Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Krisna Aditya
Sesaat kami bertatapan. Ada senyum di bibir pria itu dan ada kesal di wajahku. Pria itu meletakkan kopi di atas meja dan koper di samping kursi sebelah kanan.
Aku masuk kembali ke ruangan dalam menuju tempat buah-buahan. Sepertinya, pria itu mengamatiku dari balik kaca. Ah, jangan terlalu ge-er. Memang laki-laki itu tampan seperti blasteran, tapi tidak mungkin dia suka padaku.
Dua potong melon dan semangka di tangan kanan dan segelas jus jeruk di tangan kiri. Aku kembali menuju pintu keluar. Ke arah meja dekat kolam renang. Rupanya pria itu duduk di samping mejaku.
Aku membuka laptop dan kembali sibuk menatap layar. Menjadi panitia pelatihan sebenarnya hanya tugas extra. Bos-bos di kantor pusat memang seperti itu, selalu mengandalkan kantor Sub Divisi Tangerang untuk mengurus urusan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga karyawan, harus patuh pada atasan.
Kegiatan pelatihan ini menjadi semacam liburan untuk para peserta. Selama dua pekan, mereka akan menerima berbagai macam materi yang berkaitan dengan pengelolalan keuangan dan manajemen. Rangkaian acara sudah tersusun rapi. Dimulai dengan sarapan, materi, makan siang dan makan malam.
Pelatihan ini diadakan setiap hari dari pukul Sembilan pagi sampai pukul tujuh malam. Setelah itu, peserta bebas untuk istirahat atau mengontrol pekerjaan utama di Sub Divisi masing-masing. Tapi faktanya tidak seperti itu. Peserta akan pergi berjalan-jalan ke pantai atau ke mall terdekat untuk berbelanja. Bagi mereka yang tinggal di sekitar Jakarta, mungkin mereka bisa pulang ke rumah. Tapi kebanyakan, peserta ini berasal dari luar daerah.
Aku tak peduli dengan wajah yang dirasa masih menatap ke arahku. Sesekali tanganku bergerak menuju mouse, sesekali juga kumasukan semangka merah dan kukunyah pelan-pelan.
“Dek, panitia acara? Dari Sub Divisi mana?”
Pria tampan itu bertanya sambil berdiri di depanku. Sekilas ia melirik ke arah name tag yang kukalungkan. Aku terkejut dan terdiam. Hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih, dan bibirnya yang merah, membuat netraku tak bergerak. Apa dia peserta? Ah usianya masih terlalu muda untuk posisi kepala divisi. Tidak mungkin, dia tidak mungkin peserta. Mungkin dia tamu hotel atau karyawan dari kantor pusat?
“Iya Mas, ada yang bisa saya bantu?” aku membenarkan sikapku dengan formal.
“Ini ada materi tambahan yang harus di-fotocopy. Saya dari kantor pusat!” sambil meletakan beberapa lembar kertas ke atas meja. Dia tersenyum dan berlalu menuju lobby hotel.
Belum sempat berkata apapun, sambil mengira-ngira siapa pria itu dan dari mana dia berasal. Seingatku, beberapa kali aku berkunjung ke kantor pusat yang ada di jalan Gatot Soebroto itu, tak pernah kulihat ada staf baru.
“Dorr! Ngelamun apa?” Dini menepuk pundakku dan berteriak. Sontak aku kaget bukan main. Dia yang sedari pagi dicari-cari, baru muncul menjelang acara dimulai.
“Ih kamu! Ngagetin aja!” Aku membereskan laptop dan berkas-berkas itu, lalu memasukannya ke dalam tas.
“Ngelamunin apa sih? Ciee.. mantan ya? Mantan laki?” Dini bertanya dengan cengengesan.
“Mana ada mantan Din. Udah mati rasa Gue sama laki. Lu dari mana sih? Jam segini baru nongol?”
“Tadi pagi ada yang mau tuker kamar. Biasa peserta dari daerah emang aneh-aneh. Masa nggak mau lantai 7, katanya dia harus di kamar yang bernomor genap. Nanti sial. Jadi wee Gue teh riweuh ngurusin si bapak … bapak siapa ya tadi, dari Sumatera. Ah.. pokoknya bapak itu. Untung ada yang mau tukeran kamar sama lantai 4. Tapi ribet kan Na… masa Gue harus bulak-balik ke recepcionis.”
Dini menjelaskan tanpa henti. Aku mendengarkan sambil menariknya ke dalam menuju lift. Kami harus segera ke ruang pertemuan karena acara pembukaan segera dimulai. Panitia yang lain sudah bersiap di posisinya masing-masing. Ada Indri dan Ago yang mengurus teknik acara, ada Mia yang mengatur pembicara, sedangkan aku dan Dini harus teliti mengurus peserta dan materi. Indri, Ago, dan Mia adalah karyawan yang satu kantor denganku. Akhirnya, mereka juga diperbantukan dalam acara ini karena kantor pusat kekurangan personil.
Mengelola peserta pelatihan tidak semudah yang dibayangkan. Aku dan Dini harus memastikan berapa jumlah peserta yang hadir pada tiap sesi, dan jika ada yang tidak hadir, aku harus mencari tahu alasannya. Selain itu, kami juga harus memastikan peserta mendapatkan kamar dan fasilitas yang sudah disediakan. Kemudian, kami juga harus mendistribusikan materi kepada seluruh peserta. Jumlah peserta pelatihan yang hadir tahun ini sebanyak 270 orang. Satu kamar, rata-rata diisi oleh dua orang peserta.
“Din, kamu tahu nggak kalau di kantor pusat ada karyawan baru?” Sambil menunggu acara pembukaan selesai, aku duduk di area samping ruang pertemuan itu bersama Dini.
“Karyawan baru? Masa di kantor pusat ada karyawan baru. Bukannya belum ada perekrutan lagi?”
“Iya sih, tapi tadi pagi waktu sarapan, ada karyawan baru datang, ngasih ini nih.. katanya materi tambahan. Dan dia bilang, dia dari kantor pusat!” sahutku sambil menatap wajah Dini.
“Heeemm … siapa namanya?” Bibir dini bergerak-gerak, matanya juga. Seperti sedang mengingat-ngingat sesuatu. Dini sudah lebih lama bekerja di perusahaan ini, tapi kami sama sama karyawan kontrak.
“Boro-boro tahu namanya Din, ngomongnya aja rusuh. Dia langsung pergi. Masih muda kok, kayaknya staf deh.”
“Duh, siapa ya. Kalau staf enggak mungkin. Karena harus ikut perekrutan dulu. Mungkin dia kepala divisi yang dipindah tugas dari daerah?”
“Enggak mungkin atuh Din. Orang masih muda banget, kepala divisi biasanya sudah tua. Kalau cowok ini sih, sekitar 30-an lah.” Aku berseri-seri mengingat pria tadi.
“Terus, Lo suka? Katanya udah mati rasa sama cowok!”
“Yee … siapa yang suka, orang cuma nanya kok!”
Aku melengos masuk ke dalam ruangan. Mencari Ago untuk minta bantuan memperbanyak materi tambahan yang akan dibagikan setelah makan siang. Dini mengikutiku dari belakang.
Bruk!
Diktat dan berkas lain yang kupegang jatuh. Seseorang menabrak bahuku sambil bertelepon. Suara samar-samar terdengar. Pria itu berdiri di ujung pintu lalu menutup teleponya dan menuju ke arahku.
“Ah, maaf ya Dek, tadi saya buru-buru ke arah pintu. Soalnya di tengah berisik.” Dia terengah-engah mengulurkan tangannya. Aku yang masih terduduk di bawah segera berdiri dibantu Dini. Tak kuhiraukan tangan pria itu.
“Iya nggak apa-apa kok Mas!”
“Ups! Ini adik yang tadi pagi kan? di kolam renang?”
Rupanya pria yang menabrakku itu si karyawan baru. Aku mencubit tangan Dini sambil berbisik “Ini cowok yang gue ceritain.”
Pria itu kembali mengulurkan tangannya.
“Kenalkan, saya Krisna. Krisna Aditya!”