dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memaafkan
Laras duduk di sofa ruang tamu, memegang perutnya yang terasa nyeri. Sudah sebulan berlalu sejak operasi kehamilan ektopiknya, tapi rasa sakit itu masih terus datang dan pergi. Pagi ini terasa lebih buruk dari biasanya, dan Laras mulai merasa khawatir. Kemarin malam dr. Maura tidak bisa datang karena dokter itu sedang di luar kota, sehingga ibu mertuanya tidak lagi memaksanya untuk periksa.
Suara telepon dari dapur terdengar. Mama Ajeng yang menginap di rumah mereka sedang sibuk di dapur bersama Bi Darti, sedang Laras mengawasi Bagas bermain.
"Iya, Dokter Maura. Laras sudah sebulan ini mengeluh sakit perut setelah operasinya. Bisa tolong datang dan memeriksanya di rumah?”
Tidak lama kemudian, pintu rumah diketuk dan Mama Ajeng segera membukanya. Dokter Maura masuk dengan senyum hangat, membawa tas medisnya.
“Pagi, Bu Ajeng. Bagaimana keadaan Laras?”
“Pagi, Dokter Maura. Laras ada di ruang tengah, sakit perutnya makin parah,” jawab Mama Ajeng menuntun dr. Maura ke ruang keluarga.
Dokter Maura berjalan ke ruang keluarga dan menemukan Laras duduk di sofa, tampak pucat dengan wajah lesu.
“Pagi, Laras. Aku dengar kamu merasa tidak enak badan. Mari aku periksa,” ujar Dokter Maura lembut.
Laras mencoba tersenyum meski rasa sakit masih mendera. “Pagi, Dok. Terima kasih sudah datang. Sakit perut ini makin sering muncul.”
Dokter Maura dengan cekatan mulai memeriksa perut Laras. Ia menekan beberapa titik dengan lembut. “Sakitnya di sini?” tanya Dokter Maura sambil menekan bagian bawah perut Laras.
Laras mengangguk, meringis, “iya, Dok ... di situ terasa paling nyeri.”
Dokter Maura mengangguk mengerti.
“Laras, berdasarkan pemeriksaan ini, aku menduga rasa sakit ini adalah efek samping pasca operasi kehamilan ektopikmu. Tubuhmu masih dalam proses penyembuhan. Aku akan memberikan obat pereda nyeri dan beberapa saran untuk mengurangi ketidaknyamanan.”
"Tuh kan Mama juga menduga gitu kemarin " sahut Mama Ajang mengusap ubun-ubun Laras yang masih berbaring di sofa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Dokter Pram masuk ke ruang keluarga dengan wajah dingin. Ia memandang Laras dan Dokter Maura dengan tatapan kaku.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Dokter Pram dengan suara datar.
Dokter Maura menjelaskan, “Laras mengeluhkan sakit perut dari kemarin, jadi aku memeriksanya di sini.”
Dokter Pram mendengus, memandang Laras dengan tatapan penuh kecurigaan. “Laras, aku berharap ini bukan alasan untuk menutupi kelalaianmu terhadap Bagas. Kamu tahu betapa seriusnya kejadian itu.”
"Pram!" tegur Mama Ajeng menatap tajam putranya.
Laras menghela napas, beranjak duduk di sofa dan menatap Dokter Pram dengan mata berkaca-kaca
“Aku benar-benar menyesal, Mas. Aku tidak bermaksud lalai. Aku sangat menyesal atas kejadian itu,” ucapnya dengan suara bergetar.
Dokter Pram hanya mengangguk dingin dan berjalan keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dokter Pram berlalu dengan langkah cepat menaiki tangga ke lantai dua. Meninggalkan ketiga orang itu yang menatapnya tak mengerti apa mau pria itu.
Setelah kepergian Dokter Pram, Dokter Maura duduk di sebelah Laras.
“Laras, aku tahu kamu merasa sangat bersalah, tapi kesehatanmu juga sangat penting. Kamu tidak bisa terus menyalahkan diri sendiri. Fokuslah pada pemulihanmu dulu.”
Laras menatap Dokter Maura dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Dok. Aku benar-benar berusaha untuk sembuh dan tidak membuat masalah lagi.”
Dokter Maura tersenyum lembut, “kita semua membuat kesalahan, Laras. Yang terpenting adalah belajar dari itu dan terus maju. Jangan biarkan rasa bersalah menghambat pemulihanmu.”
Hari-hari berikutnya, Laras berusaha keras untuk mengikuti saran Dokter Maura. Ia minum obat pereda nyeri secara teratur dan menghindari aktivitas berat. Mama Ajeng dan Bi Darti selalu memberikan dukungan penuh, membantu dengan pekerjaan rumah dan memastikan Laras mendapat cukup istirahat.
Namun, setiap kali melihat Bagas bermain di halaman bersama ayahnya, hati Laras selalu teriris. Ia merasa sulit memaafkan dirinya sendiri atas kejadian itu. Setiap tatapan dingin dari Dokter Pram semakin menambah beban perasaannya.
Setelah beberapa hari berlalu, Mama Ajeng sudah tak lagi menginap dan pulang ke rumah karena ayah mertuanya mengeluh karena tidak ada sang istri. Karena itu Laras jadi merasa tak enak dan meyakinkan Mama mertuanya itu bahwa ia baik-baik saja sekarang.
Malam ini, ketika Laras melihat pria itu memasuki ruang kerjanya ia mengikuti langkah sang suami.
“Mas, ada yang bisa aku bantu?” tanya Laras gugup.
Dokter Pram menghela napas panjang.
“Laras, kita perlu bicara!"
Laras mengikuti Dokter Pram masuk ke ruang kerja pria itu. Mereka duduk di sofa bersisian, keheningan yang canggung melingkupi mereka.
“Aku ingin meminta maaf atas sikapku yang dingin,” kata Dokter Pram akhirnya.
“Aku sangat marah dan khawatir saat itu, dan mungkin aku terlalu keras padamu.”
Laras terkejut mendengar permintaan maaf itu.
“Mas, aku yang seharusnya meminta maaf. Aku lalai dan hampir mencelakakan Bagas. Aku merasa sangat bersalah.”
“Aku tahu kamu tidak bermaksud buruk. Aku juga mengerti kamu sedang dalam masa pemulihan setelah operasi. Aku terllau khawatir sehingga mengabaikan dirimu!" ujar Dokter Pram menatap Laras dengan bersalah, pria itu menghela napas.
Laras mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Terima kasih, Mas. Itu sangat berarti bagiku.”
Dokter Pram menoleh, terkejut karena air mata di pipi wanita itu. Pria itu mengusap air mata di pipi sang istri, menarik Laras dalam dekapannya. Keduanya tak ada yang bersuara, saling terpaku pada dekapan dan perasaan pria itu yang mulai terganggu.
Setelah pembicaraan itu, hubungan antara Laras dan Dokter Pram mulai membaik. Laras merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Ia bisa lebih fokus pada pemulihan kesehatannya tanpa merasa tertekan oleh rasa bersalah yang berlebihan.
Dokter Maura terus memberikan dukungan dan memastikan Laras mendapatkan perawatan terbaik.
Hari-hari berlalu, dan Laras merasa kesehatannya semakin membaik. Rasa sakit di perutnya berangsur-angsur hilang, dan ia bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Hubungannya dengan Dokter Pram juga semakin membaik. Mereka mulai berbicara lebih sering, ya walaupun Laras lagi yang harus memulai obrolan karena pria kaku itu sangat irit bicara.
Laras sudah memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan pria itu mendukung apa yang Laras putuskan. Dokter Pram juga yang membantu mengurus surat pengunduran diri Laras.
Sore ini, Laras menemani putranya bermain di halaman belakang, ia tidak sendiri ada Bi Darti yang duduk menemaninya. Bagas berlari ke arahnya dengan senyum ceria.
“Mam, ayo ain sama!”
Laras tersenyum dan merangkul Bagas. “Tentu, sayang. Mama akan main denganmu.”
Melihat Bagas tersenyum, Laras merasa lega dan bahagia. Meski perjalanan ini penuh dengan tantangan, ia percaya bahwa dengan cinta dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia bisa melalui semuanya.
"Sedang apa kalian?"
...To Be Continue.......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....