Berharap kopi bisa kasih secercah harapan buat jiwa gue.
Rasanya gue kayak zombi, badan gue nyata tapi roh gue, jiwa gue enggak tahu ke mana. Enggak sebanding sama kecewa yang menembus hati gue. Merasa dimanfaatin, ditolak, dan enggak dihargai.
Gila, cuma dengan beberapa kata, Anan bisa bikin gue merasa kayak begini. Walaupun gue tahu gue melakukan hal yang benar dengan menjauhinya, itu enggak mengurangi rasa kecewa dan sedih di hati gue, karena dia sudah pergi. Dia muncul di hidup gue secara tiba-tiba, dan dia juga pergi dengan tiba-tiba.
Matahari mulai nongol lewat jendela kecil gue, dan kejadian semalam masih terbayang dengan jelas, waktu Anan hilang keluar dari situ.
Gue enggak bisa berhenti memutar balik semua momen itu di kepala, otak gue yang dipandu sama hati terus mencari-cari alasan yang bisa kasih gue harapan kalau dia enggak cuma mainin gue, kalau dia enggak cuma manfaatin gue, kalau dia bukan cowok brengsek.
Gue sudah tahu dari awal, sifat Anan memang enggak sempurna. Sejak gue perhatikan dia, gue bisa lihat itu. Tapi gue tetap enggak menyangka cara dia memandang cinta bakal seperti itu, sepertinya dia enggak mau punya hubungan atau menganggap kalau semua cewek itu cuma buat dipakai terus ditinggali.
Sakit, parah.
Dan gue tahu, kalau saja gue enggak hargai diri gue sendiri sebagai perempuan, mungkin gue bisa jatuh ke tangannya. Gue mungkin bakal kasih semua yang gue punya, karena memang dia bikin gue tergila-gila, gue suka banget sama dia, semuanya.
Belum pernah sekalipun gue merasa tertarik kayak begini sama orang lain. Jadi gue enggak menyalahkan cewek-cewek lain yang terlanjur terjebak sama pesonanya, yang mencoba mengubah dia.
Mungkin gue juga bakal mencobanya kalau gue enggak alami sendiri apa yang nyokap gue alamin. Tapi itu jadi pelajaran gue.
Gue hembuskan napas sambil minum kopi.
Gue bosan jadi jomblo.
Gue ingin merasakan cinta, ingin punya pengalaman, ingin senang-senang, kepingin banyak hal, tapi gue juga ingin orang yang bisa hargai gue, yang layak buat bareng sama gue, yang ingin bareng sama gue. Gue enggak mau jadi mainan orang, walaupun gue suka sama dia.
Gue menyandarkan kepala di pinggiran ranjang, taruh cangkir kopi di sebelah, terus lihat kipas langit-langit yang berputar pelan, kasih angin segar ke muka gue.
Tanpa sadar, gue ketiduran.
...***...
Beberapa jam kemudian, Asta akhirnya bangun dan pergi dengan muka tertunduk, ngucapin maaf berulang kali.
Gue bisa lihat betapa dia takut sekaligus hormat sama Anan. Tapi yang paling kelihatan adalah betapa baik dan lembutnya dia, gue suka Asta, dan gue harap situasi aneh ini jadi awal dari persahabatan kita.
Pas gue lihat Asta pergi turun lewat tangga di luar jendela kamar, bayangan Anan enggak bisa gue hindari. Gue ingat jelas saat dia turun tangga itu, matanya menempel terus di gue, kayak menunggu gue buat berubah pikiran dan panggil dia balik.
Sial!
Keluar dari kepala gue, Pangeran Jawa.
Gue butuh tidur.
Gue tarik selimut dan coba merem lagi.