Menceritakan tentang Anis yang pindah rumah, Karena di tinggal kecelakaan oranf tuanya.Rumah tersebut milik tante Parmi yang ada di kampung. Banyak kejadian yang di alami Anis di rumah tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KERTAS PENA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang Masa Lalu
Seiring waktu berlalu, Anis dan Arman semakin dekat. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama di Taman Kenangan, merencanakan kegiatan baru dan berbagi mimpi. Namun, meskipun hubungan mereka semakin kuat, Anis merasakan ada sesuatu yang masih membelenggu dirinya—bayang-bayang masa lalu yang tidak sepenuhnya sirna.
Setiap kali mereka berbincang tentang masa depan, Anis tak bisa menghindari rasa khawatir yang menyelimuti hatinya. Dia sering teringat pada Rudi, mantan kekasihnya yang pergi terlalu cepat. Kenangan manis dan pahit bersama Rudi menghantuinya, menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab dalam benaknya. Apakah dia benar-benar siap untuk melanjutkan hidup sepenuhnya? Apakah membuka hati untuk Arman berarti mengkhianati kenangan yang telah berlalu?
Suatu sore, saat Anis dan Arman duduk di bangku taman, Arman memperhatikan ekspresi Anis yang tampak resah. “Kau terlihat berpikir jauh, Anis. Apa ada yang mengganggumu?” tanyanya, nada suaranya lembut dan penuh perhatian.
Anis menghela napas, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku hanya… kadang merasa terjebak dalam kenangan masa lalu. Tentang Rudi. Aku tidak ingin mengabaikan semua yang kami lalui, tetapi aku juga tidak ingin menghalangi diriku untuk mencintaimu.”
Arman mengangguk, memahami beratnya perasaan yang Anis bawa. “Anis, aku tidak ingin kau merasa terbebani dengan masa lalu. Cinta itu rumit, dan tidak ada yang bisa menghapus kenangan yang sudah ada. Tapi kita bisa menjadikan itu bagian dari perjalanan kita, bukan penghalang.”
“Apa kau yakin bisa menerima bahwa aku masih memiliki rasa cinta untuknya? Meskipun dia telah pergi?” tanya Anis, hatinya bergetar.
“Aku percaya bahwa cinta itu bisa bertahan dalam berbagai bentuk. Kita tidak bisa menghapus kenangan, tapi kita bisa membangun kenangan baru bersama-sama. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untuk mendengarkan, tanpa menghakimi,” jawab Arman, menatap Anis dengan mata penuh pengertian.
Anis merasa lega mendengar kata-kata Arman. Dia merasakan kehadiran yang menenangkan dan mendukung. “Terima kasih, Arman. Aku merasa lebih baik bisa berbagi perasaanku ini. Aku ingin berusaha untuk tidak membiarkan bayang-bayang masa lalu menghalangi hubungan kita.”
Malam itu, saat mereka pulang, Anis merasa seolah ada beban yang terangkat dari hatinya. Dia ingin belajar mencintai Arman sepenuh hati, tanpa rasa bersalah akan cinta yang telah pergi.
Namun, beberapa hari kemudian, saat Anis berkunjung ke rumah neneknya untuk membersihkan barang-barang, dia menemukan sebuah kotak kayu tua di dalam lemari. Penasaran, dia membukanya dan menemukan berbagai foto dan surat-surat lama, termasuk foto Rudi dan surat-surat cinta yang ditulisnya.
Mata Anis berkaca-kaca saat melihat foto-foto mereka. Kenangan indah tentang cinta pertama, tawa, dan harapan untuk masa depan muncul kembali. Dia merasakan kesedihan yang mendalam. Seakan-akan, dengan melihat foto-foto itu, semua perasaan yang berusaha dia sembunyikan kembali muncul.
Ketika Anis membaca salah satu surat dari Rudi, rasa sakit itu semakin menguat. Dia tidak hanya merindukan Rudi, tetapi juga merindukan bagaimana perasaannya saat itu—cinta yang tulus dan tanpa beban. Anis tidak tahu harus berbuat apa dengan semua perasaannya yang bercampur aduk.
Malam itu, Anis pulang dengan hati yang berat. Dia merasa bersalah karena mulai merasakan cinta untuk Arman, tetapi di saat yang sama, dia juga merindukan Rudi. Dia merasa seperti mengkhianati Rudi, seolah melupakan kenangan yang seharusnya dihargai.
Di malam yang sepi, saat Anis duduk sendirian di kamarnya, dia mengeluarkan foto-foto dan surat-surat yang ditemukan. Dengan penuh rasa rindu, dia menatap wajah Rudi. “Maafkan aku, Rudi,” bisiknya, air matanya mengalir. “Aku tidak ingin melupakanmu, tetapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam bayanganmu. Aku ingin merayakan cinta yang baru, tetapi hatiku masih terbelah.”
Anis merasa terjebak dalam perasaannya sendiri. Di satu sisi, ada harapan dan cinta baru dengan Arman, tetapi di sisi lain, ada kerinduan yang mendalam terhadap masa lalu. Dia tidak tahu bagaimana menemukan jalan keluar dari perasaannya yang rumit ini.
Keesokan harinya, Anis memutuskan untuk menemui Arman. Dia merasa perlu jujur dan berbicara tentang perasaannya yang sebenarnya. Saat mereka bertemu di Taman Kenangan, Anis merasa gugup dan cemas.
“Arman, aku perlu berbicara denganmu,” katanya, suaranya bergetar.
“Ya, tentu. Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Arman, melihat ke arah Anis dengan penuh perhatian.
Anis menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku menemukan beberapa barang lama yang mengingatkanku pada Rudi. Aku merasa terjebak antara kenangan dan perasaanku untukmu. Aku tidak ingin menyakiti hatimu, tetapi aku juga tidak ingin berbohong.”
Arman menatapnya dengan serius, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda marah. “Anis, aku menghargai kejujuranmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak ingin memaksamu untuk melupakan Rudi. Dia bagian dari hidupmu, dan itu penting.”
“Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sedang berjuang dengan perasaanku. Aku ingin mencintaimu, tetapi terkadang bayang-bayang masa lalu menghalangiku,” kata Anis, air mata mengalir di pipinya.
Arman meraih tangan Anis, menggenggamnya dengan lembut. “Aku mengerti. Setiap orang memiliki perjalanan yang berbeda, dan itu tidak mudah. Aku tidak ingin kau merasa terbebani. Kita bisa mengambil waktu kita, dan tidak ada paksaan. Aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”
Mendengar kata-kata Arman, Anis merasa lega. Dia tidak pernah menduga bahwa Arman bisa begitu pengertian. “Terima kasih, Arman. Aku benar-benar menghargai dukunganmu. Aku akan berusaha untuk lebih terbuka dan tidak membiarkan masa lalu menghalangi masa depanku.”
Mereka berdua duduk di bangku taman, bergandeng tangan. Meskipun ada rasa sakit yang tersisa, Anis merasa bahwa dia tidak sendirian. Dia tahu bahwa dengan dukungan Arman, dia bisa menghadapi masa lalu dan belajar untuk mencintai lagi.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu bersama, bercerita dan berbagi mimpi. Anis merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah perlahan-lahan mengizinkan diri untuk bergerak maju. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia bertekad untuk tidak membiarkan bayang-bayang masa lalu menghantuinya selamanya.
Di bawah langit yang mulai gelap, Anis dan Arman duduk bersebelahan, merasa saling mendukung dan menyemangati. Keduanya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka siap untuk menjalani setiap langkah bersama, membangun kenangan baru dan merayakan cinta yang tumbuh di antara mereka.