NovelToon NovelToon
Luka Dan Pembalasan

Luka Dan Pembalasan

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Balas Dendam / Janda / Konflik etika / Cerai
Popularitas:1.6M
Nilai: 4.7
Nama Author: Reni mardiana

Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.

Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?

Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan

Setelah mendapatkan informasi tentang Laras dari Bayu, wajah Aiman langsung terlihat tegang juga panik. Dia tidak menyangka kejadiannya bisa sampai seperti ini.

Entah apa yang dilakukan oleh Bayu dan Laras, sehingga bisa menimbulkan kejadian yang sangat beresiko pada kandungannya.

Wajah panik Aiman disaksikan oleh Kiara yang merasa aneh ketika menerima telepon dari sang suami. Membuat Langit pun menatap wajah pria itu dengan rasa curiga.

“Ada apa, Man? Kenapa setelah suamiku menelponmu, wajahmu langsung berubah. Apa sesuatu terjadi sama mereka?” tanya Kiara ikut panik.

“Paman dan Ibu baik-baik aja, ‘kan, Om? Katanya mereka mau ngobrol sama dokter, tapi kenapa lama sekali? Apa aku ini sakit parah?” tanya Langit dengan wajah polosnya.

Aiman yang sudah mematikan sambungan telepon itu, segera memasukan ponsel ke saku celana. Selepas itu menatap Kiara dan Langit secara bergantian.

“Sudah kamu jangan khawatir, Om yakin ibumu itu wanita yang kuat, jadi doakan saja supaya semuanya baik-baik saja. Langit juga cuma sakit biasa kok, jadi jangan banyak pikiran ya, supaya nanti bisa secepatnya pulang. Oke, Jagoan? Om tinggal sebentar, ya,”

“Oh, ya, Kiara. Aku titip Langit dulu ya, nanti aku kabarin. Pastikan Langit jangan banyak berpikir keras biar kesehatannya tidak drop. Aku keluar sebentar, permisi.”

Kiara tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa mengangguk pelan dalam keadaan wajah penasaran bercampur cemas akan kondisi suami juga adik iparnya.

Rasanya Kiara ingin sekali menahan atau berlari mengikuti Aiman. Namun kembali lagi dia harus menjaga Langit yang pasti butuh perhatian lebih disaat-saat seperti ini.

Aiman sudah meminta beberapa perawat dan suster berjaga di depan rumah sakit supaya bisa langsung membawa Laras ke ruang UGD. Tak lupa di ruang UGD juga dokter kandungan sudah menyiapkan semuanya yang diperlukan ketika menangani wanita itu.

Tak lama hanya berselang lima menit, sebuah mobil datang membuat Aiman dan para perawat serta suster langsung membantu Bayu yang sudah menaruh Laras di atas bangkar.

Laras di dorong cepat menuju ruang UGD karena sudah tidak sadarkan diri beberapa menit lalu, ditambah cairan merah yang keluar dari sela kedua kaki sangatlah banyak.

Aiman bisa melihat betapa panik dan khawatirnya Bayu terhadap kondisi sang adik. Apalagi ketika pintu UGD mau ditutup beberapa kali sang kakak menahan dan ingin ikut bersama adiknya ke dalam ruangan.

Hanya saja Aiman menahan tubuh Bayu dengan cara memeluknya dari belakang demi membiarkan pintu UGD tertutup rapat.

“Sudah, Bay, sudah cukup! Biarkan dokter menangani keadaan Laras. Kita tunggu kabar dari dokter di sini dan bantu dengan doa supaya Laras juga anak yang ada di kandungannya baik-baik saja. Oke?”

Perlahan Aiman melepaskan Bayu yang sedikit tenang. Tanpa perlu dijelaskan pria itu sangat mengetahui kondisi perasaan sahabatnya sekarang yang pasti campur aduk.

“Sekarang mending kita duduk dulu, ya. Kamu tenangin diri kamu dulu, jangan seperti ini. Kasihan Laras kalau lihat kamu emosi terus. Percuma juga kamu masuk di dalam buat apa? Memang kamu dokter bisa menolong Laras, hem? Tidak bukan. Lagi pula dokter juga kalau tidak ada campur tangan Tuhan tidak bisa menyembuhkan pasien. Jadi lebih baik kita duduk, terus berdoa demi kebaikan Laras juga anaknya. Ayo, duduk dulu.”

Aiman merangkul Bayu sambil mengarahkan untuk duduk di kursi tunggu. Akan tetapi, bukannya sang sahabat duduk mendengarkan ucapannya pria itu malah berlari ke arah dinding sambil memukul dengan keras.

Duaak ….

Suara hantaman tangan ke dinding sangatlah keras membuat Aiman terkejut bukan main, apalagi ketika melihat cairan merah perlahan keluar dari tangan Bayu yang masih mengepal di dinding.

“Dasar laki-laki tidak tahu diri! Lihat saja kau, Jefri. Jika sesuatu terjadi pada adikku juga anaknya. Aku akan pastikan hidup kalian akan menderita selamanya. Arrrg—-”

“Stop, Bay, stop!” pekik Aiman menahan tangan kanan Bayu yang ingin kembali melayangkan tonjokan keras ke arah dinding, padahal tangannya sudah terluka berat.

“Percuma kamu melukai dirimu sendiri, itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Sekarang yang kamu bisa lakukan hanya duduk, doakan Laras dan anaknya supaya mereka baik-baik saja. Paham! Duduklah, aku akan cari suster bentar untuk mengobati tanganmu.”

Bayu berusaha mengontrol diri dan mengikuti perkataan Aiman. Dia duduk menjambak rambutnya frustrasi dengan keadaan cemas karena begitu mengkhawatirkan tentang kondisi sang adik.

Tak lama Aiman datang membawa suster yang langsung mengobati luka Bayu, meskipun tidak ada rasa apa-apa tetap saja sang sahabat khawatir jika tidak segera ditangani lukanya akan menjadi infeksi.

Baru juga suster selesai mengikat perban di tangan, matanya langsung melihat dokter keluar dari ruangan membuat pria itu segera berlari mendekatinya.

“Dok, bagaimana keadaan adik saya? Lalu, kandungannya baik-baik aja, ‘kan?” tanya Bayu menatap sang dokter.

“Ma-maaf, Tuan. Kami tidak bisa menyelamatkan kandungan pasien. Semua itu disebabkan akibat benturan yang cukup keras, sehingga pendarahan terus mengalir sampai akhirnya membuat pasien mengalami keguguran. Untuk keadaan pasien sendiri masih dalam pengaruh obat jadi harus istirahat sampai pengaruh obat menghilang.”

Penjelasan dari dokter mampu meruntuhkan kepercayaan Bayu yang dari tadi selalu berpikir positif, bahwa mereka bisa selamat. Namun nyatanya dia salah.

Hanya Laras lah yang selamat, sementara anak di dalam kandungan yang tak bersalah apa-apa harus menderita sampai kehilangan nyawa.

Tubuh Bayu lemas. Dia menyandar di dinding, lalu merosot ke bawah dan duduk penuh penyesalan. Seandainya tadi bisa melindungi sang adik maka Laras tidak akan kehilangan anak keduanya.

Aiman berjongkok di hadapan Bayu, kemudian menepuk pundak kanan berulang kali. Dia paham betul bagaimana terpukulnya sang sahabat atas kehilangan ponakan yang sudah ditunggu-tunggu kelahirannya.

“Sabar, Bay. Kamu harus kuat, kamu harus tegar, dan ikhlas untuk menghadapi semua ini. Ingat, ketika Laras bangun nanti sudah pasti dia akan sangat kehilangan anaknya. Untuk itu kamu harus kuatkan mentalmu supaya bisa merangkul adikmu. Dia sangat membutuhkan semangat darimu, kalau kamu seperti ini Laras malah akan semakin sedih.”

Bayu menangis disela-sela tangan dan kedua kaki yang ditekuk, kembali mengangkat kepalanya menatap wajah Aiman.

“A-aku sudah gagal jadi kakak, Man. A-aku gagal. Aku tidak becus menjaga adik juga keponakanku sendiri. Seandainya aku sigap, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. I-itu artinya aku tidak pantas menjadi seorang kakak maupun paman. Ya, i-ini semua salahku, salahku!”

“Huss, kamu itu ngomong apa sih, Bay. Berapa kali aku jelaskan ini bukan kesalahanmu. Ini semua takdir Tuhan, bukan salah siapa-siapa. Bagiku, kamu adalah kakak terbaik untuk Laras dan paman terhebat untuk Langit. Percayalah, jika Tuhan mengambilnya dengan cara seperti ini. Itu berarti Tuhan jauh lebih menyayanginya, daripada orang tuanya sendiri. Sekarang bangunlah, angkat kepalamu. Hapus semua kesedihan itu dan berdirilah tegak sebagai tameng untuk mereka. Kamu laki-laki jadi harus kuat, oke!”

Aiman berusaha menyemangati dengan cara lembut untuk memberikan pengertian terhadap Bayu yang malah menyalahkan diri sendiri.

Mereka berdiri secara perlahan, tak lupa Bayu memeluk Aiman sekilas karena merasa senang memiliki sahabat yang selalu ada di saat dia membutuhkannya.

Baru saja Bayu merasa tenang. Sang dokter kembali ke dalam ruangan untuk mengurus semuanya dan perpindahan Laras ke ruangan inap.

“Tu-tunggu, Bay. Kamu belum menjelaskan padaku, kenapa Laras bisa sampai mengalami semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Bukannya kalian kembali ke rumah itu hanya untuk mengambil surat-surat? Terus kenapa malah menjadi seperti ini?”

Aiman yang dari tadi penasaran malah membuat Bayu kembali teringat akan kejadian itu. Dia menceritakan secara detail kepada sang sahabat membuatnya benar-benar syok, sampai beristighfar berulang-ulang kali.

Sungguh malang sekali nasib Laras. Sudah dihina oleh sang mertua, diselingkuhi oleh suaminya, dan sekarang harus menyaksikan kejadian tak pantas itu. Sampai-sampai sang mertualah telah membunuh cucunya sendiri.

Emosi Bayu kembali meronta-ronta. Tak terima atas meninggalnya keponakan dia langsung mengepalkan kedua tangan dengan tatapan penuh kebencian terhadap keluarga Jefri.

“Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini. Jika darah dibalas dengan darah maka nyawa pun harus dibayar dengan nyawa. Aku tidak akan pernah ikhlas jika mereka masih bisa tersenyum di atas penderitaanku. Dasar pembu*nuh! Ya, aku akan balaskan dendam ponakanku untuk melenyapkan nenek-nenek peot itu. Ya, harus!”

Ketika Bayu ingin pergi menemui keluarga Jefri dengan niatan untuk membu*nuh Tuti. Aiman langsung menahannya kembali dan terus menasihati layaknya seorang adik pada kakaknya.

Bayu terdiam mendengar Aiman yang banyak sekali berbicara, tidak seperti biasanya yang cenderung tidak terlalu banyak bicara atau ikut campur urusan orang lain.

Akan tetapi, kali ini tidak. Sifat dewasa Aiman mengalahkan sifat Bayu yang masih tidak bisa mengontrol emosi, padahal mereka seumuran. Hanya saja sang sahabat lebih cenderung tegas.

“Buka matamu lebar-lebar, Bay. Kalau kamu membalaskan semua dendam itu, apakah kamu yakin anak yang ada di kandungan Laras bisa kembali lagi? Enggak, ‘kan! Terus kenapa kamu malah mengikuti hawa napsu se*tan? Kalau sampai kamu melakukan itu, bagaimana nasib istrimu, hem?”

“Kamu mau lihat Kiara sedih ketika suaminya ketahuan membu*nuh orang hingga di penjara bertahun-tahun lamanya. Terus gimana dengan pandangan Langit tentangmu? Bukannya dia menganggapmu sebagai paman terbaik? Jika tahu pamannya di penjara apakah itu nggak akan membuat dia berpikir buruk tentangmu? Lalu Laras? Di masa-masa seperti ini dia sangat butuh pelukanmu, tetapi kamu? Kamu malah sibuk mencari masalah yang seharusnya tidak terjadi,”

“Sekarang terserah. Aku tidak akan menahanmu lagi, kalau memang kamu mau melihat Kiara bersedih, Langit membencimu, juga Laras yang penuh dengan dendam. Pergilah! Tuntaskan balas dendammu itu untuk melenyapkan ibunya Jefri. Setelah itu, kamu akan hidup dengan rasa penyesalan seumur hidup. Satu pesanku, jika seseorang melakukan kejahatan maka balaslah dengan kebaikan bukan kejahatan lagi. Dikarenakan kejahatan tidak akan pernah menang dari kebaikan!”

Bayu terdiam. Dia mulai mencerna semua perkataan Aiman yang sangat benar. Emosi itu hadir hanya sesaat, tetapi penyesalan hadir untuk selamanya.

Di sini Bayu berpikir keras, sampai akhirnya dia meminta maaf kepada Aiman atas sifatnya yang buruk. Beruntung sekali pria itu memiliki sahabat yang bisa mengarahkan jalan yang benar dan tidak pernah meninggalkan ketika keadaan susah seperti ini.

Jika dipikir-pikir ini masalah keluarga Bayu dan Laras, sedangkan Aiman bukan bagian dari keluarga mereka. Lantas kenapa dia sangat baik untuk membayar semua administrasi tanpa menjadikan hutang yang harus diganti.

Di situlah Bayu baru menyadari artinya persahabatan yang sudah seperti keluarga sendiri, tanpa membedakan kasta mereka. Tahu sendiri Aiman merupakan seorang duda tampan yang bergelimang harta, tetapi begitu rendah hati tanpa menyombongkan apa yang dia punya.

Tidak seperti keluarga Jefri. Orang berada, cuma terlalu sombong, angkuh, juga menatap rendah orang yang tidak terlahir dari orang kaya.

*****

Sore hari sekitar jam 4, Laras sudah dipindahkan ke kamar yang sama dengan Langit. Kiara sampai syok saat melihat keadaan sang adik ipar yang sangat menyedihkan.

Langit sendiri merasa sedih karena kehilangan sang adik yang sudah dinantikan kehadirannya. Namun kembali lagi. Anak kecil itu berusaha menerima keadaan yang sebenarnya.

Aiman hanya menceritakan jika Laras mengalami kecelakaan kepada Langit, tanpa membuat anak yang masih polos itu mengetahui tentang cerita yang sesungguhnya.

Sementara Kiara sudah tahu dari Bayu tentang nasib malang yang menimpa adik kecilnya itu. Dia sangat sedih atas kejadian itu, seandainya tadi ikut mungkin Laras akan baik-baik saja. Begitulah pikir sang kakak ipar.

Bayu sendiri langsung mengurus pemakaman sang ponakan serta menguburkannya di dekat makam keluarga sebelum matahari tenggelam.

Langit tak tega menatap sang ibu yang masih tertidur dalam kondisi wajah pucat, perut yang belum kembali kempes seperti semula membuat dia mengingat sang adik.

“Seandainya Adek masih ada di perut Ibu, pasti Ibu bahagia banget kalau nanti Adek udah lahir. Tapi Adek sudah tidak ada, terus gimana Ibu? Apakah Ibu bisa bahagia tanpa Adek?” tanya Langit terus menoleh menatap bangkar Laras yang ada di samping bangkarnya.

Kiara yang sedang mengusap pipi Laras, seketika menoleh mendengar perkataan Langit yang sangat menyayat hati. Aiman yang dari tadi duduk di dekat anak kecil itu, mencoba mengalihkan pikiran yang sudah terlalu jauh.

“Kata siapa Ibu tidak akan bahagia, hem? Langit lupa ya, Ibu ‘kan, masih punya jagoan yang sangat tampan, hebat, juga kuat. Jadi, tidak mungkin Ibu tidak bahagia. Ya, meskipun sekarang sudah tidak ada Adek, tetapi masih ada Langit di samping Ibu. Pasti Langit bisa buat Ibu bahagia, walaupun tanpa Adek,”

“Ingat ya, Sayang. Hidup dan mati seseorang itu semua adalah ketetapan dari Allah, jadi jangan pernah jadikan itu sebagai suatu kesedihan yang berlarut-larut karena Allah tidak akan pernah suka Hambanya menangis cuma karena kehilangan sedikit dari nikmat yang sudah diberikan. Padahal sebelum itu Tuhan sudah memberikan banyak sekali nikmat yang harus kita syukuri. Sampai di sini Langit paham sama apa yang Om maksud?”

Kiara tersenyum melihat kedekatan Aiman kepada Langit. Cara dia menjelaskan benar-benar lembut banget, bahkan mudah sekali dipahami oleh anak sekecil Langit.

Elusan tangan Aiman di kepala Langit dengan lembut, membuat Kiara merasa terharu. Dia melihat sang pria seperti telah menganggap anak kecil itu seperti anaknya sendiri, sehingga tidak ada kasih sayang palsu yang dilihat oleh wanita itu dari sorot mata pria itu yang terus memancarkan ketulusan.

“Langit paham, kok, Om. Berarti kalau Langit sudah sembuh nanti, Langit harus buat Ibu bahagia ya, sampai Ibu harus melupakan kesedihannya dan ingat kalau Ibu masih punya Langit meskipun Adek sudah tidak ada. Begitu, ‘kan?”

Aiman mengangguk bangga terhadap anak kecil itu yang sangat cerdas dan mudah sekali menangkap penjelasannya.

“Anak pintar,” ucap Aiman tersenyum.

Tak lama Laras pun tersadar. Dia refleks membuka dan meraba perutnya yang masih sama, tetapi sedikit kempes.

“Syukurlah anakku masih ada. Aku kira—”

“Dek ….”

Kiara menatap lekat mata indah Laras dengan penuh kesedihan karena merasa kasihan melihat reaksi sang adik ipar yang masih mengharapkan kehadiran anak itu.

“Ka-kak Kiara … Ka-kakak kenapa nangis? A-aku gapapa, kok. Ini aku sehat, anakku juga sehat, kok. Jadi kenapa Kakak sedih?”

Laras berupaya untuk duduk dengan dibantu oleh Kiara yang ikut duduk di tepi ranjang sambil menatap wajah pucat itu.

Tangan Kiara menggenggam tangan Laras begitu erat membuatnya merasa bingung. Dia menoleh ke arah Langit yang menatap sedih, juga Aiman. Wajah mereka terlihat tidak senang, bahkan tidak bersemangat.

“Ka-kalian kenapa sih, melihatku seperti itu? Di-di mana Kak Bayu, Kak? Ke-kenapa Kak Bayu tidak ada di sini? Ja-jangan bilang dia menemui Mas Jefri, iya? Ka-kalau begitu aku harus ke sana. Aku tidak mau kakakku kenapa-kenapa. Aku harus—”

“Cukup, Dek. Lihat Kakak baik-baik, saat ini kamu masih sangat lemah. Kamu baru saja melakukan operasi kecil ka-karena a-anakmu ….”

Kiara menghentikan kalimatnya sejenak sambil menetralkan perasaan yang sangat sakit. Rasanya dia tidak sanggup memberitahu itu, tetapi tidak ada cara lain.

“Anakku? Operasi kecil? Ma-maksudnya gimana, Kak? Ini anakku masih ada di perut, kok. Kenapa Kakak khawatir, ada apa sebenarnya, sih, ini?”

Laras bertanya-tanya lantaran merasa bingung akan sikap kakak ipar yang selalu membuatnya penasaran.

Dengan satu tarikan napas Kiara memberanikan diri untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi pada bayi yang ada di dalam kandungan Laras.

“Dek, Kakak minta maaf. Anak yang ada di kandunganmu sudah tiada. Dia sudah diambil oleh Tuhan karena benturan yang cukup keras kamu mengalami keguguran. I-itu artinya di dalam perutmu su-sudah tidak ada lagi adiknya Langit. Mu-mungkin beberapa hari ke depan perutmu akan kembali rata seperti semula.”

Degh!

Air mata Laras langsung runtuh. Dia tak percaya sang anak telah tiada. Matanya menoleh ke arah Aiman juga Langit yang masih setia menatapnya.

“Apa yang Bibi bilang itu benar, Bu. Adek sudah di pangkuan Allah, tapi Ibu tenang aja. Kata Om Aiman walaupun tidak ada Adek, masih ada Langit yang akan membuat Ibu bahagia. Langit janji!”

Setelah mendengar ucapan Langit, Laras baru percaya jika apa yang dia takutkan telah terjadi. Matanya kembali menatap Kiara.

“Di-di mana Kak Bayu?”

“Di-dia—”

“Aku di sini. Mereka benar, Dek. Anakmu sudah tiada. Kakak baru selesai memakamkan karena hari sudah mulai sore. Tidak baik jika ditunda, apalagi dokter bilang tidak tahu kapan kamu akan terbangun karena efek obat itu diberikan agar kamu bisa istirahat total. Sekali lagi maafkan, Kakak. Kakak sudah lalai dalam menjagamu dan anakmu, maaf!”

Bayu yang baru saja kembali berjalan mendekati bangkar Laras. Hati sang adik begitu hancur ketika mengetahui buah hati yang selama ini dibawa ke mana-mana suda tiada.

Rasanya Laras ingin ikut bersamanya, tetapi tiba-tiba matanya melirik ke arah Langit yang tak henti menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.

Kiara yang tidak kuat melihat Laras terdiam langsung memeluknya, sehingga isak tangis itu langsung runtuh begitu saja.

Tak tega mendengar Laras menangis, Bayu ikut memeluk mereka sesekali memberikan nasihat untuk sang adik supaya bisa terus kuat dan ikhlas menerima ujian yang sangat berat ini.

******

Bersambung.

1
Maria Magdalena Indarti
Nando bener bener kacau
Maria Magdalena Indarti
Nando n Zoya sableng
Maria Magdalena Indarti
laras hamil
Maria Magdalena Indarti
Langit n Nando setali 3 uang. podo wae
Maria Magdalena Indarti
Nando langit kocak deh
Maria Magdalena Indarti
enak aja. kembali gundulmu
Maria Magdalena Indarti
dalangnya adik Senja, adik ipar Aiman
Maria Magdalena Indarti
sm Aiman aja Laras. langit sdh cocok
Maria Magdalena Indarti
yg mana nih jodohnya Laras
Maria Magdalena Indarti
siapa lg nih orang
Maria Magdalena Indarti
suami durjana. ceraikan saja.
Maria Magdalena Indarti
jefri hianat selingkuh dosa ya. karma akan datang
Maria Magdalena Indarti
istri dikasih 700 rb pd hal gaji 20 jt. Suami edan tenan
Nur Aqilah
Luar biasa
Janneke Parera
walah kenapa ada iklan kampanye yach
Elly Atmawati
Luar biasa
Allenn
Laras
Komang Diani
Luar biasa
Evi Lusiana
ni mah judul ny diantara 3 duda
Novita Ae
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!