NovelToon NovelToon
Di Balik Penolakan

Di Balik Penolakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Berbaikan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Reito(HxA)

Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.

Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.

Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

02. Di Antara Canda dan Asa

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku masih memikirkan Clara. Sementara itu, aku mencoba tetap bersikap biasa di depan teman-temanku. Kami sering nongkrong di kantin atau di taman sekolah setelah jam pelajaran selesai, hanya untuk ngobrol ringan atau main-main.

Hari itu, aku duduk bersama Reza dan dua teman cowok lainnya, Fariz dan Aldi. Kami lagi di kantin, menikmati makanan ringan sambil bercanda.

"Aku heran sama lo, Dion," kata Fariz sambil menatapku dengan cengiran jahil. "Udah ditolak berkali-kali sama Clara, tapi masih aja lo ngejar. Lo cinta atau keras kepala?"

"Atau mungkin, dua-duanya," tambah Aldi sambil terkekeh. "Cinta keras kepala."

Aku tersenyum kecut. "Eh, kalian gak ngerti aja. Cinta itu kan butuh perjuangan, bro."

Reza tertawa sambil menggoyangkan botol minumannya. "Perjuangan apa? Lo ini kayak gladiator di Colosseum yang udah ditombak berkali-kali, tapi tetep aja maju. Udah tau kalah, masih mau perang."

Fariz langsung nimbrung, "Nah iya, Colosseum kan biasanya buat hiburan orang. Mungkin Clara itu hiburannya ngeliat lo berjuang terus, Dion."

Aldi menahan tawa, "Kasihan banget, Dion. Lo ini gladiator cinta yang gak menang-menang."

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, berusaha ikut tertawa walaupun sebenarnya sedikit tersindir. Mereka memang teman-teman dekatku, dan kalau gak ada mereka, mungkin aku udah lama tenggelam dalam frustrasi soal Clara. Setidaknya dengan mereka, suasana jadi lebih ringan.

"Ya, lo pada enak bisa ketawa-ketawa. Gue serius, tau," jawabku akhirnya, sambil pura-pura menyeka air mata yang gak ada. "Lo pikir gue cuma iseng ngejar Clara? Gue beneran, bro!"

"Serius? Tapi kayaknya Clara nggak serius balik, tuh," sahut Reza sambil pura-pura menepuk-nepuk pundakku. "Tapi gak apa-apa, Dion. Kalau lo gagal sama Clara, mungkin dia cuma jalan tol buat lo nemuin jodoh lo yang sebenarnya."

"Hah, jalan tol?" tanyaku bingung.

"Iya, jalan tol kan cepat dilewatin, tapi lo tetep bayar," jawab Reza sambil ketawa sendiri. "Kasih waktu, duit, perasaan, tapi ujungnya cuma buat lewatin doang. Jodoh lo mungkin ada di ujung sana, tinggal tunggu portal bayarannya dibuka."

Fariz menimpali, "Wah, masuk akal tuh! Clara jalan tol, jodoh lo jalan lintas provinsi. Lama sampai, tapi indah!"

Kami semua tertawa keras mendengar lelucon itu. Dalam hati, aku tahu mereka cuma bercanda, tapi ada benarnya juga. Perjuanganku buat Clara udah terlalu lama dan rasanya gak berbuah apa-apa.

Setelah tawa mereda, Aldi tiba-tiba mengalihkan topik dengan nada lebih serius. "Eh, tapi ngomong-ngomong, lo nyadar gak sih, akhir-akhir ini Clara kayak beda? Gak kayak biasanya."

Aku yang awalnya lagi menyesap es teh langsung berhenti sejenak dan menatap Aldi. "Beda gimana?"

Aldi mengangkat bahu. "Gak tau. Kayak... lebih pendiam aja. Gue ngeliat dia beberapa kali di taman sendirian, biasanya kan dia rame sama temen-temennya."

Aku tersenyum tipis, sudah lama memperhatikan hal yang sama. "Iya, gue juga liat itu. Tapi, gue gak ngerti kenapa."

"Ya, mungkin dia capek ngeliat muka lo, Dion," goda Fariz sambil menepuk pundakku, membuat yang lain tertawa lagi.

Tapi kali ini aku hanya tersenyum lemah. Walaupun mereka bercanda, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Clara yang dulu ceria dan selalu menolak perasaanku dengan mudah, sekarang terlihat seperti menyimpan sesuatu yang lain. Dan itu bikin aku semakin penasaran.

"Lo serius, Dion? Lo mau terus ngejar dia?" tanya Reza sambil menatapku lebih serius kali ini. "Kalau dia memang beda sekarang, mungkin ada sesuatu yang bikin dia berubah."

Aku terdiam sejenak, menatap ke arah jauh. "Gue gak tau, bro. Mungkin gue emang harus berhenti. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri gue yang bilang kalau ini belum selesai."

Aldi mengangguk setuju. "Bisa jadi. Kadang cewek gitu, gak akan ngomong langsung. Lo cuma harus peka sama sinyal-sinyal kecil yang dia kasih."

"Sinyal?" tanyaku.

"Iya, sinyal. Kayak sinyal WiFi yang tiba-tiba ngilang, terus balik lagi pelan-pelan. Lo harus sabar, bro. Mungkin Clara cuma lagi buffering," kata Aldi sambil tertawa kecil, dan kami semua tertawa lagi.

Reza ikut menimpali, "Nah, kalau sinyalnya udah bagus lagi, baru deh lo masuk, kayak buka video di YouTube. Tapi ingat, jangan keburu buffering ulang."

Aku tertawa, meski dalam hati aku tetap memikirkan Clara. Sinyal? Mungkin ada benarnya juga. Sejak aku berhenti mendekati Clara, ada perubahan nyata dalam dirinya. Dan itu bikin aku bertanya-tanya—apakah benar dia menyimpan sesuatu yang belum dia ungkapkan?

Tapi, di saat yang sama, aku juga gak mau terus-terusan berharap tanpa kepastian. Aku takut kalau semua ini cuma perasaanku aja, dan Clara sebenarnya gak peduli. Tapi di sisi lain, ada dorongan yang membuatku ingin kembali mendekatinya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba-tiba, Reza menyenggolku. "Udah lah, bro. Kalau lo masih mau ngejar Clara, jalanin aja. Tapi jangan lupa bawa cadangan hati buat lo sendiri. Biar kalau sakit lagi, gak langsung remuk."

Aku tertawa lagi mendengar candaan itu. Meski ringan, ada benarnya juga. Mungkin kali ini, aku harus lebih berhati-hati. Clara tetap menjadi misteri buatku, tapi satu hal yang pasti—aku gak bisa tinggal diam.

"Lo semua emang bener," jawabku akhirnya sambil berdiri. "Gue bakal cari tau lebih lanjut. Tapi kali ini, gue bakal pelan-pelan. Gak perlu buru-buru. Siapa tahu emang butuh waktu buat Clara sadar... atau gue yang harus sadar."

"Jiahh, kata-kata bijak dari Dion nih," kata Fariz sambil tertawa. "Ayo, kita buat perjanjian. Kalau lo berhasil, kita traktir makan. Tapi kalau gagal lagi, lo yang traktir kita."

Aku mengangguk sambil tertawa kecil. "Setuju. Deal!"

Dan dengan itu, kami pun menyelesaikan obrolan hari itu dengan tawa, sementara di kepalaku, Clara masih terus berputar. Mungkin, pertarungan ini belum selesai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara itu, di sudut taman sekolah yang lain, Clara sedang duduk bersama sahabat dekatnya, Nisa. Mereka sering menghabiskan waktu di sana, di bangku panjang yang teduh di bawah pohon besar. Hari itu, meskipun suasana terasa hangat dan cerah, wajah Clara tampak berbeda dari biasanya—sedikit murung dan lebih banyak diam.

Nisa, yang sudah lama mengenal Clara, bisa merasakan ada yang tidak beres. Setelah mengobrol basa-basi sebentar, Nisa akhirnya menatap Clara dengan tatapan serius.

"Clara, ada apa sih? Akhir-akhir ini kamu kayak orang yang lagi ngilangin sesuatu, deh," tanya Nisa sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.

Clara hanya menghela napas pelan. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."

Nisa menatapnya lebih tajam. "Clara, please deh. Aku tahu kamu. Kalau lagi ada yang mengganggu, biasanya kamu langsung cerita. Tapi sekarang, udah beberapa hari kamu kayak gini. Apa ini soal Dion?"

Clara tersentak mendengar nama Dion disebut. "Eh? Dion? Kenapa emangnya?"

Nisa tertawa kecil. "Ya iyalah. Siapa lagi yang bikin kamu jadi begini? Aku tau, Dion selalu ngejar-ngejar kamu, dan kamu selalu tolak dia. Tapi akhir-akhir ini, sejak Dion berhenti ngejar, kamu kelihatan... beda. Kayak ada yang hilang."

Clara diam sejenak, menatap ke arah rumput di bawah kakinya. Perasaan yang selama ini dia pendam mulai muncul ke permukaan. Dia mengingat kembali momen-momen ketika Dion selalu berusaha mendekatinya—senyuman bodohnya, candaan recehnya, bahkan usaha-usaha konyolnya buat dapetin perhatian Clara. Dulu, semua itu terasa mengganggu. Tapi sekarang? Setelah Dion berhenti, ada sesuatu yang ganjil dalam hatinya.

"Ya... mungkin," Clara akhirnya mengakui dengan suara pelan. "Aku gak tau, Nis. Awalnya, aku pikir aku bakal lega kalau Dion berhenti. Tapi sekarang, rasanya malah aneh."

Nisa menepuk bahu Clara pelan, memberi semangat. "Karena kamu terbiasa, Clara. Dion itu kayak... hmm, gimana ya, kayak alarm pagi. Selama ini, kamu biasa bangun gara-gara alarm itu, dan pas alarmnya gak bunyi lagi, kamu malah kaget. Gak nyaman."

Clara tertawa kecil mendengar perumpamaan itu. "Alarm? Serius, Nis? Kamu nyamain Dion sama alarm pagi?"

Nisa mengangguk mantap. "Iya dong! Tapi beda sama alarm yang annoying. Dion itu tipe alarm yang lama-lama kalau nggak bunyi malah dicariin."

Clara menghela napas lagi, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. "Mungkin ada benernya. Tapi aku juga gak tau, Nis. Aku selalu merasa kalau aku gak suka sama Dion, ya... karena dia selalu maksa. Aku gak pernah ngasih dia harapan, tapi dia terus-terusan datang."

Nisa menatap Clara penuh perhatian. "Mungkin, Clara. Mungkin kamu gak ngasih harapan karena kamu takut, atau belum siap. Tapi sekarang, begitu Dion berhenti, kamu jadi sadar kalau perasaan kamu sebenarnya gak sekeras itu buat nolak dia."

Clara terdiam. Kata-kata Nisa perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Benarkah selama ini dia menolak Dion karena dia benar-benar gak suka? Atau mungkin, dia hanya takut terbuka? Dion selalu ada di sekelilingnya, selalu berusaha, selalu membuatnya merasa istimewa meski dengan cara yang konyol. Sekarang, saat Dion mundur, ada kekosongan yang gak bisa dijelaskan.

"Aku cuma takut bikin dia berharap lagi, Nis. Aku gak mau kasih dia harapan yang salah," ucap Clara pelan.

Nisa menatap Clara dengan bijaksana. "Clara, menurutku, ini bukan soal harapan salah atau benar. Ini soal kamu sendiri. Kamu harus jujur sama diri kamu. Kalau kamu emang beneran gak suka sama Dion, ya udah. Tapi kalau ada sedikit perasaan buat dia, gak ada salahnya buat ngasih dia kesempatan. Bukan berarti harus pacaran atau gimana, tapi setidaknya jangan tutup diri sepenuhnya."

Clara memandang jauh ke depan, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Nisa. Dalam hati, dia tahu ada yang berubah dalam dirinya. Dion mungkin bukan cowok yang sempurna, tapi usahanya, kehadirannya, dan semua candaan konyolnya, telah meninggalkan jejak di hati Clara.

"Mungkin... aku memang harus ngomong sama dia, ya?" gumam Clara pelan, lebih ke dirinya sendiri daripada ke Nisa.

Nisa tersenyum lebar. "Nah! Itu baru sahabatku. Kalau kamu beneran ngerasa ada yang beda, coba deh ngobrol. Gak harus langsung jadian atau gimana. Tapi setidaknya, biar jelas apa yang kalian rasain."

Clara mengangguk pelan. Dalam hati, dia tahu Nisa benar. Selama ini, dia terlalu sibuk menolak tanpa benar-benar mendengarkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Dan sekarang, mungkin sudah saatnya membuka diri sedikit—untuk dirinya sendiri, bukan untuk Dion.

"Thanks, Nis. Kamu emang selalu tau apa yang harus aku lakuin," kata Clara sambil tersenyum.

Nisa tertawa kecil. "Tenang aja, Clara. Aku ini ahli dalam urusan hati orang lain. Tapi kalo buat diri sendiri, ya kacau juga."

Mereka tertawa bersama, suasana jadi lebih ringan setelah percakapan itu. Tapi di dalam hati Clara, masih ada pertanyaan yang berputar. Apakah dia benar-benar siap untuk membuka diri kepada Dion? Atau apakah ini hanya rasa kehilangan sementara?

Satu hal yang pasti—Clara tidak bisa terus bersembunyi di balik penolakannya lagi. Dion pantas mendapat jawaban yang lebih jujur, dan mungkin, Clara juga pantas mendapatkan jawaban dari hatinya sendiri.

To be continued...

1
Kamsia
tuhhkan baperan clara ternyata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!