Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Dingin, gelap, dan sunyi yang kini dirasakan oleh Arumi. Setelah selesai menunaikan ibadah sholat maghrib, wanita itu kembali ke teras untuk menunggu suaminya pulang seperti perintah dari sang ayah. Waktu terus berlalu, tetapi yang ditunggu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Arumi merasa lapar, perutnya terus keroncongan menunggu kepulangan Narendra. Wanita itu mendesah pelan. Ia tidak diperbolehkan makan sebelum suaminya tiba.
“Ke mana, tuh, orang. Kalau niat pergi, kenapa nggak bilang dari awal aja, sih.” Arumi terus menggerutu. Namun, di dalam hatinya, wanita itu sedikit cemas karena takut Narendra benar-benar meninggalkan dirinya dengan status janda bersegel.
Menatap ponselnya, Arumi jadi kesal sendiri. Ia tidak punya nomor telepon suaminya sehingga untuk bertanya kabar pun ia jadi kesulitan. Arumi lupa jika sang ayah telah bertukar nomor telepon dengan ayah mertuanya.
“Haish! Punya laki malah nyiksa begini. Dasar, Mas Duda nyebelin!”
Tari dan Dimas mengintip dari jendela yang sedikit terbuka. Keduanya saling berpandangan kemudian bergegas pergi sebelum tepergok oleh Arumi.
“Biarkan Arumi makan dulu, Yah,” ucap Tari ketika tiba di ruang tengah.
“Sudah, biarkan saja, Bu … biar Arumi belajar untuk menghargai suaminya meski di antara keduanya belum ada cinta. Kalau tidak begini, Arumi akan terus semena-mena sama suaminya. Nanti kalau suaminya pulang, biar mereka makan berdua,” timpal Dimas seraya menyalakan televisi.
Menghembuskan napasnya pelan, tari hanya mampu menangguk karena apa yang diucapkan suaminya ada benarnya untuk putrinya. sekali-kali, Arumi harus diarahkan dengan tegas agar ia tidak salah arah.
“Ya, sudah, tapi jangan lupa untuk menanyakan perihal Naren sama Pak Bagas. Ibu takutnya dia memilih buat nggak pulang ke sini. Ibu takut tiba-tiba Naren ninggalin Arumi, Yah,”
“Iya, nanti Ayah berkabar sama Pak Bagas. Ayah yakin, kok, Naren pasti pulang ke sini.”
***
Narendra keluar kamar sembari menyeret koper kecil miliknya. Menuruni anak tangga dengan cepat, pria itu segera menyusul keluarganya yang sudah berkumpul di ruang tamu.
“Mau ke mana, Ren?” tanya Galendra menatap koper yang dibawa kembarannya.
“Ke rumah Arumi. Dia kayaknya butuh waktu lama buat pindah dari rumah orang tuanya,” jelas Narendra.
Galendra hanya mengangguk. Sebenarnya pria itu cukup penasaran dengan kembarannya yang tiba-tiba menikah. Namun, melihat situasi yang kurang pas, Galendra memilih untuk memendamnya terlebih dahulu dan nanti akan ia tanyakan langsung pada Narendra.
Acara makan malam terlihat begitu hangat. Baik Dewi maupun Bagas banyak memberikan pesan untuk Narendra. Terlebih putranya kini telah memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
“Rumahmu yang ada di Perumahan Raya sudah jadi, Ren?” Dewi bertanya setelah mereka selesai makan malam.
“Sudah, Ma. Hanya tinggal ngisi aja, sih. Memangnya kenapa, tumben Mama tanya?”
“Ya, jelas Mama tanya. Orang kamu sudah menikah. Sudah sepantasnya kamu sama Arumi mengisi rumah itu. Tidak mungkin, ‘kan, kalian akan tinggal terus menerus di rumah Arumi?” tanya Dewi.
“Benar kata Mamamu, Ren. Kalau memang sudah selesai, ajaklah Arumi menengok hunian kalian. Bukannya kamu memang mempersiapkan rumah itu untuk istrimu?” Bagas menyambung ucapan sang istri.
“Iya, tapi, bukan–”
“Mau kamu bilang apa pun, kamu sama Arumi sudah menikah. Itu juga kamu sendiri, kan, yang setuju? Sekarang tugas kamu sebagai seorang suami yaitu membimbing Arumi. Tebar, lah benih cinta antara kamu dan Arumi, semai benih itu agar hubungan kalian semakin harmonis. Jadikan istrimu tempat untuk berpulang dan jangan lupa, segera urus berkas pernikahan kalian!” tutur Bagas dengan tegas.
Di saat Narendra terpaku dengan ucapan papanya, Galendra justru berseru sambil bertepuk tangan heboh.
“Wuih! Papa keren banget!”
“Noh, Ren, dengerin apa kata Papa. Hahaha!”
Selesai makan malam dan sedikit berbincang, Narendra langsung berpamitan dengan kedua orang tuanya karena hari juga sudah lumayan malam. Pria itu melirik jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ia harus bergegas pulang ke rumah Arumi agar tidak kemalaman.
Setelah memastikan semua keperluannya telah siap di dalam mobil, Narendra dengan segera masuk ke mobil dan dengan cepat menekan pedal gasnya ketika keluar dari area rumahnya.
Jarak antara rumah orang tuanya dengan rumah mertuanya cukup jauh karena dirinya harus berbalik ke arah kantor. Arah berlawanan itulah yang membuat perjalanan Narendra terasa sangat jauh. Beruntung jalanan tidak macet sehingga ia bisa dengan cepat sampai di rumah mertuanya.
Empat puluh menit kemudian, sampailah Narendra di rumah istrinya. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, pria itu bergegas turun dan mengambil kopernya yang berada di bagasi. Namun, pria itu langsung terpaku ketika melihat Arumi tengah duduk sendirian di teras sambil memejamkan matanya.
Sambil menyeret kopernya, pria itu berjongkok di hadapan sang istri. Menggoyang pelan pundaknya untuk membangunkannya, tetapi Arumi bergeming, wanita itu tertidur karena menahan lapar menunggu dirinya.
“Rum?”
“Arumi?”
Narendra beranjak kemudian membuka pintu rumah, ia memasukkan kopernya ke dalam kamar kemudian kembali menghampiri Arumi yang masih nyenyak tertidur.
Suasana rumah sudah sepi, bahkan lampu tengah sudah dimatikan. Ia juga tidak melihat mertua serta adik iparnya di luar. Sepertinya mereka juga sudah tidur, pikir Narendra.
“Kamu kenapa bisa tidur di luar, sih?” Narendra bergumam seraya menggendong Arumi masuk ke rumah.
Wanita itu tampak pulas, bahkan sudah berpindah dalam gendongannya pun Arumi tetap tidak terbangun. Diletakkannya tubuh Arumi di atas kasur dengan pelan, kemudian menyelimutinya agar istrinya merasa nyaman.
Narendra ke luar untuk menutup pintu. Namun, ketika ia kembali ke kamar, ia terkejut ketika melihat Arumi yang sudah bangun dari tidurnya dan kini tengah duduk sambil menatap ke arahnya.
“Kenapa bangun?” tanya Narendra pelan seraya mendekat ke arah Arumi.
Arumi menatap penampilan Narendra yang malam ini cukup berbeda. Celana jeans serta kaos putih polos yang begitu pas di tubuhnya membuat Arumi meneguk ludahnya dengan kasar.
“Kamu kapan pulang?” tanya Arumi pelan. Ia tidak ingin marah karena kondisinya saat ini tengah kelaparan.
“Aku barusan sampai. Maaf, tadi aku lupa dan justru pulang ke rumah Mama. Kamu kenapa tidur di luar?”
Entahlah, sejak melihat Arumi tertidur di teras, hati Narendra menjadi menghangat. Ia pikir, Arumi tengah menunggunya pulang.
“A-aku nungguin kamu dari sore, dan aku lapar,” ungkap Arumi sambil menunduk di akhir kalimat.
Arumi merasa ada gejolak di dalam dadanya ketika Narendra berbicara pelan dan meminta maaf padanya. Suatu hal yang jarang ia dapatkan dari mantan kekasihnya, Vino.
“Astaga! Kenapa nggak masuk ke rumah aja? Kenapa juga kamu nggak makan dulu. Ayo, sekarang ke dapur, kamu harus makan.” Tanpa menunggu persetujuan Arumi, Narendra segera menarik tangan istrinya dan membawanya ke dapur.
Narendra benar-benar merasa bersalah pada wanita asing yang saat ini sudah sah menjadi istrinya. Entah hal apa yang mendasari istrinya mau menunggunya di luar, tetapi Narendra tetap merasa bersalah. Di saat dirinya makan dengan kenyang istrinya justru menunggunya sampai kelaparan.
“Kamu duduk dulu, biar aku siapkan makanan buat kamu.”
Pria itu segera mencari bahan masakan yang bisa diolah di dalam kulkas kemudian mulai mengeksekusinya. Hingga lima belas menit kemudian, sebuah hidangan nasi goreng komplit dengan toping telur di atasnya terhidang cantik di hadapan Arumi.
“Silakan dicoba, semoga kamu suka.” Narendra memberikan sendok untuk istrinya.
“Terima kasih … .” ucap Arumi dengan perasaan haru.
🤪🤪🤣🤣🤣🤣