NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

obrolan malam

Happy reading guys :)

•••

Cuaca pada siang hari ini sangat cerah, langit begitu indah dengan dihiasi oleh warna biru, awan putih dan matahari juga tidak lupa juga hadir untuk melengkapi keindahan di atas angkasa.

Di pinggir lapangan basket outdoor SMA Garuda Sakti, kini terlihat Chelsea dan Cindy sedang beristirahat setelah selesai bermain bola basket bersama.

Chelsea menopangkan dagu menggunakan bola basket, melihat Nadine yang masih setia bermain sendiri di tengah lapangan.

“Itu anak kenapa, sih? Dari tadi kelihatannya badmood banget?” tanya Chelsea, ke Cindy yang duduk di sampingnya.

Cindy menyandarkan tubuh pada pagar lapangan, mengelap keringat yang masih keluar dari tubuhnya menggunakan handuk. “Lagi datang bulan mungkin.”

“Tumben banget, biasanya dia kalo datang bulan malah ceria banget.” Chelsea menggerak-gerakkan bola basket dengan dagunya.

“Namanya juga lagi datang bulan, lu aja sifatnya berubah-ubah kalo lagi dapet.” Cindy membuka satu botol air mineral, menenggak hingga setengah, lalu menawarkannya ke Chelsea. “Chel, mau minum gak?”

Chelsea menoleh ke arah Cindy, dan menggelengkan kepala. “Gak, Cin. Udah gak haus gue.”

Cindy mengangguk paham, menutup kembali botol air mineral itu, lalu mengangkat kepala saat mendengar suara pantulan bola basket semakin dekat dengan dirinya.

“Udah kelar mainnya?” tanya Cindy, melihat Nadine sedang memantul-mantulkan basket seraya berjalan mendekati tempat dirinya dan Chelsea duduk.

Nadine hanya mengangguk sebagai jawaban, berhenti memantul-mantulkan bola basket, mendudukkan tubuhnya di samping Chelsea, lalu menghirup udara sebanyak yang dirinya bisa.

“Haus, Din? Mau minum gak?” tanya Chelsea, melihat tubuh sang sahabat yang sudah dipenuhi oleh banyaknya keringat.

Nadine menggelengkan kepala, mengambil handuk, mengelap semua keringat yang telah keluar dari dalam tubuhnya. Setelah semua keringat menghilang, Nadine menyandarkan tubuh di pagar, menutup mata, berusaha menghilangkan rasa kesal dan amarah yang masih memenuhi tubuhnya sampai saat ini.

“Lu lagi dapet, kah, Din?” tanya Chelsea, menaruh bola basket di depan tubuhnya, lalu mengikuti Nadine dan Cindy bersandar pada pagar.

Nadine kembali menggelengkan kepala, kedua mata masih tertutup, dahinya mulai mengkerut, mengingat kembali kata-kata yang diucapkan oleh sang kakak tadi malam, membuat rasa kesal dan amarahnya semakin meluap-luap.

Gadis itu mengepalkan tangan, memukul pagar lapangan dengan sangat keras.

Chelsea dan Cindy sontak melebarkan mata saat mendengar suara pukulan dari Nadine. Mereka berdua saling pandang, seraya memegangi dada masing-masing.

“Din, kenapa?” Chelsea menoleh ke arah Nadine, khawatir dengan keadaan sang sahabat.

Nadine perlahan-lahan mulai membuka mata, kedua tangannya semakin mengepal sempurna. “Gue kesel dan marah banget sama kakak gue.”

“Lu berdua lagi berantem? Tumben amat, biasanya akur banget.” Cindy menyelonjorkan kaki, membersihkan tanah yang menempel di celana dan kakinya.

“Mau cerita ke kita bersua, Din?” tanya Chelsea, melihat kedua tangan Nadine yang sudah mengepal sempurna.

Nadine mengangguk, melipat kedua kaki di depan dada. “Kakak gue, tadi malam dia masa bilang kalo ngerekomendasiin Angel sama Vanessa buat jadi calon ketos dan waketos yang baru. Padahal, waktu itu dia bilang mau dukung dan ngerekomendasiin gue, tapi sekarang malah bilang yang sebaliknya.”

“Kakak lu punya alasan waktu bilang mau ngerekomendasiin Angel sama Vanessa?” Chelsea mengusap lembut bahu Nadine, berusaha membuat gadis itu menjadi lebih tenang.

“Kata dia, dia punya rencana lain, tapi gue gak tau itu rencana apa,” jawab Nadine, kepalan pada dua tangannya perlahan-lahan mulai mengendur saat mendapatkan usapan dari Chelsea.

Chelsea sedikit mengerutkan kening, bingung dengan pola pikir dari kakak Nadine. Namun, itu tidak berselang lama, ia tersenyum tipis, menyadari betapa liciknya kakak sang sahabat. “Din, gue yakin rencana kakak lu itu udah paling terbaik, walaupun gue gak tau itu rencana apa, tapi gue berani jamin, kakak lu udah mikirin ini dengan matang, dan ini juga buat kebaikan lu.”

Nadine menopangkan pipi kiri di lutut, menoleh, menatap wajah Chelsea. “Baik buat gue gimana, Chel? Hal yang baik buat gue, ya, cuma kalo dia dukung gue buat maju gantiin kak Fajar.”

“Itu menurut lu, dan hal yang menurut lu baik, belum tentu baik buat dirilu sendiri.” Chelsea menghentikan usapannya, lalu menepuk pelan pundak Nadine. “Gue yakin, Chel, kakak lu udah mikirin ini matang-matang, dan pasti ini bakal baik juga buat nasib lu kedepannya.”

Nadine diam sejenak, memikirkan semua perkataan dari Chelsea. Menurutnya, perkataan dari gadis itu ada benarnya, selama ini sang kakak tidak pernah sekeras kepala ini dengan dirinya.

Suara pantulan bola basket, membuat Nadine sontak berhenti berpikir, mengangkat kepala, melihat ke arah orang yang telah memantulkan bola basket itu.

“Daripada lu badmood terus, mending kita latihan lagi. Ingat, minggu depan kita ada tanding sama SMA Pelita,” ujar Cindy, melakukan tembakan tiga poin di depan Nadine dan Chelsea.

Kedua mata Chelsea mengikuti bola basket yang sudah mengarah ke ring. “Wih, makin ngeri aja three point shot lu, Cin.”

Cindy berlari menuju ring basket, mengambil bola yang tadi telah dirinya lemparkan, lalu melakukan dribble mendekati tempatnya semula.

“Jelas, lah, Cindy gitu, loh,” ujar Cindy, kembali berancang-ancang untuk melakukan lemparan tiga poin.

Chelsea kembali mengikuti arah bola basket yang telah Cindy lemparkan. Namun, bedanya sekarang ia tidak takjub, melainkan tertawa sangat kencang saat lemparan dari sang sahabat membentur ring, dan terlempar jauh ke pinggir lapangan.

“Baru juga sombong, Cin. Kok, udah gak masuk lagi?”

Cindy berdecih, kembali berlari mengambil bola basket. “Gara-gara angin, nih, lemparan gue jadi gak masuk.”

“Dih, alesan aja lu.” Chelsea mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk lapangan, melihat tujuh orang gadis yang sedang berjalan mendekati dirinya dan Nadine. “Din, ayo, latihan lagi. Itu anak-anak udah pada datang.

Nadine mengikuti arah pandang Chelsea, dan mengangguk. “Ya, udah, ayo.”

Akan tetapi, saat Nadine ingin berdiri dari tempat duduk, ia mendengar suara handphone miliknya berbunyi, membuat dirinya mengambil benda pipih itu dari dalam tas.

“Siapa, Din?” tanya Chelsea, seraya meregangkan tubuh.

“Kakak gue,” jawab Nadine, lalu mengangkat panggilan telepon dari sang kakak, “Halo.”

“Halo, Dek, lu masih latihan basket?”

Nadine mengambil botol air minum, membuka, dan meminumnya sebelum menjawab pertanyaan dari sang kakak. “Iya, kenapa?”

“Lu bisa ke ruang OSIS bentar gak? Ada sesuatu yang mau gue omongin?”

Nadine mengerutkan kening seraya menutup botol air minum. “Mau ngomongin apa?”

“Gue kasih tau kalo lu udah ke sini.”

Mendengar jawaban sang kakak, membuat Nadine mengembuskan napas panjang. “Ya, udah, tunggu bentar, gue ke sana.”

Setelah Nadine mengatakan itu, sang kakak langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak.

Nadine kembali mengembuskan napas panjang, melihat sejenak layar handphone, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam tas. Ia bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati rekan se-team-nya yang sudah kembali memulai sesi latihan.

“Guys, gue cabut bentar, ya,” pamit Nadine.

Chelsea, Cindy, dan ketujuh gadis yang merupakan rekan satu team Nadine sontak menoleh.

“Mau ke mana, Din?” tanya Cindy, seraya memantul-mantulkan bola basket.

“Ke ruang OSIS, disuruh sama kakak gue,” jawab Nadine, membenarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah.

Cindy berhenti memantul-mantulkan bola, mengambil ancang-ancang, lalu melakukan tembakan tiga poin. “Ya, udah, Din, sana, gih, siapa tau kalian berdua bisa baikan.”

Chelsea menepuk pelan pundak Nadine. “Bener, Din. Udah, sana pergi.”

Nadine mengangguk, melambaikan tangan ke arah para rekan se-team-nya, kemudian berlari keluar dari dalam area lapangan basket.

•••

Siang berganti menjadi malam. Matahari telah menghilang dari bumi untuk mengistirahatkan tubuhnya, digantikan oleh bulan dan bintang yang perlahan-lahan mulai hadir menerangi dunia.

Di depan teras sebuah rumah, kini terlihat Vanessa sedang duduk di kursi, menikmati dinginnya angin malam seraya melihat ke arah langit.

Vanessa mengembuskan napas panjang, menopangkan dagu, mulai memikirkan tentang rekomendasi yang tadi siang dirinya dapatkan.

“Apa aku tolak aja, ya, rekomendasi dari kak Renata,” gumam Vanessa, menutup mata, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuhnya.

“Kamu mau nolak apa, Dek?” tanya Galen, mendudukkan tubuh di samping sang adik.

Mendengar suara sang kakak, membuat Vanessa sontak membuka mata, menoleh ke arah kanan, melihat satu-satunya laki-laki yang dirinya sayangi saat ini.

“Eh, Kakak. Ngapain ke luar? Bukannya tadi lagi telponan sama kak Livy, ya?” tanya balik Vanessa, seraya menunjukkan sebuah senyuman manis.

Galen menyandarkan tubuh di sandaran kursi, lalu menyilangkan kaki. “Udah selesai. Livy mau family time sama keluarganya.”

Vanessa mengangguk paham, mengalihkan pandangan ke arah langit, senyumannya semakin lebar saat melihat banyaknya bintang yang sudah hadir di malam hari ini. Ia mengambil handphone dari atas meja, memfoto keindahan langit untuk dijadikan sebuah kenang-kenangan.

Galen menopangkan dagu, tersenyum simpul, melihat Vanessa yang sedang sibuk mengambil foto. “Udah, Dek. Jangan difoto terus langitnya.”

Vanessa berhenti mengambil foto. “Eh, emang kenapa, Kak?” tanya Vanessa, menoleh ke arah sang kakak.

Galen mencubit pelan hidung dan kedua pipi sang adik. “Nanti langitnya berasa paling cantik lagi.”

“Tapi, kan, langitnya memang cantik, Kak.” Vanessa mengusap lembut hidung dan kedua pipinya yang tadi dicubit oleh Galen.

Tangan kanan Galen naik ke atas kepala Vanessa, mengusap lembut rambut sang adik. “Iya, Kakak tau, tapi masih cantikan kamu.”

“Ih, Kakak, apa-apaan, sih.” Vanessa kembali mengarahkan kamera handphone ke langit, mengambil beberapa foto dengan kedua pipi yang sudah berubah menjadi sedikit merah.

Melihat perubahan pada pipi sang adik, membuat Galen menahan tawa, menggerakkan tangan kanan, lalu kembali mencubit pelan pipi Vanessa. “Cie, sekarang Adik Kakak udah bisa salting, ya?”

“Ih, Kakak, Adek gak salting tau,” ujar Vanessa, memanyunkan bibir, dan menggembungkan kedua pipi.

“Iya, deh, iya, Adeknya Kakak yang satu ini gak salting,” ujar Galen, “Oh, iya, Dek. Tadi, Kakak denger kamu mau nolak sesuatu, kamu mau nolak apa, ya?”

Vanessa berhenti mengambil foto, mematikan handphone, menaruh benda pipih itu di atas pangkuannya. Ia menoleh ke arah Galen, menatap lekat wajah sang kakak.

“Itu, Kak. Tadi, di sekolah, Adek dapat rekomendasi jadi calon ketua OSIS dan wakil ketua OSIS yang baru,” ujar Vanessa.

“Wih, Adek Kakak keren, tapi kenapa kamu mau nolak, Dek?” tanya Galen, sedikit bingung dengan keputusan yang akan sang adik ambil.

Vanessa mengembuskan napas panjang, bersandar pada sandaran kursi, dan menundukkan kepala. “Adek takut, Kak. Adek takut kejadian sebelumnya akan terulang lagi, Adek takut banget. Ditambah, Adek di sekolah yang ini juga baru, pasti banyak orang yang gak suka dan iri kalo Adek nerima rekomendasi itu.”

Galen bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati kursi Vanessa, memeluk tubuh sang adik seraya memberikan elusan pelan pada puncak kepala, saat melihat tubuh satu-satunya anggota keluarganya itu bergetar.

“Kamu masih belum bisa ngehilangin ingatan itu?”

Vanessa mengangguk pelan. “Ma … maafin, Adek, ya, Kak. Jujur, ternyata Adek belum bisa buat bikin ingatan itu hilang.”

“Sssttt, kamu gak perlu minta maaf, Dek. Kamu gak salah.” Galen mencium puncak kepala Vanessa.

Vanessa kembali mengangguk, membalas pelukan sang kakak. Ia mulai menutup mata, menikmati elusan lembut yang diberikan oleh Galen.

Sekitar lima menit, kedua saudara itu saling berpelukan. Hingga pada akhirnya, Vanessa sedikit melonggarkan pelukannya, mengangkat kepala, dan menatap wajah sang kakak.

“Udah enakan?” tanya Galen, membalas tatapan sang adik.

Vanessa hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memberikan tatapan lekat ke arah sang kakak, seakan ingin sekali mengatakan sesuatu.

“Kamu mau ngomong apa? Ngomong aja, jangan dipendam sendiri,” ujar Galen, menyadari ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh sang adik.

“Menurut Kakak, Adek harus gimana? Terima rekomendasi itu atau gak?”

Galen kembali memberikan usapan lembut pada rambut sang adik. “Menurut Kakak, ya? Kalo menurut Kakak, kamu terima aja rekomendasi itu, hitung-hitungan buat latihan melawan kejadian masa lalu, tapi kalo kamu gak siap, ya, gak papa. Gak usah dipaksain.”

Vanessa diam sejenak, mempertimbangkan saran dari sang kakak. Ia menggigit bibir bawahnya, perlahan-lahan mulai mengangguk dengan pelan. “Adek mau nyoba buat nerima, Kak.”

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!