Mengisahkan tentang seorang wanita yang sangat beruntung. Dinikahi oleh seorang pria muda yang tampan dan kaya, yang berasal dari keluarga konglomerat. Pria yang telah menjadi suaminya benar-benar idaman setiap wanita. Tulus mencintai istrinya dan tidak pernah memandangnya dari status sosial. What a charming prince!
Tapi.... Semua itu tidak sepenuhnya membuat wanita itu bahagia. Justru, ia 'sibuk' berpikir cara menjadi istri yang baik dan sempurna. Ia selalu takut dan khawatir jika ingin melakukan sesuatu atau berkata sesuatu pada suaminya. Wanita itu takut berbuat kesalahan yang akan membuat dirinya dibenci sang suami. Over thinking sampai stres, sudah menjadi bagian dari hari-harinya. Aneh, bukan?
Bagaimana sikap sang suami memiliki istri yang sangat 'istimewa' itu? Apakah ia akan bosan atau... Makin cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FUNtasy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Surya menatap bossnya sekaligus adik iparnya yang duduk santai di hadapannya dengan mata yang berbinar-binar.
“Tolong jangan menatap saya seperti itu.” Ujarnya sambil melihat sekeliling ruangan Reza. Pria berkemeja biru tua itu sedang berusaha untuk menghilangkan kecanggungan. Namun, boss dihadapannya malah senyum-senyum gak jelas dengan mata yang masih menatapnya.
“Gak salah orang. Emang mirip banget.”
“Surya, jangan canggung begitu. Kapan kau akan mulai bercerita?” Tanya Reza yang sudah sangat tidak sabar. Surya tersenyum tipis melihat adik iparnya yang sudah memasang wajah cemberut.
“Mudah-mudahan Pak Reza berbeda dari yang lain. Ku mohon…. Jangan membenci adikku setelah mendengar cerita ini.”
Sambil menengadahkan kepalanya, Surya mengingat-ingat kembali masa kecil adiknya yang pernah berbahagia.
POV Surya
Riska…. Adikku yang cantik dan sangat periang. Dialah anak yang seringkali bertingkah konyol namun, menghibur. Oh ya! Aku juga punya adik terakhir, Saras namanya. Dia anak yang cukup pendiam dan pintar. Dia tidak pandai bergaul. Tidak sepertiku dan Riska.
Diantara kita bertiga, Riska lah yang paling cerewet. Dia sering membuat cerita dari imajinasinya sendiri. Cerita kerajaan di awan, putri di istana boneka dan lainnya. Cerita-cerita itulah yang membuat kita terhibur.
Tapi, tidak dengan ayah dan ibu. Mereka memiliki sifat pendiam dan itu menurun padaku dan Saras. Ibu sering kesal dengan Riska yang cerewet dan sulit untuk disuruh diam. Riska akan diam jika ia merasa sedih dan sakit. Kalau ayah, beliau hanya diam mendengarkan. Terkadang tersenyum juga.
Kalau aku pribadi…. Tidak masalah dengan kecerewetan adikku. Karena, itulah yang membuatnya makin dekat dengan keluarganya.
Riska memiliki dua orang sahabat yang sangat dekat. Mereka sering bermain di luar, tidak jarang pula lupa untuk pulang saking asiknya. Itu juga yang membuat ibu kesal pada Riska. Karena, waktu belajarnya jadi sedikit.
Adik pertama ku itu memang tidak begitu pintar. Dia sering mengeluh sakit kepala kalau berlama-lama duduk diam membaca buku pelajaran. Dia sukanya buku cerita lalu, membuat lagi ceritanya sendiri. Tak heran jika peringkatnya selalu dibawah tiga.
Bahasa inggris, bahasa Indonesia dan olahraga. Hanya tiga itu pelajaran yang ia sukai. Riska sulit disuruh belajar, berbeda denganku dan Saras. Sekali lagi, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku tau, tiap orang memiliki karakter yang berbeda.
Sayang sekali….. pemikiran ibu dan ayah sangat berbeda denganku. Mereka sering memaksa Riska untuk belajar ini itu supaya bisa menjadi orang yang pintar dan sukses nantinya. Aku tau, niat mereka baik tapi…. Riska berbeda. Karena tidak mau bertengkar dengan orangtua, aku memilih diam. Dan menghiburnya dengan cara mendengarkan semua keluhannya.
Kehidupan sehari-hari kita berjalan biasa-biasa saja…. Sampai akhirnya, ada satu kejadian yang merubah hidup Riska. Kejadian itu terjadi saat Riska masih berada di bangku kelas 5 SD.
Saat itu, aku sedang libur karena sekolah ku mengadakan rapat. Aku yang sedang menyapu teras rumah, dikejutkan oleh kedatangan seorang anak perempuan seumuran adikku. Ia mengatakan padaku bahwa Riska bertengkar dengan teman sekelasnya yang bernama Novita.
Aku terkejut dan langsung berlari mengikuti anak itu, tak lupa mengunci pintu rumah terlebih dahulu. Di pikiranku, aku khawatir adikku akan dihukum oleh wali kelas.
Sesampainya di sana, aku melihat adikku sedang dijemur di lapangan sendirian. Ia berdiri di situ sambil menangis sesenggukan dan…. Menyakiti dirinya. Memukul kepala lalu menjambak rambut. Dua hal yang akan ia lakukan jika sedang menangis.
“Dek, jangan begini. Tenang yaa, tenang..” ujarku padanya yang terus menangis. Aku menahan kedua tangannya supaya ia tidak menyakiti dirinya lagi.
“Aku gak salah! Dia duluan yang ngatain aku!” Teriaknya sambil menatap ku dengan airmata yang mengalir. Aku mengangguk kemudian memberinya air minum. Ia pun meminumnya sampai habis, setelah itu bercerita.
Ia melihat salah satu temannya dibelikan alat tulis baru oleh orangtuanya. Teman-teman sekelas lainnya mengerubunginya. Mereka memuji anak itu.
Tiba-tiba saja ia menyindir Riska yang berpenampilan biasa saja lalu mengatakan bahwa alat tulis yang Riska pakai sudah usang seperti sampah. Adikku pun marah dan langsung menghampiri anak tersebut lalu membanting tas barunya. Anak itupun marah lalu mengata-ngatai adikku. Pertengkaran terjadi, mereka saling memukul satu sama lain.
Aku mendengar semuanya sambil merapihkan rambutnya yang berantakan.
“Abang percaya kok sama adek.” Riska memelukku dengan tersenyum dan airmata yang masih terus mengalir. Tiba-tiba ada segerombolan anak keluar dari kelas lalu menunjuk ke arah Riska.
“Orang gila!” Kata mereka. Riska diam, ia menatap mereka datar sambil meremas rok seragamnya. Aku kesal, ingin sekali menghampiri dan memarahi mereka.
Namun baru saja berdiri, Riska menarik tanganku lalu menggeleng pelan.
“Aku baik-baik saja.” Katanya dengan suara yang serak.
Plak!
Ibu yang baru pulang dari luar kota, terkejut saat mendengar kalau Riska bertengkar dengan temannya dan merusak barangnya, sangat marah bahkan menamparnya.
Aku berusaha menghentikannya namun, ibu malah makin marah. Terpaksa, aku diam lalu meninggalkan adikku yang dipukuli ibu.
“Dasar anak tidak berguna! Bikin orang tua pusing aja! Kamu tau gak kenapa ibu rela pergi jauh-jauh ke luar kota?! Biar dapet uang! Ibu bekerja disana! Supaya kita bisa makan, bisa nabung untuk masa depan kalian! Kamu…. Malah bikin heboh! Berantem sama temen sendiri. Merusak barangnya pula! Siapa yang ajarin kamu jadi anak nakal, hah?!”
Ku lihat dari jauh, Riska diam saja dengan kepala yang tertunduk. Melihat anaknya diam, tidak merespon apapun, ibu semakin marah dan memukulinya lagi menggunakan sapu.
Riska mulai bersuara, ia menangis meminta maaf sambil mundur sedikit demi sedikit untuk menghindari pukulan tersebut. Namun, semakin menghindar semakin banyak pukulan yang ia dapat. Aku merasa bersalah dan tidak berguna. Sebagai anak pertama, tidak bisa melindungi adiknya sendiri.
Setelah insiden tersebut, Riska dibully oleh teman-teman sekelasnya. Meskipun adikku sudah mengganti barang-barang yang telah dirusaknya namun, hal itu tidak membuatnya disukai. Riska seringkali pulang dalam keadaan menangis dan rambutnya berantakan. Saat ku tanya, ia hanya menggelengkan kepalanya.
Beruntung, adikku memiliki dua sahabat yang baik. Mereka malah kesal karena Riska yang tidak bersalah malah disalahkan. Dua sahabatnya tetap bermain dengannya, persahabatan mereka semakin erat. Mereka berdualah yang menjadi penghibur Riska setiap kali dibully teman-temannya di sekolah.
Namun…. Hal itu tidak berlangsung lama karena, dua orang itu harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan SMP. Mereka yang notabenenya lebih pintar dari adikku, diterima di sekolah favorit. Adikku yang biasa-biasa saja, hanya bisa bersekolah di kampung.
Riska menjadi sangat pendiam, ia tidak bercerita lagi. Tidak ada celotehan yang menghibur lagi. Ia menjalani hari-harinya dengan menulis dan melamun sendiri dikamar.
Meskipun memiliki adik perempuan, hal itu tidak membuatnya senang karena hubungan mereka tidak dekat. Terlebih karakter mereka yang sangat berbeda, membuat mereka sering berselisih. Sayangnya, ibu dan ayah selalu membela Saras karena ia anak kalem dan otaknya pintar. Berbeda dengan Riska yang… Cerewet, ‘malas’ belajar dan menyebalkan.