Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Billa mulai gila
Untuk kesekian kali Billa mengacak rambutnya dengan kasar, kini tampilannya terlihat begitu mengerikan dengan rambut yang sudah mengembang tak beraturan, mata sembab karena menangis dan pandangan kosong ke arah jendela. Ia memikirkan kemungkinan berbagai hal-hal mengerikan yang akan terjadi jika dia bertemu dengan keluarga Aiman. Yang membuatnya tidak menyangka adalah kenapa Aiman begitu mendadak mengajaknya untuk berjumpa dengan keluarganya, padahal Billa tidak mengerti dengan status hubungannya dan Aiman.
Billa tidak memungkiri jika Aiman memang memiliki paras yang tampan, badan yang bagus, karir yang luar biasa cemerlang dan pasti akan membuat banyak perempuan mau dengannya. Tapi jika boleh jujur, Billa belum bisa mengartikan rasanya terhadap Aiman, ia hanya menganggap Aiman sebagai Dosennya, walaupun terkadang dia merasa nyaman dan percaya untuk menceritakan beberapa kisah hidupnya kepada laki-laki itu.
“Sebenarnya gue suka Pak Aiman ga sih?” Ia bertanya pada pantulan dirinya di cermin.
“Terus,, apa pak Aiman beneran serius sama gue, lagian kenapa sih, pake acara pengen kenal sama gue segala lagi itu orang tuanya, pasti bakalan lebih gugup dari sidang skripsi ini mah.” Billa benar-benar ingin menangis lagi mengingat akan bertemu dengan keluarga Aiman.
Hal yang membuatnya semakin frustasi adalah ketika mengingat tawaran Dewa, yang juga mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. Karena tidak ingin kepalanya pecah karena dua hal itu, Billa berniat membagikan ceritanya dengan Ocha. Dengan cepat Billa keluar dari kamarnya dan menuju kamar Ocha.
“Ochaaaa,” teriak Billa begitu pintu kamar Ocha terbuka.
“Ya Allah, ngagetin aja lu Bil, kenapa sih?” Sungut Ocha.
“Gue mau cerita, mau gila gue rasanya Cha.” Ucap Billa yang langsung duduk di atas kasur Ocha, dengan menggeser sedikit tubuh Ocha yang juga tengah berbaring sambil menonton lewat ponselnya.
“Cerita apa? Pak Aiman?” Tanya Ocha penasaran.
Akhirnya Billa mulai menceritakan permasalahannya dengan Aiman dan juga menceritakan tentang Dewa pada Ocha.
“Gue kalo jadi lu juga bakalan stress sih Bil, kok hidup lu unik banget ya alurnya,” ucap Ocha tak habis pikir.
“ Lu dengernya aja pusing, gimana gue yang ngalaminnya Cha.” Ucap Billa lesu.
“Kalo menurut gue ya Bil, lu itu ga perlu ragu sama Pak Aiman, karena gue yakin banget dia gak bakalan main-main dengan rasa dia ke elu,” ucap Ocha yakin.
“Terus kak Dewa gimana, gue harus jawab apa?” Tanya Billa.
“Ya lu jawab jujur aja kalo lu punya pacar, kalo menurut gue sih, lu itu gak perlu terlalu musingin tentang si Dewa ini.” ucap Ocha.
“Tapi gue masih ragu sama Pak Aiman Cha, takutnya nanti disaat juga udah mulai serius numbuhin rasa ke dia, terus gue ditinggalin, gimana Cha? Tanya Billa.
Sejenak Ocha terdiam mendengar pertanyaan Billa, “Gue memang baru sekali ketemu Pak Aiman Bil, tapi entah kenapa gue ngerasa kalau dia emang benar-benar punya rasa ke lu, walaupun gue juga ngerasa dia tuh emang keliatan terlalu terburu-buru untuk ngajak lu nikah, tapi kan Bil, bisa jadi karena dia gak mau pacaran, umurnya udah mengharuskan dia untuk segera mikirin pernikahan?” Tutur Ocha panjang lebar.
“Semuanya terlalu mendadak Cha, gue belum kepikiran sejauh itu,” ungkap Billa dengan suara pelan.
“Berapa tahun perbedaan umur lu sama Pak Aiman?” Tanya Ocha penasaran.
“7 tahun,” jawab Billa tidak bersemangat.
“Berarti umurnya 31 ya, tapi ga keliatan kok kalo Pak Aiman itu jauh lebih tua dari lu, masih keren pake banget malah gue liat dia,”ucap Ocha sambil menyenggol lengan Billa.
“Jadi secara gak langsung lu mau bilang kalo gue keliatan tua gitu.” Keluh Billa dengan bibir yang dimajukan.
“Ya gue gak bilang sih, tapi kalau lu ngerasa sih gapapa juga.” Canda Ocha yang mendapat timpukan bantal di mukanya dari Billa.
Dengan wajah kesal Billa meninggalkan kamar Ocha, dan si pemilik kamar masih saja setia dengan tawanya. Billa sudah tahu, jika dia berbagi cerita dengan Ocha, pasti akan selalu berakhir dengan hal seperti itu. Tapi Ocha tetaplah sahabat terbaiknya, yang selalu perhatian di tengah banyaknya candaan yang dia keluarkan.
***
Billa termenung duduk di depan jendela kamarnya, kedua tangannya memeluk lutut seolah memberi kekuatan untuk dirinya sendiri yang tengah menghadapi masalah yang begitu rumit ini. Ia sebenarnya ingin berbagi cerita ini dengan adiknya, akan tetapi ia takut jika adiknya akan mengadu pada Bundanya, ia belum siap jika Bundanya mengetahui tentang Aiman, karena belum ada kejelasan apapun di antara mereka.
Ditengah lamunannya, Billa berulang kali mencari jawaban di dalam dirinya tentang rasanya ke Aiman, namun ia belum menemukan jawaban itu. Ia kembali mengingat momen-momen pertemuannya dengan Aiman. Bagaimana ketusnya Aiman di pertemuan pertama mereka, yang selalu memberikan Billa tatapan mengerikannya saat Billa memanggilnya dengan sebutan Bapak. Billa juga mengingat bagaimana seringnya Aiman membuat Billa kesal dengan segala tingkah Aiman yang menyebalkan, dan Billa juga mengingat bagaimana pedulinya Aiman ketika ia menceritakan permasalahan dengan pamannya.
“Apa dengan semua hal itu, gue bisa mempercayai kalau Pak Aiman emang beneran suka sama gue?” Tanyanya pada diri sendiri.
“Apakah gue emang harus beneran terima ajakan nikah dari dia?” Ia terus melemparkan pertanyaan-pertanyaan itu ke dirinya sendiri.
“Tapi gak rugi juga sih kalau gue terima dia, duitnya banyak mana dia royal banget lagi ke gue, kalo nanti seandainya gue nikah sama dia terus gue gak dapat cinta dari dia seenggaknya gue bisa dapat duitnya aja,” ucapan Billa diakhiri kekehan dari bibirnya. Kali ini tampaknya setan mulai menyusup ke dalam dirinya. Namun percayalah, itulah diri Billa yang sebenarnya yang begitu mencintai uang, dari dulu Billa memang bercita-cita mendapatkan suami kaya. Semoga Aiman adalah jawaban dari doanya itu pikir Billa.
“Bodo amat sama cinta yang penting mah duitnya, dan ini bukan matrealistis tapi realistis.” ucap Billa yang mulai menggila dengan tertawa sendiri.
“Astaghfirullah, kenapa gue bisa segila ini sih.” rutuk Billa pada dirinya sendiri.
Semenjak memiliki masalah yang tiada henti ini, Billa merasa jika kewarasannya semakin mengikis. Ia menyadarkan diri dari pikiran-pikiran gilanya dengan menepuk pipinya beberapa kali, kemudian beranjak menuju cermin di kamarnya. Ia sedikit terkejut melihat pantulan dirinya di cermin, rambutnya begitu kusut, mukanya begitu kusam dan pakaiannya jangan tanya, sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat. Jika Billa di lepaskan di jalanan, sudah pasti orang-orang akan mengira jika dia adalah pasien Rumah Sakit Jiwa yang melarikan diri.
***