Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16.
"Apa ini, Bang?"
"Sudah....ambil saja. Ini memang untuk mu. Dari Ayah. Sudah dari kemaren ingin memberikan kepada mu, tapi Abang belum sempat."
Mumu tahu bahwa menolak pun tiada gunanya. Akhirnya diambil juga kunci motor itu.
"Keluarga Abang sangat baik sekali kepadaku. Aku tak tahu bagaimana caranya untuk membalasnya." Mumu sangat terharu.
"Sudah....sudah...jangan terlalu difikirkan. Kalau berbicara tentang budi, kamu lah yang telah banyak menabur budi dalam keluarga kami." Ucap Randi dengan tulus.
Di antara orang-orang yang benar-benar baik dan ikhlas tak perlu mengucapkan kata-kata yang tak perlu.
Mumu segera mengendarai motor NMAX keluaran terbaru tersebut. Mumu tak menyangka akan nasib baiknya.
Mungkin ini lah balasan bagi orang yang menolong sesama tanpa pamrih.
Mumu merasa bersyukur sekali dan bertekad akan menggunakan ilmunya untuk menolong sesama umat manusia. Tentu saja orang yang layak untuk ditolong.
Mumu segera pulang ke kostnya. Karena sebentar lagi ia mau masuk kerja.
"Cie cie....motor baru kawan." Mumu baru sampai di tempat langsung disambut oleh suara brisik Risnaldi, si Gemuk tukang guyon ini.
"Motor pinjam." Ujar Mumu dengan senyum dikulum.
Mumu langsung masuk ke dalam.
Sebenarnya tak banyak yang harus dikerjakan di sini.
jika barang baru sampai di Toko, Mumu dan Risnaldi mengangkutnya untuk dimasuk ke dalam gudang belakang.
Jika pelanggan lagi ramai Mumu ikut ngawasi mana tahu ada yang iseng mencuri.
Seringkali terjadi tindak kejahatan itu awalnya bukan karena ada niat untuk melakukan kejahatan tapi karena ada kesempatan.
Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga.
Semenjak rutin melakukan meditasi menggunakan metode pernafasan khususnya, gerakan Mumu bertambah cepat dan lincah. Pendengaran dan penglihatan menjadi lebih tajam sehingga jika Mumu pas lagi jaga, tidak ada sesuatu yang luput dari pandangan matanya.
Cuma kadang kala Mumu pura-pura tak mengetahuinya. Karena Mini Market ini dipantau oleh CCTV juga.
Mumu sedang mengambil barang di gudang belakang saat mendengar suara langkah mendekatinya.
"Mumu, habis shift nanti kamu langsung pulang?" Ternyata Risnaldi yang datang.
"Iya, Kenapa, Nal? Apa tangan mu yang terkilir masih belum sembuh?" Mata Mumu melirik ke arah tangan kanan Risnaldi.
"Oooo bukan karena ini." Risnaldi mengenggam tangannya dan meninju di udara. "Tangan aku sudah sembuh, berkat kamu, Mumu."
Kemaren Mumu pernah mengurut tangan Risnaldi yang terkilir akibat jatuh di gudang karena membawa barang melebihi kekuatannya sendiri.
"Ada anak orang kaya yang sakit tulang lemah, tak kuat beraktivitas. Berjalan dua tiga langkah langsung lemes. Aku dengar kalau ada orang yang mampu mengobatinya anaknya akan diberi hadiah. Cuma hingga semalam belum ada yang mampu untuk mengobati anak tersebut. Bagaimana kalau kita ke sana, Mumu? Mana tahu kamu berhasil, jadi kita bisa mendapatkan imbalan."
"Tak tertarik. Aku cuma bisa ngurut akibat terkilir bukan penyakit tulang. Lagi pun berita kamu terlalu mengada-ada, Nal. Kalau memang orang tuanya kaya kenapa juga tak membawa anaknya berobat ke Rumah Sakit atau kemana gitu."
"Nah..nah...ini ni..orang tak update berita, orang tuanya sudah membawa anaknya ke mana-mana tapi tak sembuh-sembuh juga, makanya akhir orang kaya itu membuat semacam sayembara." Ujar Risnaldi semangat.
"Hei...kalian berdua apa yang kalian lakukan di gudang itu? Cepat bawa beras sama gula ke sini. Stok dah habis." Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar gudang.
Mumu dan Risnaldi segera membawa barang yang diminta.
"Bagaimana, Mumu?" Bisik Risnaldi sambil jalan.
Mumu menggelengkan kepalanya, "Tidak ah. Malas!"
"Hmmm....nolak rezeki kamu, Mumu." Dengus Risnaldi sambil berjalan menjauh.
Mumu bukannya tak mau, ia juga penasaran dengan imbalan seperti apa yang akan diberikan oleh orang kaya itu. Tapi kalau ia pergi untuk mengobati sekarang, ia takut hatinya tak ikhlas. Ingin menolong karena imbalan. Oleh karena itu ia perlu menenangkan hati dan fikirannya dahulu.
...****************...
Matahari sudah naik sepenggalah. Sinarnya lembut sangat bagus untuk kesehatan kulit.
Kota Selatpanjang mulai hidup dengan berbagai aktivitas masyarakatnya. Kendaraan berlalu lalang tapi tidaklah sepadat biasanya karena anak-anak sekolah sedang libur panjang setelah semalam pembagian raport.
Di sebuah rumah gedung bertingkat berwarna kuning-putih yang dikelilingi dengan pagar tinggi terbuat dari stainless, di ruang makan keluarga, seorang pria empat puluhan tahun sedang menatap makanan yang tersaji di meja tanpa semangat.
"Kamu harus sarapan, Yah. Nanti sakit," Ucap Buk Maya sambil menatap suaminya.
"Tidak selera, Buk." Pak Samsur menghela nafasnya dengan berat. "Apa memang penyakit anak kita tidak bisa diobati ya, Buk, seperti yang dikatakan dokter bahwa penyakitnya adalah penyakit langka yang belum ada obatnya."
Buk Maya memegang tangan suaminya dengan lembut, "Tak ada yang namanya penyakit yang tidak ada obatnya, Yah. Cuma penyakit anak kita belum ketemu obatnya saja. Bisa saja di antara sekian banyak orang yang mencoba mengobati anak kita ada yang cocok dengan penyakitnya.
Kita tak bisa putus pengharapan, Yah. Jadi kamu harus semangat ya."
Mendengar kata-kata istrinya yang penuh semangat itu membuat Pak Samsur kembali mempunyai pengharapan.
Dia pun mulai memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
Masih ada beberapa tabib dan orang yang mempunyai kemampuan pengobatan yang datang silih berganti. Setelah mereka memeriksa dan melihat penyakit tersebut dengan mata kepala mereka sendiri, akhirnya mereka mundur satu persatu.
Hingga tengah hari belum ada juga yang datang.
Pak Samsur kembali bermuram durja.
Dahulu dia menyangka uang adalah segalanya. Dengan uang semuanya bisa didapatkan. Sehingga dia telah bekerja dengan sangat keras supaya bisa menghasilkan uang yang banyak.
Sekarang dia bisa menikmati hasil jerih payahnya selama ini.
Rumah yang mewah. Kendaraan yang banyak. Makan apa pun makanan yang dia inginkan.
Tapi semenjak penyakit putri kesayangannya belum juga sembuh walaupun sudah pergi berobat ke mana-mana, baru lah kini ia menyadari bahwa uang tidak bisa membeli segalanya.
Kesembuhan putrinya tidak tergantung kepada uang tapi tergantung nasib dan jodoh.
Banyak tabib yang datang tapi tak mampu mengobati penyakit putrinya bukan karena para tabib tersebut tidak kompeten tapi kemampuan mereka belum berjodoh dengam penyakit yang diidap oleh putrinya.
Itulah pandangan istrinya tapi sekarang pun Pak Samsur mulai meyakini pula.
Sekarang sudah jam satu siang. Tidak ada lagi orang yang datang. Sambil menghela nafasnya sekali lagi, Pak Samsur yang masih duduk di ruang tamu akhirnya bangkit.
'Mungkin hari ini tak ada lagi orang yang datang untuk mengobati putriku' gumam Pak Samsur dengan sedih.
Baru saja Pak Samsur berjalan menuju kamar untuk istiraha tiba-tiba terdengar sebuah suara, "Assalamu'alaikum.....!!!"
Raminten