Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ada Syaratnya
"Mas... aku bangga loh sama kamu mas. Bos besarnya hotel mewah ini kok bisa ya ngundang kamu ke sini? Pake di jemput pula."
Melati yang baru turun dari mobil jemputan tidak henti-hentinya berdecak kagum menatap bangunan hotel mewah pencakar langit berdiri megah dihadapannya.
Saat sang suami dijemput, dirinya belum selesai dengan pekerjaan rumah, tapi memaksa untuk ikut juga karena penasaran bagaimana rasanya menginjakkan kaki di lantai hotel mengkilap yang terkenal mewah itu.
"Mas Eko gitu loh dek," sombong pria yang menjabat sebagai ketua RT 4 kampung Rawa Indah itu sembari menepuk dada bidangnya yang lumayan berotot.
"Pak Eko dan bu Melati, mari ikut bersama saya," ujar sang security setelah sopir berlalu menuju parkiran basemen. Keduanya gegas mengekor dari belakang.
"Mas, pelan-pelan Mas, lantainya licin banget nih, aku beberapa kali hampir kepleset," Melati bergelayut pada lengan sang suami. Sepatu high heels berbahan kayu tanpa karet itu memang beberapa kali tergelincir.
"Nggak bisa to dek, kalau sampai ketinggalan bisa nyasar loh kita," Eko mengedarkan pandangannya, banyaknya lorong dan belokan juga manusia yang berlalu lalang melintasi mereka tentu saja membuatnya cukup bingung.
...***...
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" seru Bimo dari belakang mejanya tanpa menoleh pada datangnya suara ketukan. Angka-angka pada laporan keuangan dari manager marketingnya cukup menyita perhatiannya.
"Maaf Tuan, pak RT-nya sudah tiba." sang security berucap begitu tiba didepan Bimo.
"Rupane ganteng pisan yo Mas..."
Logat kental itu begitu menyita perhatian Bimo, pria itu mendongak, pandangan bertemu dengan wanita berpakaian kebaya lengkap dengan sanggul Kartini-nya memandangi dirinya penuh damba.
Sementara pria disebelahnya menyenggol menggunakan siku, memberi isyarat agar sang wanita tidak banyak bertingkah.
"Kamu boleh kembali berkerja," pelan Bimo.
"Baik Tuan," sang security gegas undur diri.
"Pak ketua RT. 4 Kampung Rawa Indah?" tanya Bimo menatap pria bertubuh gempal, sembari tersenyum ramah.
"Iya Tuan, panggil saja saya pak Eko atau mas Eko. Nah yang cantik disebelah saya ini adalah isteri saya, Melati namanya. Dia memaksa ikut, ingin tahu bagaimana rasanya menginjakan kaki di hotel mewah yang sangat tersohor ini," jujur Eko sambil terkekeh pelan.
Bimo tersenyum mendengarnya.
"Mari silahkan duduk," Bimo mempersilahkan dengan ramah sambil berdiri dari kursinya.
"Mau minum apa mas Eko dan mba Melati? Yang panas, hangat, atau yang dingin?" Bimo menawarkan, berjalan menuju pantry tidak jauh dari meja kerjanya.
"Yang panas!"
"Yang dingin!"
Sahut keduanya bersamaan, lalu saling menyikut satu sama lain.
Bimo kembali tersenyum mendengarnya.
Dari sofa tamu, pandangan Eko dan Melati menelusuri seluruh sudut ruangan. Keduanya begitu kagum melihat interior ruang kerja Bimo yang unik, mewah, penuh garis-garis ketegasan seperti gambaran sang empunya.
"Silahkan diminum," Bimo menyajikan dua cangkir teh hijau panas, dan beberapa kaleng soft drink diatas meja.
"Terima kasih Tuan," ucap keduanya bersamaan. Melati tidak henti-hentinya menatap Bimo penuh kekaguman, sementara Bimo berpura-pura tidak menyadarinya.
"Mas Eko tahu kenapa saya undang kemari?" Bimo menatap sang ketua RT 4 yang baru selesai menyesap teh hijaunya.
"Tidak Tuan, pak satpam hanya bilang bosnya Viktoria Hotel ingin bertemu dengan saya di hotel miliknya ini. Dan saya menerima undangan itu dengan senang hati."
"Apakah tuan bosnya? Karena pak satpam tadi mengatakan akan mengantar kami ke ruangan bosnya."
Lagi, Bimo mengulas senyum tanpa menjawab pertanyaan Eko.
"Tadi malam, saya kemalaman datang ke rumahnya bude Romlah, warga kampungnya mas Eko--"
"Oh, jadi Tuan adalah berondong kayanya bude Romlah yang dilaporkan oleh jeng Anggi itu?" potong Eko, matanya langsung melebar kaget, begitu pula Melati yang sedari tadi terus saja mengaguminya.
"Maaf, sepertinya pak RT salah paham, saya bukan berondongnya bude Romlah seperti yang dimaksud bu Anggi. Saya hanya sedang menyalurkan bantuan pada anak yatim piatu yang tinggal bersama beliau," Bimo cepat-cepat mengklarifikasi.
"Tapi kenapa datangnya larut malam? Lalu kenapa langsung ke bude Romlah? Kan ada pejabat pemerintahnya di kampung, contohnya saya," tanya Eko bernada curiga.
"Salah satu OB saya mengatakan dia dan dua adiknya yatim piatu, untuk mengetahui kebenarannya, saya datang sendiri mengeceknya, sekalian membawa bantuan ke rumah bude Romlah," Bimo berucap tenang, menyampaikan alasannya.
"Berkenaan laporan warga yang bernama bu Anggi seperti yang mas Eko katakan tadi, saya minta mas Eko sebagai ketua RT 4 di kampung Rawa Indah bersedia mengklarifikasi kesalah pahaman ini supaya jangan sampai berlarut-larut."
Eko mengangguk pelan sambil berfikir.
"Apa anak yatim piatu yang dimaksud Tuan adalah Vina dan adik-adiknya?" Eko menatap penuh selidik.
"Iya itu benar Mas," sambut Bimo cepat.
"Wajar saja mereka Tuan bantu, si Vina itu kan cantik, kembangnya kampung Rawa Indah!" tekan Eko bernada kian curiga.
"B-bukan begitu mas Eko," Bimo tergagap, tak sadar membenarkan posisi duduknya.
"Kalau begitu..." Eko memberi jedah.
"Saya bisa mengklarifikasikan kesalahan fahaman tentang gosip yang beredar itu hanya dengan satu syarat," lanjutnya, menatap lekat wajah Bimo.
"Katakan saja, apa syaratnya?" Bimo gegas bertanya.
"Masih banyak warga kami yang yatim piatu, tapi mereka jelek-jelek Tuan. Juga beberapa janda tua yang sudah tidak produktif lagi, mereka juga membutuhkan bantuan sembako. Apa Tuan bersedia?" Eko mengeluarkan ide yang baru saja terbersit dalam benaknya.
"Tulis saja daftar nama mereka mas Eko, besok bantuan sembakonya pasti saya salurkan," tanpa pikir panjang, Bimo cepat menanggapi.
Eko tersenyum penuh kemenangan. Pria bertubuh gempal itu dengan lancarnya menuliskan daftar nama yang ia maksud diatas kertas menggunakan pulpen dan kertas yang Bimo berikan.
"Sudah selesai?" tanya Bimo kemudian, setelah menghubungi sang security untuk datang kembali.
"Sudah, ini Tuan," Eko menyodorkan apa yang telah ia tulis.
"Banyak sekali daftarnya?" Bimo mengernyit, menatap Eko setelah melihat angka akhir berjumlah 240 orang.
"Tuan boleh mengantarnya langsung pada masing-masing nama itu besok bila tidak mempercayai data yang saya berikan," tantang Eko dengan wajah meyakinkan.
"Saya tidak masalah selama apa yang mas Eko tulis itu adalah benar," Bimo meletakan lembaran kertas itu diatas mejanya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Bimo menatap security yang baru tiba diruangannya.
"Tolong antar mas Eko dan mba Melati kembali ke rumah mereka. Sebelum itu, ajak mereka makan dulu direstoran dan singgah ke supermarket untuk membeli sembako dan beberapa bahan makanan mentah disana sebagai buah tangan. Nanti saya transfer dananya."
"Baik Tuan."
"Mas Eko, mba Melati, terima kasih banyak atas kunjungannya kemari, dan jangan lupa klarifikasi kesalah fahaman yang ada disana, kasian bude Romlah." Bimo beralih pada sepasang suami isteri itu.
"Baik, saya berjanji Tuan. Begitu sembakonya besok datang saya jamin akan beres," tekan Eko sambil menjabat tangan Bimo.
...***...
"Vina, jujur sama gue. Loe beneran? Jadi simpanannya om-om yang cegat kita tempo hari?" tanya Mirna disela-sela langkah mereka menuju gerbang kampus.
"Hahaha! Maling mana ada yang mau ngaku, yang ada penuh tuh penjara!" lantang Riska dengan nada penuh ejekan.
"Diam loe! Nggak ada yang ngajak loe ngomong!" ketus Mirna tajam.
"Gue cuman bantu jawab, kasian sama loe yang penasaran," Riska masih tertawa mengejek, bersandar pada pagar yang dilewati Vina dan Mirna.
"Cukup Riska, jangan pernah loe gangguin Vina lagi, atau gue--"
"Laporin ke pak Murdiono?! Basi!" Riska menatap kesal pada Heru yang tiba-tiba muncul.
"Apa sih kelebihan Vina dibanding gue?! Semalam loe udah liat dia begitu mesra gandengan sama laki-laki tua! Yang lebih pantas jadi ayahnya!" Riska meluapkan emosinya sambil menujuk-tunjuk wajah Vina.
"Cukup!"
Suara berat dan tegas itu seketika menyita atensi semua orang yang ada didepan pagar kampus.
"T-tuan Bimo?" wajah Riska mendadak pucat-pasi.
Bersambung...✍️
Pesan Moral : Jalani hidup ini dengan ikhlas berbagi kepada sesama. Apa yang kita berikan akan kembali kepada kita. ❤️ (By. Author Tenth_Soldier)
🤣