NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29

"Nah, habis dari mana kamu?" Ibu bertanya. Tubuhnya terlihat begitu aku baru membuka pintu masuk. Tangan kanannya memegang sebuah sutil.

Dilihat dari mana pun, ia pasti hendak mengomel panjang lebar. Bahkan kalau bisa sampai subuh pun ia sanggup tanpa istirahat sekejap pun. Yang penting rasa kesal terhadap anak tunggalnya yang bandel ini tersalurkan.

Sepulang sekolah, aku kembali berkeliling bersama Kai. Walaupun sebenarnya aku mencoba untuk tidak menghindari Niji lagi dan mencoba untuk segera menyelesaikan masalah ini setelah mendengar nasihat menyentuh hati dari bibi. Namun, Kai mengajakku tepat di hadapan Niji karena pada saat itu kami masih di bangku.

"Habis keliling sama teman, Bu." Aku menjawab sambil tertunduk.

"Keliling sama siapa?"

Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu diketahui ibu, karena ibu tidak perlu khawatir dengan siapa pun aku pergi. Ia percaya aku selalu bisa memilih teman, sebab aku sering menceritakan tentang siapa saja teman yang akrab denganku. Walaupun tidak banyak. Lagipula, ini masih siang menjelang sore. Padahal, aku sering berbelok langsung ke rumah bibi tanpa perlu pulang ke rumah terlebih dahulu, dan ibu paham akan hal itu.

"Ya, sama temen sekolah."

"Kamu hanya menghindar, Cine! Tadi Zetta datang dan bilang mau menemuimu. Dia sudah bilang tapi kamu malah nggak ada di sini. Ada masalah apa lagi kamu setelah kemarin bertengkar dengan Niji. Kamu sebenarnya belum berbaikan juga 'kan dengan Niji. Ibu tahu, ucapan permintaan maaf waktu itu hanya omong kosong. Kamu masih kesal terhadapnya. Kamu seharusnya bersyukur punya teman-teman yang peduli, yang merasa bersalah ketika membuatmu marah sehingga mereka rela menemuimu langsung ke sini untuk meminta maaf secara langsung. Kamu pernah kayak gitu, nggak? Nggak pernah, 'kan? Jangan terlalu merasa diri menjadi yang paling tersakiti. Orang lain juga sakit karena kamu tak pernah menghargai mereka. Sekarang apa, jangan bilang kamu habis ketemu laki-laki yang pernah ke sini, itu. Kamu udah berani main pacar-pacaran ya, sekarang. Nasihat bapakmu juga nggak kamu indahkan. Mau berapa orang lagi yang kamu buat kecewa, Cine!? Kamu mau semua teman-temanmu menjauh karena kelakuanmu yang seperti ini, hah?" tutur ibu panjang lebar. Bahkan beberapa tetangga melintas dan menyaksikan kejadian memalukan yang kualami ini. Silakan saja mengomel sesuka hati, tapi kenapa harus di depan pintu yang ternganga lebar ini?

"Aku lupa punya janji sama Zetta," jawabku yang bingung harus menanggapi yang mana dulu.

Kepakan sayap burung dara terdengar. Satu lainnya menyusul. Hanya sekejap, sebagai selingan sebelum ibu melanjutkan ocehan sepanjang rambut ibu di masa muda.

"Nah, kan. Apalagi karena lupa. Orang kalau ada janji itu mesti diingat agar orang lain juga nggak malas mengingat ketika mempunyai janji denganmu. Di mana letak rasa syukurmu yang dikelilingi banyak orang baik? Masih kecil sudah rumit. Merasa diri paling tersakiti. Mentang-mentang anak tunggal, bukan berarti kamu bisa bermanja-manja ke semua orang."

"Tapi sama Ibu dan bapak juga aku nggak pernah dimanjain," pungkasku spontan.

Tarikan napas berat ibu terdengar. Kali ini ia melangkah, lantas menutup rapat pintu masuk. Lalu menarik lenganku menuju karpet yang tergelar dengan berbagai macam makanan di atasnya. Asapnya sudah tak terlihat. Nasi dja lauk-pauk itu sudah tak hangat lagi. Terlalu lama menunggu kepulanganku.

Bendungan air mata masih tertahan. Walau sekuat tenaga agar tidak tumpah deras. Tangisan hanya akan membuat ibu semakin mudah memojokkanku. Menangis di hadapan ibu bukanlah jurus pamungkas. Melainkan jurus penyambut lontaran pedas ibu selanjutnya. Dadaku sesak, juga panas. Mengalahkan panas yang menyebabkan keringat bercucur deras.

"Siapa yang mengajarimu menuntut seperti itu?" Ibu bertanya tegas.

"Nggak ada. Cuma ngomongin fakta."

"Kalau nggak ada yang memanjakanmu, bagaimana kamu bisa tumbuh sebesar sekarang? Kamu masih lebih sering bersantai di dalam kamar dan jarang melakukan pekerjaan rumah tangga. Sesekali Ibu minta agar kamu tidak terlalu awam dalam hal beres-beres rumah. Kamu pikir itu bagian dari apa kalau bukan bermanja-manja?" tanya ibu masih dengan nada tinggi.

"Bukan bagian itu yang aku maksud. Ibu bahkan selalu menganggap remeh masalah yang aku hadapi. Tidak pernah mau menjadi pendengar yang baik untukku walau hanya sebentar. Selalu saja aku yang disalahkan. Sekeras apa pun tangisanku tak akan membuat ibu mengerti. Yang ada malah membuat ibu semakin murka."

Ibu terdiam sejenak. Wanita yang berisi 40 tahun itu seperti hendak menyunggingkan senyum kecil, namun urung dilakukannya.

"Lalu, Ibu seperti apa yang kamu maksud? Seperti Bibi?" Suara ibu sedikit melembut.

Aku tertunduk, "Mungkin, iya. Juga mama Kai. Dia seolah benar-benar masuk ke dalam hatiku sehingga mengetahui semua cara merespon dan menebak jalan keluhan." Suaraku kecil. Kecil sekali. Nyaris tak terdengar, namun sepertinya teramat bising dan menusuk ke dalam pendengaran ibu.

Ibu menggeser sebuah piring berisi nasi sesuai porsiku. Sudah dingin dan kini diletakkan di depanku. Kemudian mengambil sebuah piring yang sudah kotor bekas makanan. Lantas pergi ke wastafel.

Pedih rasanya. Untuk yang ke sekian kali, aku mengatakan sesuatu yang membuatku menyesal. Ibu menunggu kedatanganku dengan nasi yang sudah terhidang. Berharap aku segera pulang dan memakan makanan terenak sedunia ini bersamanya. Yang dibuat dengan penuh kasih sayang, tanpa harus dibayar kecuali dengan balasan kasih sayang juga.

Aku tak kuat lagi, aku membawa sepiring nasi dengan mengambil sepotong daging saja dan masuk ke kamar. Lalu mengunci pintu. Untuk menikmati sendirian makanan terenak itu, bersama linang air mata yang terjun menambah rasa asin pada makananku. Pedih ini berkuasa. Enak sekali, Bu. Walaupun sudah dingin dan bercampur air mata.

Anak egois ini telah mendapatkan banyak pelajaran berharga. Remaja tak tahu diri ini terbelenggu sesal tak tentu arah. Penuntut kesempurnaan setiap orang, padahal dirinya sendiri jauh dari kesempurnaan. Siapa dia? Shinea Wahida. Bermakna Cahaya Satu-satunya. Pemberian ibu. Sebagai seseorang yang harus berhenti memiliki anak usai melahirkanku. Akulah cahaya satu-satunya bagian pasutri hebat itu. Bodohnya, si anak tunggal itu malah membiarkan cahayanya redup. Tanpa menyadari, tak akan ada cahaya lagi yang tersisa untuk ibu bapaknya jika ia padam. Bagaimana mungkin ia tega membiarkan mereka terhimpit kegelapan? Hanya karena perangai egois dan tak tahu diri.

Jeritanku tertahan, namun seperti menggelegar tak berkesudahan dalam batin terdalam. Di sanalah ia mengerang bak orang kesetanan. Setelah menyadari kebodohannya selama ini. Mana mungkin ada perbuatan yang lebih bodoh daripada membandingkan ibunya sendiri dengan ibu orang lain yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya.

Ibu, maaf.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!