Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Hari-hariku di rumah yang indah itu terasa sepi. Meskipun Bu Sofía sangat baik, aku merasa bosan. Lingkungan di sekitarnya sangat besar, tetapi sepertinya tidak ada anak-anak lain di sana. Semua rumahnya mewah dan memiliki tanah yang luas, tetapi tidak ada suara tawa anak-anak. Aku sangat merindukan Dereck.
Suatu hari, Bu Sofía memperhatikanku dan bertanya, “Aku melihatmu sedih dan pendiam, Isabel. Bisakah kamu memberitahuku apa yang salah?”
“Aku rindu temanku, dan sepertinya tidak ada anak yang tinggal di sini,” jawabku jujur.
“Ah, aku mengerti. Dulu ada anak-anak di daerah ini, tetapi sekarang mereka semua sudah dewasa dan pindah ke rumah mereka sendiri. Itulah sebabnya kamu tidak memiliki siapa pun untuk diajak bermain. Yang bisa kita lakukan adalah fokus pada hal-hal yang menghibur dan mengajarkanmu sesuatu yang bermanfaat. Misalnya, aku bisa mengajarkanmu cara bermain piano. Kegiatan ini bisa mengisi waktu dan membuat hari-harimu berlalu lebih cepat,” kata Bu Sofía.
“Adikku Lucía tahu cara bermain piano, tapi mereka tidak pernah mengajariku,” jawabku.
“Kamu masih muda, Isabel. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mempelajari semua yang kamu inginkan,” kata Bu Sofía.
“Sejujurnya, ya. Aku ingin belajar memainkan lagu yang sama yang dimainkan Lucía,” jawabku.
Sejak sore itu, hariku dipenuhi dengan latihan. Awalnya, tanganku terasa canggung saat mencoba membiasakan diri dengan kehalusan yang dibutuhkan dalam bermain piano. Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan kedekatan dengan Lucía setiap kali jari-jariku menyentuh tuts piano. Aku membayangkan Lucía mendengarku dari surga, merasa bahagia karena aku belajar untuknya. Musik menjadi penghiburan bagiku dan mungkin juga baginya.
Setiap hari, aku berlatih dengan tekun—belajar menjaga waktu, membaca lembaran musik, dan mengoordinasikan kedua tangan. Musik bukan hanya sekadar suara; itu adalah cara untuk mengekspresikan perasaanku—kesedihan karena kehilangan saudara perempuanku, kerinduan pada orang tuaku dan teman-temanku, bahkan kemarahan karena polisi belum menemukan orang jahat yang menyakiti Lucía.
Setiap nada yang kutekan adalah langkah mendekat ke dunia yang penuh dengan emosi dan pemikiran. Aku bertekad untuk belajar memainkan setiap melodi dengan benar. Bu Sofía senang dengan disiplin dan ketekunanku, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan di dalam hati.
Setelah beberapa waktu, saat aku mulai merasa lebih percaya diri, aku memutuskan untuk bertanya kepada Bu Sofía tentang keluarganya. “Bu Sofía, bolehkah aku bertanya tentang keluargamu?” tanyaku, berharap dia mau berbagi lebih banyak.
Aku terdiam, merenungkan cerita Bu Sofía. Kesedihannya begitu mendalam, dan aku bisa merasakannya. “Aku akan terus berlatih, Bu Sofía. Aku ingin membuatmu bangga,” kataku dengan tulus.
Dia tersenyum, meskipun matanya masih basah. “Musik bisa menjadi cara kita mengenang orang yang kita cintai. Ketika kamu bermain, kamu membawa kembali kenangan indah.”
Aku mulai melihat piano bukan hanya sebagai alat musik, tapi juga sebagai jembatan untuk menghubungkan hati kami. Setiap nada yang aku mainkan terasa seperti pesan untuk Lucía dan juga untuk Bu Sofía, mengingatkan kami bahwa meskipun kami kehilangan orang-orang yang kami cintai, kami masih bisa saling mendukung dan merasakan kebahagiaan bersama.
Hari-hari berlalu, dan aku semakin mahir. Setiap kali aku duduk di depan piano, aku merasa Lucía ada di sana, mendengarkan dan tersenyum. Suatu sore, ketika aku memainkan lagu yang indah, Bu Sofía duduk di sampingku, menatapku dengan bangga.
“Isabel, kamu luar biasa! Suatu saat, aku ingin mengadakan konser kecil di sini. Kamu akan menjadi bintangnya,” katanya.
Aku merasa bersemangat. “Ya, aku ingin!” jawabku, membayangkan betapa senangnya melihat senyum di wajah Bu Sofía dan kerabatnya.
Kami mulai merencanakan konser itu. Aku memilih lagu-lagu yang aku rasa akan membuat semua orang tergerak. Setiap latihan semakin mendekatkan kami, dan aku bisa merasakan betapa kami saling mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang kami cintai.
Dengan musik, kami menciptakan kenangan baru yang akan terus hidup di hati kami.
Natal itu terasa campur aduk, penuh kenangan manis dan rasa rindu yang mendalam. Saat kami berkumpul di ruang tamu, Bu Sofía dan aku saling bertukar cerita tentang masa lalu, tentang cinta dan kehilangan. Meskipun kami berdua merindukan orang-orang yang telah pergi, kami menemukan kenyamanan satu sama lain.
Satu malam, saat kami duduk di depan perapian, aku berbagi tentang kenangan indah yang aku miliki bersama Lucía. “Kami sering bernyanyi dan bermain bersama, terutama saat Natal. Rasanya seperti dia masih bersamaku,” kataku dengan suara bergetar.
Bu Sofía menatapku dengan mata yang penuh empati. “Musik adalah cara kita mengingat mereka. Setiap nada yang kamu mainkan adalah sebuah penghormatan,” jawabnya.
Ketika malam semakin larut, kami mulai menyanyikan lagu-lagu Natal bersama. Suara kami bersatu, menciptakan harmoni yang menyentuh hati. Seperti ada kehadiran Lucía di antara kami, mendengarkan dan tersenyum.
Di tengah kesenangan itu, aku tidak bisa tidak memikirkan orang tuaku. Rindu mereka menyergapku seperti badai. “Aku berharap mereka baik-baik saja,” kataku pada Bu Sofía, mataku berkaca-kaca.
“Isabel, mereka pasti merindukanmu. Dan kamu adalah kekuatan bagi mereka. Mereka tahu kamu aman di sini,” jawabnya dengan lembut. Itu adalah pengingat yang menenangkan, meskipun jarak memisahkan kami.
Hari-hari berlalu setelah Natal, dan saat tahun baru mendekat, aku merasa lebih kuat. Musik dan kasih sayang Bu Sofía memberiku harapan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berlatih dan mengasah kemampuanku, agar bisa membawa kebahagiaan bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk Bu Sofía.
Akhirnya, aku mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan hasil latihanku. Bu Sofía mengatur konser kecil di rumah. Kami mengundang tetangga dan teman-teman. Saat aku duduk di depan piano, jantungku berdebar. Namun ketika jari-jariku menyentuh tuts, semua ketegangan itu hilang. Suara piano mengalun, dan aku merasakan semangat Lucía bersamaku.
Setelah pertunjukan, tepuk tangan menggema di ruangan. Wajah Bu Sofía bersinar dengan kebanggaan. “Kamu luar biasa, Isabel!” teriaknya.
Dalam momen itu, aku merasakan cinta dan kehilangan bersatu. Musik menghubungkan kami, membentuk ikatan yang kuat. Sejak saat itu, aku tahu bahwa meskipun hidup kami telah diubah oleh kesedihan, kami juga bisa menemukan kebahagiaan baru, bersama-sama.