Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Meyra duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, matanya menatap jendela kamar yang masih tertutup. Hembusan angin dari pendingin ruangan tak mampu menghapus kekosongan yang ia rasakan di hatinya. Kepergian Cessa begitu menghantam batinnya. Belum lama ia kehilangan bayi yang dikandungnya, kini Cessa—anak yang begitu ia cintai—dibawa oleh ayah kandungnya. Dalam pikirannya, berputar berbagai kemungkinan yang membuatnya cemas. Bagaimana jika Cessa lebih betah di sana? Bagaimana jika Romi, ayah kandung Cessa, tidak bisa memberikan kasih sayang seperti yang ia berikan selama ini?
Alvin melangkah masuk ke kamar dengan langkah perlahan, seolah takut mengganggu ketenangan Meyra. Ia mendekati Meyra, duduk di sampingnya dan meraih tangannya. Dengan lembut, Alvin menyentuh jemari Meyra yang terasa dingin.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, sayang?" tanya Alvin lembut, menatap wajah istrinya yang lesu dan penuh dengan kesedihan.
Meyra menghela napas panjang. "Kenapa Papi izinkan Cessa pergi dengan orang asing? Kan bisa saja dia bukan ayahnya Cessa?" suaranya lirih dan bergetar, penuh kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.
Alvin menatap Meyra dalam-dalam, kemudian menghela napas panjang. Ia menarik tangan Meyra lebih erat, seolah ingin mentransfer ketenangan dalam genggamannya. "Dari awal aku memang sudah tahu Cessa bukan anak kandungku." Alvin terdiam sejenak, memberi waktu pada Meyra untuk mencerna ucapannya. "Sarah mengakui itu setelah Cessa berumur dua tahun. Waktu itu kami bertengkar hebat karena aku memergoki Sarah sedang bersama pria lain. Di saat itulah, Sarah—almarhum istriku—mengatakan bahwa Cessa bukan anak kami."
Meyra menoleh, matanya membesar. Ada getaran di matanya, campuran antara kaget dan bingung. "Astaga papi" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan yang keluar dari bibirnya.
"Iya, aku tahu. Tapi aku tidak mau kehilangan Cessa. Aku terlalu mencintainya." Alvin tersenyum kecil, namun senyumnya terasa pahit. "Saat itu aku sangat terpukul. Aku merasa harga diriku diinjak-injak. Jadi aku membalas perbuatan Sarah dengan perselingkuhan. Sarah kemudian mengatakan bahwa ayah kandung Cessa adalah Romi. Aku begitu pengecut, tidak ingin tahu siapa pria itu. Aku lebih memilih menutup mata daripada menerima kenyataan pahit itu."
Meyra terdiam. Tangannya erat menggenggam lengan Alvin. Ada rasa sesak yang menyelimuti dadanya, meskipun ia tahu bahwa masa lalu Alvin adalah sesuatu yang sulit untuk diubah.
"Namun setelah aku menikah denganmu, aku merasa menemukan seseorang yang mampu menerima aku apa adanya. Kamu menolak aku di awal, tapi pada akhirnya kamu menerimaku dengan segala kekurangan." Alvin menatap Meyra dengan penuh kasih. "Aku berusaha berdamai dengan masa lalu, karena bersamamu, aku merasa utuh."
Meyra menunduk. "Bagaimana kalau Papi ternyata punya anak lain di luar sana? Sama seperti Romi yang muncul dan menjemput Cessa?" pertanyaan itu meluncur dari bibirnya tanpa bisa ia tahan.
Alvin tertawa pelan. "Nggak mungkin, Mommy. Aku selalu pakai pengaman, dan aku hanya melakukannya sekali dengan setiap wanita. Kami bahkan jarang bertukar keringat." Alvin mengedipkan mata, mencoba mencairkan suasana.
Meyra tersentak, merasa geli dan ngeri bersamaan. "Hah? Apa maksudnya?" tanya Meyra, menatap Alvin tajam dengan kening berkerut.
"Tenang, aku melakukan cara yang lain," Alvin berbisik, mengedipkan mata lagi. Nadanya menggoda, namun Meyra tidak bisa menahan geli yang merayap di tubuhnya.
"Kamu ini, ya! Jangan macam-macam lagi, Pa. Kalau Papi selingkuh lagi, aku tidak akan pernah memaafkan." Meyra mencubit lengan Alvin, pura-pura kesal.
"Siap, Nyonya. Aku sudah bertobat." Alvin tersenyum dan mencium kening Meyra. Ia tahu, meskipun Meyra mencoba bersikap tegar, hati istrinya itu tetap dipenuhi kecemasan.
Suasana mulai mencair. Waktu makan malam tiba. Rey dan Rheana sudah duduk di meja makan, menunggu orang tua mereka bergabung.
"Mommy, aku mau cerita!" Rey berseru dengan semangat membara. "Aku ikut tes olimpiade matematika yang diadakan universitas."
Meyra tersenyum terharu. "Kamu hebat, Rey. Mommy bangga banget sama kamu."
"Rey janji akan dapat piala, minimal perak!" ujar Rey penuh semangat, matanya berbinar penuh ambisi.
Meyra mengelus kepala Rey dengan lembut. "Sampai sejauh ini saja, Mommy sudah senang."
Rey tersenyum lebar. "Kalau aku dapat piala, Mommy kasih hadiah apa?"
Alvin menyahut. "Apa yang kamu mau, Rey?"
Rey berpikir sejenak. "Aku mau mobil, bisa nggak mommy?"
Meyra tertawa. "Kamu belum 17 tahun, Rey. Belum bisa punya SIM dan menyetir."
"Tapi aku sudah bisa nyetir, loh mom!"
Alvin hanya diam, membiarkan percakapan mengalir.
"Kalau sudah 17 tahun, Papi pasti belikan. Tapi sekarang belum bisa, ya," ujar Meyra.
Rey menghela napas. "Ya udah, ganti hadiah aja mom."
"Apa yang kamu mau?" tanya Meyra.
Rey tersenyum jahil. "Aku cuma mau Mommy jangan pernah ninggalin kami. Mommy harus sayang sama Papi. Pahami rasa cemburu Papi."
Meyra tersipu. Alvin tertawa puas.
"Mommy janji nggak akan ninggalin kalian. Mommy pasti sayang sama Papi," ucap Meyra lembut.
"Yes!" seru Rey. "Denger kan, Pi?"
"Denger banget," jawab Alvin. "Mommy kamu udah bucin sama papi."
Rheana tertawa malu-malu.
"Kemarin waktu Mommy ke kantor, dia minta sekretaris papi yang seksi diganti sama laki-laki." Alvin menatap Meyra jahil.
Meyra memerah, mencubit Alvin. "Papi, jangan kasih tahu anak-anak!"
Rey mengangkat alis, penasaran. "Kenapa, Mom? Cemburu ya?"
Meyra tertawa gugup. "Bukan cemburu, Rey. Mommy cuma nggak mau ada yang godain Papi. Papi kan gampang digoda."
Alvin tertawa keras. "Mommy kamu lucu, Rey. Tapi papi suka. Berarti Mommy sayang banget sama papi."
Rey mengangguk penuh keyakinan. "Iya, Mom. Jagain Papi baik-baik ya. Kalau nggak nanti ada yang ambil."
Meyra menghela napas. "Papi nggak bakal ke mana-mana. Cukup sama Mommy aja."
Rey dan Rheana tertawa.
Setelah makan malam, Meyra meminta Alvin menghubungi Romi untuk melihat Cessa. Video call tersambung. Di layar, Cessa terlihat sedang makan malam bersama Romi dan istrinya di sebuah restoran.
"Cessa, jangan makan seafood, ya. Makan ikan saja," pesan Meyra.
"Iya, Mom," jawab Cessa ceria.
Namun, hati Meyra masih terasa berat. Setelah panggilan berakhir, Alvin memeluk Meyra erat. "Cessa pasti baik-baik saja, Mommy," kata Alvin sambil mengedipkan matanya. "Dia anak yang kuat. Lagipula, Romi pasti menjaga dia dengan baik."
Meyra menghela napas. "Aku tahu, tapi rasanya sulit untuk tidak khawatir. Cessa masih kecil."
Alvin tersenyum dan menyentuh dagu Meyra. "Kita bisa video call kapan saja. Kalau kamu rindu, kita langsung telepon Romi. Jangan terlalu dipikirkan, sayang. Aku yakin Cessa juga merindukan kita."
Meyra tersenyum kecil. "Iya, aku harap begitu. Terima kasih sudah mengerti aku, Pa."
Akhirnya, setelah percakapan panjang dan makan malam yang menghangatkan hati, mereka memutuskan untuk beristirahat. Alvin menarik Meyra ke dalam pelukannya di tempat tidur. "Cessa pasti baik-baik saja, Mommy," bisiknya sambil mengedipkan mata. Meyra tersenyum tipis, merasa sedikit tenang. Dalam pelukan Alvin, perlahan ia terlelap, berharap esok akan membawa ketenangan baru di hatinya.