Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Jasmine duduk terhuyung di atas atap rumah, punggungnya menempel pada dinding, napasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tapi bukan dingin yang membuatnya menggigil—melainkan rasa takut yang mencengkeram. Di bawah, geraman zombie terdengar jelas, langkah berat mereka membuat atap bergetar samar. Setiap gerakan mereka seperti ancaman yang mendekat tanpa henti, membuat tenggorokannya tercekat.
"Sial," bisiknya, tangannya mengepal, berusaha menenangkan diri. "Aku nggak bisa terus begini. Harus ada jalan keluar."
Tatapannya berkeliling mencari sesuatu yang bisa menolongnya. Pandangannya jatuh pada balkon tetangga, tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Jaraknya mungkin hanya beberapa meter, tapi dengan ketinggian yang cukup untuk membuatnya ragu.
"Kalau aku loncat dan gagal..." pikirnya, bayangan tubuhnya terhempas ke aspal keras muncul di benaknya. Ia menelan ludah, tangannya gemetar hanya membayangkan risiko itu.
Suara zombie di bawahnya semakin menggema, seolah-olah mereka tahu dia ada di sana. "Kalau aku terus di sini... mereka akan menemukan cara naik. Itu pasti." Dia mencoba mengusir bayangan buruk itu, tapi perasaan terpojok semakin nyata.
Jasmine menghela napas panjang, berusaha memikirkan rencana lain. Dia menyadari bahwa dia tak bisa bertahan di sini lebih lama. Bekalnya menipis—air dan makanan yang hanya cukup untuk sehari lagi. "Aku nggak akan mati kelaparan di sini," desisnya, bertekad.
Dengan hati-hati, dia mengintip ke bawah. Jalanan dipenuhi dengan mayat-mayat berjalan yang bergerak tanpa tujuan, kecuali mencari daging segar. Jumlah mereka terus bertambah, membuat langkah kakinya bergetar saat melihat betapa mustahilnya melarikan diri lewat jalan itu.
"Apa ini akhir dari semuanya?" pikirnya. Matanya terpejam, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kalut. “Nggak, Jasmine. Kamu harus lebih kuat dari ini,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menguatkan hati.
Tangan gemetarnya meraih sebatang besi tua yang tergeletak di atap. Alat itu mungkin bisa menjadi senjata, meskipun kecil dan ringkih. "Lebih baik daripada tidak ada apa-apa," katanya dalam hati. "Tapi tetap... bagaimana aku bisa melawan mereka?"
Pikirannya kembali melayang ke Gathan. Ia bertanya-tanya apakah dia selamat. “Gathan… kamu di mana? Apa kamu baik-baik saja?” pikirnya, tatapannya menerawang ke kejauhan. Kecemasan akan nasib teman-temannya semakin menghimpit, tapi dia tak bisa menolong mereka jika dia sendiri terjebak di sini.
Saat putus asa mulai menyelimuti, tiba-tiba terdengar sesuatu yang berbeda. Bukan geraman zombie. Bukan suara langkah mereka yang berat dan tidak berirama. Ini suara lain. Langkah kaki manusia.
Jasmine terdiam, matanya membesar. "Siapa itu?" pikirnya, telinganya tegang mencoba menangkap lebih jelas suara tersebut. Langkah kaki itu semakin mendekat, meski tak terlihat dari mana datangnya.
Sejenak, hatinya melonjak. “Ada orang lain di sini?” pikirnya dengan perasaan campur aduk antara harapan dan ketakutan. Tapi tak ada kepastian apakah suara itu benar-benar datang dari manusia yang bisa menolong, atau dari ancaman baru yang sama berbahayanya.
Jasmine menggigit bibirnya, aliran adrenalin mulai menguasai tubuhnya lagi. Ia harus cepat memutuskan—tetap di sini atau mencari asal suara itu? Apa yang lebih berbahaya: diam dan menunggu zombie menyerbu atap atau turun dan menghadapi apa pun yang ada di bawah?
“Aku nggak bisa tinggal di sini. Aku nggak bisa.” Jantungnya berdebar keras, rasa takut menyatu dengan keputusan yang harus diambil secepat mungkin.
Dengan langkah pelan namun hati-hati, Jasmine mendekat ke tepi atap, bersiap untuk melompat ke balkon tetangga. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi itu tak bisa menghentikan getaran di tangannya. Suaranya gemetar ketika ia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus melakukannya. Ini satu-satunya jalan."
Tapi sebelum dia bisa melompat, suara langkah kaki itu tiba-tiba berhenti.
Jasmine terhenti. Napasnya tertahan. Siapa pun yang ada di sana, sekarang benar-benar diam.
"Sial, apa ini jebakan?" pikirnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Seluruh tubuhnya tegang, siap untuk bertindak. Entah itu zombie lain yang berkamuflase, atau sesuatu yang lebih berbahaya.
Keheningan menggantung, menyelimuti semuanya.
****
Nafisah meremas erat pegangan pintu mobil yang sudah ditinggalkan. Tubuhnya menegang, napasnya pendek-pendek. Sinar matahari yang terik menyinari kota yang porak-poranda di hadapannya, membuat segala reruntuhan terlihat lebih suram. Reruntuhan bangunan menjulang tinggi seperti hantu bisu, seakan menjadi saksi bisu kehancuran yang baru saja terjadi. Mobil-mobil yang ditinggalkan di pinggir jalan—beberapa hancur, beberapa penuh dengan bekas darah—memberikan suasana kota yang dulu ramai kini bak medan perang.
"Ayo kita keluar," ujar Nafisah, tangannya gemetar saat ia meraih lengan Nizam. Dia tidak pernah membayangkan dirinya akan berhadapan langsung dengan bencana sebesar ini, tapi mereka tak punya pilihan lagi.
"Keluar?!" seru Azzam, matanya melebar. "Kau yakin? Bagaimana kalau mereka—"
"Mereka akan segera tahu kita di sini. Kita harus bergerak," Nafisah memotong, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang dia rasakan. Matanya beralih ke luar jendela, ke jalanan penuh puing. Jalan sunyi itu tidak menjanjikan keselamatan, tapi diam di sini terlalu berbahaya.
Nizam menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. "Aku nggak suka ini," gumamnya, tangannya menggenggam erat pisau kecil yang diambil dari rumah mereka sebelum melarikan diri. Ia melirik ke arah Nafisah dan Azzam, mencoba memberi mereka kepercayaan diri yang sebenarnya juga goyah. "Tapi... Nafisah benar. Kita nggak bisa terus bersembunyi."
Ketiganya melangkah keluar, kaki mereka melangkah hati-hati di antara puing-puing. Udara yang pengap bercampur dengan bau busuk darah dan kematian yang menyelimuti kota. Langkah kaki mereka nyaris tidak terdengar, tetapi setiap detik terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Geraman zombie di kejauhan semakin jelas, meskipun masih terdengar samar. Setiap bayangan di sudut mata mereka tampak seperti ancaman.
"Ayo cepat, jangan buang waktu," desis Nafisah sambil melangkah cepat, matanya liar mencari ancaman dari segala arah.
Setelah beberapa menit berjalan, Nizam menghela napas berat, mencoba meredakan ketegangan yang membakar dadanya. "Kalian pikir... ini terjadi di seluruh dunia?" tanyanya dengan suara parau. Telinganya masih siaga untuk menangkap suara zombie, tetapi otaknya penuh dengan pertanyaan.
"Kurasa ini bukan cuma di sini. Bisa jadi ini sudah merambah ke tempat-tempat lain," jawab Nafisah, alisnya berkerut. Tangan kirinya mencengkeram tas kecil, berisi sisa makanan dan air yang tak seberapa. "Ini bukan insiden biasa. Terlalu terorganisir. Terlalu cepat menyebar. Mungkin ini wabah global. Sesuatu yang direncanakan."
Azzam menatap kedua kakaknya, matanya berkaca-kaca. "Bagaimana kalau... ini bukan virus?" suaranya gemetar, penuh rasa takut yang tak bisa disembunyikan. "Bagaimana kalau ini lebih dari itu? Lebih... supranatural?"
Nafisah berhenti sejenak, memandang adiknya dengan tatapan lembut, tapi tegas. "Kita nggak tahu pasti apa ini, Azzam. Tapi kita nggak bisa biarkan rasa takut mengambil alih."
Nizam, yang biasanya tenang, akhirnya bersuara lagi. "Atau bisa juga... eksperimen yang gagal. Sesuatu dari laboratorium yang bocor, atau pemerintah yang mencoba mengendalikan kita." Suaranya rendah, tapi penuh kekhawatiran. "Yang jelas, kita nggak akan tahu kecuali kita bertahan hidup untuk melihatnya."
"Aku nggak peduli apa penyebabnya," Azzam menghela napas. "Aku cuma pengen kita selamat dari semua ini."
Mereka terus berjalan menyusuri jalan yang rusak, sambil terus waspada. Lalu, di kejauhan, sebuah gedung besar berdiri dengan kokoh di tengah reruntuhan. Tampaknya gedung itu belum tersentuh, tanpa tanda-tanda kerusakan berarti. Nafisah mengernyit, menatap gedung tersebut dengan penuh curiga.
"Tempat itu... terlihat aman," kata Nizam dengan suara pelan, matanya menyipit. "Mungkin kita bisa berlindung di sana. Paling nggak untuk sementara."
"Aman?" Nafisah menggeleng pelan, "Kalau tempat itu aman, kenapa nggak ada orang di sekitarnya? Nggak ada tanda-tanda kehidupan."
Azzam menelan ludah, wajahnya memucat. "Tapi... kita nggak punya pilihan lain, kan?"
Namun, saat mereka mendekati gedung tersebut, Nafisah tiba-tiba berhenti. Matanya menangkap sesuatu—sebuah bayangan yang bergerak di balik jendela gedung itu.
"Tunggu..." Nafisah mengangkat tangannya, menghentikan langkah adik-adiknya. "Kalian lihat itu?"
Azzam dan Nizam sama-sama menoleh, tubuh mereka tegang. "Apa... apa itu?" bisik Azzam, matanya melebar, napasnya tertahan.
Bayangan itu bergerak lagi, kali ini lebih jelas. Bentuknya samar, tapi cukup untuk membuat jantung mereka berdegup kencang.
"Manusia... atau bukan?" gumam Nizam, matanya masih terpaku pada bayangan yang terus bergerak di dalam gedung.
Nafisah mengerutkan alis, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai panik. "Kita nggak tahu... tapi kita akan segera mengetahuinya."
Mereka berdiri diam di tempat, saling bertukar pandang dengan ketegangan yang memuncak. Apa pun yang ada di dalam gedung itu, mereka harus memutuskan sekarang—melangkah masuk ke dalam ketidakpastian, atau mencari jalan lain.