Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Victoria tahu yang sedang Raphael maksudkan ialah Adrian. Itu karena posisi mobil mereka yang hanya ber-jeda sedikit saat sampai. Jadi begitu dia dengan cepat menggeleng, karena selain tidak ingin Raphael terlalu jauh dalam urusan pribadinya, Adrian memang tidak ada hubungannya sama sekali.
Tapi Raphael yang melihat kecepatan Victoria menggeleng, mengira itu kepanikan. Jadi dia tertawa kecil. “Aku tidak mengira kamu bisa berganti pria dengan cepat.”
“Raphael aku—”
“Sudah lupakan. Karena kamu telah mempercepat keputusan Kakek, maka aku juga harus memberikan yang kamu inginkan. Perceraian akan diurus secepatnya tapi ingat, … kamu masihlah harus melakukan peranmu, sampai pada saatnya.”
Mata Victoria membola tidak percaya, mendengar kemurahan hati Raphael.
“Benarkah?”
Raphael mengangguk mantap, sembari memasukkan satu tangan di saku celananya. “Tapi ingatlah untuk tidak mengacau.” Begitu saja, Raphael dengan kepuasan meninggalkan Victoria yang masih mematung.
Satu hal yang Victoria tidak pernah tahu, bahwa Raphael menahannya sampai pada ulang tahun sang Kakek, karena Kakeknya pernah menjanjikan akan memberikan hak penuh saat itu. Tapi kini, hak penuh itu telah diberikan kepadanya dan akan diterima dalam beberapa waktu. Jadi ya, Raphael tidak merasa perlu menahan Victoria lagi.
Sementara soal kesehatan Kakeknya, Raphael lebih dari yakin pria tua itu akan baik-baik saja, meski mereka bercerai.
Senyum kemenangan segera terbit di wajah Raphael. Dia lama menantikan hari ini. Hari kekalahan sang Paman, sesuai janji pada Ayahnya.
Sementara Victoria yang masih diluar, membekap diri diantara hilir angin malam. Walaupun dia tahu Raphael akan bangkit suatu hari nanti, tapi kejatuhan akibat serangan Orlando akan membuatnya cukup kesulitan.
“Maaf Raphael, sesuai dengan alur waktu yang berubah, aku tidak bisa memprediksi kapan masa sulit datang padamu,” gumam Victoria.
Kini giliran Victoria yang menarik sudut bibirnya memikirkan perceraian yang di depan mata. Berpikir tidak sia-sia baginya untuk menjadi diri sendiri, dalam tubuh asing ini.
•
•
Pada pagi hari berikutnya, Estella dan Remi melakukan aktivitas pelajar seperti biasanya.
Setelah sempat berkonsultasi sekali pada profesional, Estella mendapatkan kepercayaan dirinya kembali.
Ini menjadi hari pertamanya sekolah setelah kejadian dengan Allard itu, membuat Remi berusaha lebih ekstra menghadirkan rasa nyaman untuk Estella. Hanya saja, dia tidak terlalu pandai merangkai kata, jadi membuat sedikit kesalahpahaman saat mereka sedang di motor.
Dengan kecepatan dan angin yang ditabrak, Remi berucap pada Estella. “Este, … soal Allard, aku minta maaf. Aku disana tapi tidak langsung berlari, malah terdiam melihat tendangan Kakak ipar.”
Estella di belakang mengangguk saja. Bukan hanya Remi, dia juga terkejut ketika mengingat Victoria di hari itu. Tapi dia sudah tidak mau membahas hal itu, jadi mengutarakan pada Remi. Tidak menyangka Remi akan memberi jawaban yang merusak suasana hatinya.
“Yah, aku juga minta maaf atas nama Allard. Bagaimanapun juga dia sepupuku. Tolong lupakan itu semua.”
Tolong lupakan yang dimaksud Remi, adalah agar Estella tidak sakit hati mengingat hal itu. Tapi dalam pendengaran Estella, itu seolah Remi menganggap enteng kejadian yang menimpanya.
“Este? Este? Apa kau mendengarku?” panggil Remi, karena tidak menerima jawaban dari Estella. Dia mencoba melihat dari kaca, tapi Estella menghindarinya.
Pada akhirnya, meski salah paham Estella tidak bisa membuka mulutnya. Karena ini bukan hanya tentangnya, tapi juga tentang Allard yang masih sepupu Remi. Dia memilih melalukan masalah itu, meski hatinya tidak rela.
Sesampainya mereka di sekolah, Estella terkejut dengan keberadaan Viona disana. Secara tempat ini adalah parkiran motor, jadi jelas bagi Estella siapa yang sedang ditunggui Viona saat ini.
Sementara Viona sendiri, dia sudah menyiapkan diri sejak tadi jika melihat kedatangan Estella yang sudah pasti bersama Remi. Meskipun sudah tahu bahwa keduanya adalah sahabat yang terikat akibat pernikahan kedua Kakak mereka, tapi Viona masih tidak nyaman. Apalagi dengan fakta dimana dia mulai menyukai Remi.
“Pagi Rem, pagi Estella.”
“Hei, masih disini?”
Viona tersenyum malu-malu. “Eh iya, aku menunggumu.” Viona mengangkat sebuah paper bag dengan isian kue di dalam. “Aku membuat kue dan berpikir untuk memberikannya padamu.”
Remi menerima itu dengan senang hati. “Terimakasih, tapi dalam rangka apa kau repot-repot begini?”
“Tidak, tidak. Tidak ada yang merepotkan. Aku hanya senang memberimu, seperti aku memberi cokelat sebelumnya.”
DEG. Remi terdiam, mengangkat kepalanya perlahan menatap Estella. Takut gadis itu akan mengamuk, mengetahui coklat itu adalah pemberian orang lain yang dia teruskan padanya.
Benar saja. “Hehehe, jangan marah.” Bujuk Remi cepat, melihat Estella yang sudah melipat tangan di dada. Dia semakin kesal, dengan fakta yang baru diketahui ini. Berbeda dengan Viona, yang sangat senang ini semua terekspos. Berharap Estella akan malu, karena mau makan coklat pemberiannya.
Sayangnya itu benar. Estella memang malu mendapati hal itu. Dia mengembangkan kekesalan yang semakin besar pada Remi, tapi masih tidak akan membiarkan Viona melihat hal itu.
Estella memaksa senyuman palsunya, seperti karakter antagonis miliknya di masa depan. “Wah, ternyata coklat itu pemberianmu yah. Kalau tahu itu untuk Remi, aku tidak akan mengambilnya. Ya tapi mau bagaimana, … itu coklat kesukaanku.”
Viona yang tidak siap dengan keterbukaan Estella, jadi sedikit salah tingkah menghadapi hal ini. Tapi dengan begitu cepat, dia belajar mengendalikan diri. “Oh ya? Kalau begitu tidak mengapa. Aku sudah buat kue sebagai gantinya untuk Remi.”
Remi yang tidak bisa melihat ketegangan antar perempuan, hanya dengan senang menerima pemberian Viona. Tapi dia paling senang, karena Estella yang tidak marah meski mengetahui itu coklat yang dia teruskan.
“Aku duluan ya, harus ke toilet,” ujar Estella tiba-tiba. Dia benar-benar berlari ke toilet, dengan mengepalkan tangannya. Dia merasa sesak melihat kedekatan antara Remi dan Viona.
Dengan membanting pintu saat masuk, kini Estella berdiri didepan kaca dan membuka kran air agar bisa menenangkan dirinya sendiri.
“Tenang Estella, … kenapa kau harus merasa gelisah untuk itu? Ingat perkataan Kakak.”
Dia mengucapkan ini seperti mantra berulang-ulang bagi dirinya, hingga akhirnya tenang. Tapi tepat saat itu bel berbaris berbunyi, membuat Estella harus segera keluar.
Tapi betapa terkejutnya Estella, mendapati pintu kamar mandi yang tertutup. “Sialan, ada apa ini?”
BRAK. BRAK. BRAK.
Estella terus menggedor pintu toilet, menyadari seseorang telah menguncinya dari luar.
Dia berdecak kesal, penuh emosi. Memutuskan mengambil ponsel untuk memanggil Remi, tidak menyangka akan mendapatkan pesan anonim, yang mengancamnya.
Tangan Estella bergetar, sampai-sampai ponselnya lepas. “Manusia brengsek mana, yang coba macam-macam denganku hah!??”
Dia mengambil lagi ponselnya dan memutuskan menghubungi Remi. Tapi sayang, setelah beberapa kali panggilan, tidak ada jawaban. Membuat Estella mau tidak mau menelpon Victoria.
Tapi belum juga panggilan tersambung, pintu telah dibuka tiba-tiba dan menunjukkan Viona.
Jantung Estella berpacu kencang, merasa ada yang tidak beres dengan Viona. Apalagi mengingat pesan ancaman yang diterima belum lama ini.
“Estella? Kenapa kau terkunci disini?”
Estella yang paranoid tidak bisa mempercayai siapapun sekarang. Jadi alih-alih menjawab Viona, dia keluar dengan tidak mengatakan apapun.
Estella setengah berlari ke arah kelas, dia bingung untuk mengatakan hal ini pada siapa sekarang.
Tapi kini jantungnya semakin cepat, peluh dingin berjatuhan dari dahinya. Dia membuka lokernya di lorong kelas, dan menemukan ada sekotak strawberry. Masalahnya ini adalah buah yang tidak bisa dia makan karena alergi. Jadi melihat ini di loker miliknya, Estella memastikan dia telah diteror. Tapi siapa?
Pemikiran ini berlarian dibenaknya, membuat Estella memutuskan mengambil foto dan mengirim semua kejadian ini langsung pada Victoria.
Ya hanya Victoria, karena bahkan Remi pun sedang tidak ingin dia sapa saat ini.
“Estella?”
Estella berbalik dan menemukan itu Viona.
“Kau tidak apa-apa?”
Estella menatap Viona. Gadis di depannya selalu ceria seperti pertama kali mereka bertemu. Hanya saja, terlalu terlihat bahwa dia ingin mendekat Remi. Pemikiran ini membuat Estella sedikit tidak tahan, hingga dia setengah membanting lokernya.
“Kenapa kau disini saat yang lain sedang di kelas?”
“Remi yang menyuruhku mengecek mu karena tidak kunjung kembali.”
Estella mengangguk dalam ketidak percayaannya. Remi bisa menelpon jika ingin, tidak perlu menyuruh orang lain mengikutinya, pikir Estella.
“Kalau begitu terimakasih dan maaf membuatmu repot. Remi memang sedikit keterlaluan jika menyangkut diriku.” Estella tidak melewatkan kesempatan memanggang emosi Viona, meski dia sedang stress saat ini.
Tapi dari pihak Viona tidak tersulut sama sekali, yang membuat Estella menjadi kecurigaannya. “Bukan masalah. Aku senang membantumu, apalagi kau terkunci tadi.”
“Mm, aku sempat berpikiran buruk bahwa bisa saja kau yang mengunciku. Tapi lupakan, aku tahu tidak mungkin.”
Viona pun tertawa mendengar itu. Tawa yang indah. “Estella … kau pasti bercanda. Bagaimana bisa aku—”
“Kau benar, aku bercanda. Jadi lupakan.” Begitu saja Estella mengambil langkah meninggalkan Viona memasuki kelas lebih dahulu.
Tidak tahu bahwa dari kejauhan, seseorang memperhatikan mereka. Meski begitu, apapun yang terjadi saat ini Estella adalah antagonis dalam cerita. Dia bukan karakter lemah, jadi cukup terkendali meski dalam situasi sulit.
Di dalam kelas, Estella kembali bertemu Remi yang sedang memainkan ponselnya.
“Aku menelponmu tadi.”
“Serius? Tapi kenapa? Ponselku sedang dalam mode jangan ganggu hehee ….”
“Kali ini kau percaya kan?” ujar Viona dari belakang. Lagi-lagi dia datang dengan senyuman diantara keduanya. Berbeda dengan Estella, kini Remi sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Viona di sekitarnya.
Semakin Estella perhatikan, semakin tidak nyaman hatinya. Karena terlihat sekali bahwa Viona berusaha keras mendekati Remi, tapi bukan sebagai teman lagi. Dia juga adalah perempuan yang menyimpan perasaan, sudah pasti dia bisa melihatnya pada orang lain.
Hingga saat bel pulang sekolah berbunyi, Viona akhirnya kembali untuk membuat perbincangan pada Remi.
“Rem, apa kau ikut kegiatan semacam les?”
Remi yang sedang mengemasi barang-barang, tanpa berpikir banyak langsung mengangguk.
“Ah yah, kau ingin ikut les tambahan?”
“Ya, tolong berikan aku sedikit rekomendasi? Ibu Maia, menyarankan aku untuk pergi les.”
Estella yang sudah tidak tahan sejak tadi, akhirnya membuka mulut. “Ibu Maia?”