Hai, kenalin! Ini adalah novel gue yang bakal ngajak kalian semua ke dunia yang beda dari biasanya. Ceritanya tentang Lila, seorang cewek indigo yang punya kemampuan buat liat dan ngerasain hal-hal yang nggak bisa dilihat orang lain. Tapi, jangan mikir ini cuma cerita horor biasa, ya!Lila ini kerja di kota besar sebagai jurnalis, sambil terus nyoba buat hidup normal. Sayangnya, dunia gaib nggak pernah jauh dari dia. Dari gedung-gedung angker sampai pesan misterius, Lila selalu ketarik ke hal-hal aneh yang bikin bulu kuduk merinding. Di tengah kesibukannya ngeliput berita, Lila malah makin dalam terlibat dengan makhluk-makhluk dari dunia lain yang seolah ‘nungguin’ dia buat ngungkap rahasia besar.Penasaran gimana dia bakal hadapin semuanya? Yuk, ikutin terus perjalanan Lila di "Bayangan di Kota: Kisah Gadis Indigo". Siap-siap deh, karena lo bakal nemuin banyak misteri, ketegangan, dan sentuhan supranatural yang bikin lo nggak bisa berhenti baca!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hansen Jonathan Simanjuntak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Jejak yang Terlupakan
Setelah berhasil kabur dari kantor, Lila dan Rina masih nggak bisa ngelepasin rasa takut yang nempel di hati mereka. Rasanya kayak mereka selalu diikuti sama sesuatu yang nggak kelihatan, tapi selalu ada di sekitar mereka. Teror yang mereka alami di kos, di kantor, dan di mana-mana bikin mereka mikir, ini bukan kejadian biasa.
Sambil jalan ke arah taman kota, Lila ngerasa ada yang aneh. Udara di sekitar mereka terasa dingin, padahal matahari masih terik. Rina yang biasanya bawel juga tiba-tiba jadi pendiam. Mereka berdua saling tukar pandang, tapi nggak ada yang berani ngomong duluan.
“Lo ngerasa nggak, Rin?” akhirnya Lila buka suara.
“Ngerasa apaan?” Rina nanya, walaupun jelas dari mukanya dia ngerti apa yang dimaksud Lila.
“Udara di sini. Dingin, tapi aneh. Kayak ada yang ngawasin kita,” jawab Lila, sambil sesekali ngelirik ke belakang. Seolah-olah ada sesuatu yang ngikutin mereka.
Rina ngangguk pelan, “Gue ngerasain hal yang sama, Lil. Kayaknya... ada yang nggak beres dari awal.”
Mereka duduk di bangku taman, berusaha ngeredain rasa cemas yang makin hari makin intens. Orang-orang lewat dengan aktivitas biasa, tapi bagi mereka, dunia udah berubah. Setiap bayangan, setiap suara, rasanya kayak ancaman yang bisa muncul kapan aja.
Tiba-tiba, ponsel Lila bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang nggak dikenal.
"Kalian tidak bisa lari. Semua sudah ditentukan takdir"
Lila langsung ngelihatin pesan itu ke Rina. “Lo liat ini, Rin?”
Rina yang tadinya lagi minum langsung hampir nyembur. “Anjir, siapa itu? Kita udah kabur ke mana-mana, tapi masih aja diikutin!”
“Gue nggak tau. Tapi jelas ada yang mainin kita,” Lila berusaha menenangkan diri, walaupun tangannya gemeteran.
“Kita harus ngelacak siapa yang ngirim ini,” Rina ngusulin, tapi jelas dari ekspresinya dia juga nggak yakin bisa ngelakuin itu.
Mereka mulai mikir lebih keras, mencoba nyambungin semua petunjuk yang ada. Semua kejadian aneh yang ngikutin mereka pasti ada sebabnya. Tapi siapa yang punya kekuatan sebesar itu buat terus-terusan ngirim teror?
“Kita harus balik ke awal,” kata Lila tiba-tiba.
“Maksud lo?” Rina ngeliat temennya dengan bingung.
“Semua mulai sejak kita liput gedung tua itu, kan? Ada sesuatu di sana yang ngebuka semua ini. Mungkin jawabannya ada di sana,” Lila menjelaskan.
Rina langsung ngerasa tegang. “Lo mau bilang kita balik ke tempat itu? Lo gila, Lil! Kita hampir mati gara-gara gedung itu!”
“Gue nggak bilang kita harus ke sana sekarang, tapi kita harus cari tau lebih lanjut soal tempat itu. Ada yang aneh dari sana, dan gue yakin ada hubungannya sama yang kita alami sekarang,” Lila ngejelasin, lebih serius dari biasanya.
Rina diem sejenak, lalu nghela napas panjang. “Ya udahlah. Gue ikut lo aja. Lagian, mau gimana lagi? Teror ini nggak akan beres kalo kita nggak ngelakuin sesuatu.”
Dengan rencana di kepala mereka, Lila dan Rina mulai nyusun langkah-langkah buat balik ke gedung tua itu. Tapi kali ini, mereka nggak bakal cuma jalan sembarangan tanpa persiapan. Mereka butuh lebih banyak informasi, dan mungkin bantuan.
“Pertama, kita harus cari tau siapa yang punya gedung itu,” kata Lila sambil ngetik sesuatu di ponselnya.
Rina ngangguk. “Bener, kita mulai dari pemiliknya. Kalo kita tau siapa yang punya, mungkin kita bisa ngerti kenapa gedung itu jadi pusat dari semua ini.”
Mereka mulai nyari informasi di internet, tapi hasilnya nggak terlalu banyak. Gedung itu udah lama nggak ditempatin, dan nggak ada catatan jelas soal siapa pemiliknya sekarang. Semakin mereka nyari, semakin bingung mereka soal sejarah gedung itu.
“Aduh, susah juga ya,” Rina mulai kesel. “Nggak ada info jelas soal siapa yang punya gedung ini. Kayak... sengaja disembunyiin.”
Lila mikir sejenak. “Atau mungkin... gedung ini emang nggak mau diungkap. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”
Tiba-tiba, dari salah satu artikel yang mereka temuin, ada nama yang muncul. “Ini dia! Pemilik terakhir gedung itu namanya Pak Marwan. Tapi dia udah lama meninggal,” kata Lila sambil nunjuk ke layar.
Rina ngeliat nama itu dengan dahi berkerut. “Pak Marwan? Nama yang asing. Tapi gimana caranya kita nyelidikin orang yang udah meninggal?”
Lila senyum tipis. “Kita nggak perlu nyelidikin dia, tapi kita bisa cari orang yang kenal dia. Mungkin ada yang tau sesuatu.”
“Hmm, masuk akal. Tapi kita mulai dari mana?”
“Gue rasa kita bisa cari tau lewat arsip lama. Biasanya ada catatan sejarah soal gedung-gedung tua kayak gitu,” jawab Lila.
Dengan rencana baru, mereka memutuskan buat ngecek arsip-arsip lama di perpustakaan kota. Tempat itu mungkin ngebosenin buat banyak orang, tapi bagi mereka, itu satu-satunya jalan buat ngungkap misteri ini.
Sampai di perpustakaan, mereka langsung menuju bagian arsip sejarah bangunan. Ada banyak dokumen tua dan foto-foto lawas yang udah berdebu. Mencari informasi di antara tumpukan kertas itu kayak nyari jarum di tumpukan jerami.
“Lo bener-bener yakin kita bisa nemu sesuatu di sini?” Rina nanya, mukanya udah kelihatan capek.
Lila cuma senyum tipis. “Kalo kita nggak coba, kita nggak bakal tau. Lagian, ini satu-satunya cara kita sekarang.”
Mereka mulai ngebongkar satu per satu file-file lama, ngebaca setiap keterangan yang ada. Tapi setelah berjam-jam, mereka belum nemu apa-apa yang penting.
Sampai akhirnya, Lila ngangkat sebuah dokumen tua yang udah mulai rapuh. Di dalamnya ada foto gedung tua yang mereka liput dulu, tapi ada sesuatu yang aneh. Di bagian depan gedung, ada sekumpulan orang yang ngelilingin sesuatu—tapi sosok itu kayak diselimuti kabut, nggak jelas.
“Liat ini, Rin,” kata Lila sambil nunjuk ke foto itu.
Rina ngeliat lebih dekat. “Apaan tuh? Kok kayak... ada sesuatu yang mereka sembunyiin?”
Lila menghela napas. “Gue rasa ini petunjuk. Ada yang lebih besar dari sekedar gedung tua. Mungkin kita bener-bener ngeganggu sesuatu yang nggak seharusnya.”
Perasaan nggak enak makin jelas dirasain mereka. Kayaknya teror ini bukan cuma karena mereka ngeliput gedung tua itu, tapi karena mereka ngungkap sesuatu yang udah lama terkubur.
Dan sekarang, mereka harus cari cara buat berhenti sebelum semuanya terlambat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...