Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Jenuh

Pernahkah kalian merasa bosan, tidak berarti, lelah, dan tidak berharap apa-apa? Ya, itulah yang kurasakan saat ini. Perasaan lelah dan penyesalan yang tumbuh setiap hari. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa “Cemburu itu tanda cinta”, itu semua bohong. Sebab kisah yang kualami sangat berbeda, cemburu justru membawa petaka.

“Baru pulang? Jam berapa ini!” Suara Riko mengagetkanku. Aku terdiam, menatapnya sebentar lalu meletakkan tas di meja makan.

“Tadi sudah bilang, aku telat. Soalnya Intan masih enggak mau ditinggal, Mas!”

“Yang meninggal siapanya Intan? Suaminya?”

“Bukan. Aku sudah bilang dari kemarin. Ayahnya yang meninggal!”

Kulangkahkan kaki menuju dapur. Sambil mengambil segelas air, aku melihat tumpukan piring dan gelas berserakan. Abu rokok yang bertebaran, membuat kepalaku pusing seketika. Seteguk air sudah mengalir melewati tenggorokanku. Kuayunkan tangan ini menuju bak cuci piring. Meskipun mata dan tubuh begitu lelah, aku harus membersihkan dapur sebelum tidur.

“Raina!” Riko berteriak.

Aku pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan pekerjaanku. Ia datang mendekat sambil menyalakan sebatang rokok tepat di samping wajahku.

“Ketemu siapa di sana? Mantan?”

“Apa sih Mas, kan cuma ngelayat Intan. Dibilangin kok enggak percaya!”

“Di rumah Intan ketemu siapa lagi? Ada suaminya?”

“Ya adalah. Ada ibunya, keluarganya, teman-temannya juga ada.”

“Teman-temannya Intan, kamu kenal, kan? Bukannya kalian pernah satu kampus waktu di Bandung?”

Astagfirullah, kenapa manusia ini selalu buruk sangka. Seolah-olah aku pergi untuk berselingkuh.

“Ya, ada yang kenal Mas. Beberapa teman kampus juga datang.”

“Pantesan lama. Pergi dari subuh, pulang hampir subuh. Ngapain saja sama teman-teman kampus? Riko kembali bertanya. Kutarik napas dalam-dalam. Mungkin aku salah, mungkin memang benar aku berdosa. Bertemu dengan teman tanpa didampingi suami, bukankah itu tidak baik?

“Maaf deh Mas. Kan sekali-kali telatnya. Lagi pula sudah lama aku enggak ketemu mereka, ya itung-itung reunian.” Aku mencoba meredam kemarahan Riko.

“Jadi, kamu lebih bahagia sama teman-teman kamu dibandingkan sama aku ya?” Aku diam. Tak ada yang perlu dijawab lagi, pertanyaan yang tidak relevan. Kemudian Riko pergi ke atas, mungkin lelah menunggu dan matanya ingin beristirahat.

Aku merebahkan diri ke atas matras berwarna biru. Kamar ini sudah kusiapkan untuk Aksa. Sebentar lagi, ia akan tinggal dengan kami. Sementara ini Aksa masih bersama ibu di Bogor. Masih menunggu kelulusan Taman Kanak-kanak kelas B.

Kutatap langit-langit kamar itu. Ada setetes air yang jatuh ke pipi ini. Sebuah rasa kecewa karena Riko selalu curiga. Setumpuk rasa lelah karena rumah yang tidak menjadi tempat pulang dan istirah. Sesekali aku berkhayal, pulang disambut dengan senyuman Riko sambil bertanya Capek ya, sudah makan? Tetapi khayalan itu terbang, bersama mata yang terpejam.

Pernikahanku dengan Riko Subagyo adalah pernikahan yang kedua. Ia berusia 34 tahun saat kami bertemu. Sedangkan aku berusia 30 tahun. Setelah bertahun-tahun berjuang sebagai orangtua tunggal, Aku menyerah dan jatuh cinta pada Riko. Keringat dan airmata yang telah terukir, tak mampu juga membawa pada kehidupan yang kuimpikan. Setidaknya saat ini. Saat ini, keraguan selalu membayangi hari-hariku. Seolah-olah semuanya terlambat. Ah, kenapa setelah satu tahun aku menyadari, begitu banyak yang hilang dari diriku.

Dulu. Di masa-masa sendiri itu, ada masa bahagia yang aku dapatkan. Karir yang gemilang dan materi berkecukupan. Kehidupanku cukup baik dan mapan. Tetapi, aku menyerah karena keserakahan. Keinginan mendapatkan semuanya dalam hiduplah yang membuatku memutuskan untuk menikah lagi. Aku ingin dicintai dengan utuh. Ingin memiliki sepenuhnya. Aku memberikan kebahagiaan sempurna pada anakku. Memberinya seorang ayah. Dan tentu saja, itu semua karena aku sudah lelah.

Aku sudah memiliki seorang putra. Pernikahanku yang pertama hanya bertahan dalam hitungan bulan. Suamiku pergi dengan perempuan lain yang lebih mapan. Di sore hari yang tenang. Tanpa angin dan hujan, suami pertamaku menceraikanku dengan alasan sudah tidak ada cinta. Masih segar di ingatanku kalimat yang ia lontarkan “Aku sudah tidak mencintaimu dan tidak ingin menumbuhkan rasa cinta itu lagi buatmu!”. Begitu mudah kata-katanya, dan begitu lemah aku menerimanya.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk meniti karir seorang diri. Aksa, anakku yang belum mengerti kata ayah, yang baru saja diberikan makanan pendamping asi, harus berpisah dengan ibu dan ayahnya. Aksa kutitipkan pada ibuku di Bogor. Aku bekerja di Jakarta seperti perempuan gila. Tak mengenal waktu, tak mengenal lelah. Yang kupikirkan hanya cara bertahan hidup dan dapat memberikan yang terbaik untuk Aksa dan ibu.

Aksa. Seorang anak dengan binar di matanya. Binar yang merindukan sosok ayah yang tak pernah ia dapatkan. Di usia lima tahun, Aksa bertemu Riko. Sejak pertemuan pertama itulah, Aksa sudah lengket pada Riko. Ia tak pernah mengenal sosok ayah. Ayahnya tak pernah datang, tak pernah bertanya, tak juga memberi kabar.

Bukan karena Riko seorang lelaki yang mapan dan pandai bicara. Ada hal penting yang membuatku menyerah dan akhirnya menikah. Riko begitu menyayangi Aksa, putra semata wayangku. Tetapi semuanya berubah. Tidak, bukan berubah. Tak ada yang berubah dengan Riko. Hanya saja, aku baru menyadarinya.

Jalan Siaga 1. Di sinilah kami tinggal. Pemukiman lama daerah Jakarta Selatan, di belakang Mall Pejaten Village. Rumah ini terbilang besar untuk pasangan pengantin dengan satu orang anak. Rumah dengan gaya klasik terdiri dari dua lantai itu, dikelilingi pagar tinggi dan pohon jambu. Kami kurang bersosialisasi dengan tetangga. Tetapi hampir semua tetangga, kenal dengan keluarga kami. Dan aku baru mengetahui, kalau rumah ini adalah hadiah dari ayahnya Riko.

Aku tidak pernah menyangka, kalau pernikahan ini sudah terasa gagal sejak hari pertama. Laki-laki yang bergelar suami itu tidak pernah memberiku nafkah lahir. Sejak menikah, bahkan sebelum menikah, semua kebutuhan dipenuhi oleh orangtuanya.

“Ini uangnya!” Suara Eyang Putri terdengar dari kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi, sedikit melihat gerakan Eyang membuka lemari jati berwarna coklat tua dan memberikan uang cash pada Riko. Tidak lama kemudian, Riko mengajakku berbelanja kebutuhan untuk acara pernikahan. Mulai dari mas kawin, pakaian, tas, make up, dan uang untuk acara akad dan syukuran pernikahan. Ya, aku memang tidak mengeluarkan banyak uang untuk pernikahanku dengan Riko. Karena tabunganku sudah menipis dan beberapa bulan sebelum menikah, aku sudah tidak bekerja. Anehnya, aku tidak keberatan saat itu dengan pemandangan yang kusaksikan. Pemandangan seorang anak laki-laki yang berusia sangat dewasa, sedang meminta uang pada ibunya yang sudah tua dan tidak bekerja. Aku hanya berpikir positif. Mungkin saja, Riko menyimpan uang hasil usahanya pada ibunya.

Kebodohanku yang kedua adalah mengikuti keinginan Riko sebelum menikah. Karir yang bertahun-tahun aku bangun, aku tinggalkan begitu saja. Gaji bulanan dan fasilitas kantor yang tidak sedikit, tak juga membuat perndirianku berubah saat itu. Aku hanya mencoba memahami ketakutan Riko atas kehilangan. Lagi pula, waktu itu, Riko terlihat sangat mampu menghidupi aku dan anakku.

Terpopuler

Comments

Sunshine🤎

Sunshine🤎

1 like+subscribe untuk karya mu Thor. semangat trus sering² interaksi dan tinggalkan jejak di karya author lain, dan jangan lupa promosiin karya agar popularitas meningkat/Good/

2024-07-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!