Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Faiz duduk di ruang kerjanya dengan raut wajah yang kesal. Ia meremas-remas berkas-berkas yang ada di mejanya dengan gerakan kasar.
Emosi Faiz semakin tidak terkendaki. Ia melempar dan membuang semua benda yang ada di mejanya.
Prangg
"Aaaaaakkhhh" teriak Faiz merasa sangat marah
Hatinya sangat kesal karena mengetahui jika surat ancaman yang ia terima 3 hari lalu ternyata terbukti benar. Ia menyesal tidak menganggap serius surat tersebut sebelumnya.
Namun, apa boleh buat, ia tak dapat membaca pikiran orang lain. Yang membuatnya semakin gelisah adalah ketakutan akan keselamatan Devan dan Elvano, kedua anaknya.
Meski begitu, ia merasa bersyukur bahwa keduanya tidak kenapa-kenapa. Mereka masih dapat terlindungi dengan baik. Faiz merenung sejenak, berpikir bagaimana caranya ia menjaga keluarganya tetap aman.
Tok
Tok
Tok
"Masuk" perintah Faiz yang masih dalam keadaan marah. Pintu ruangan terbuka, dan ternyata itu Kevin yang datang menghadap Faiz, atas perintahnya.
"Bagaimana, Kevin?" tanya Faiz dengan suara tajam.
"Maaf tuan, sepertinya pelaku tersebut sulit untuk ditangkap" ucap Kevin
Faiz semakin meradang mendengar berita tersebut. Ia ingin menangkap pelaku tersebut secepat mungkin dan membawanya ke hadapannya. Ia tak ingin keluarganya lagi terancam oleh orang yang tak bertanggung jawab.
"Ck, saya tidak mau tau Kevin. Segera selidiki dan bawa pelaku itu ke hadapanku, secepat mungkin!" perintah Faiz dengan suara lantang.
"Siap Tuan" ucap Kevin membungkuk hormat, dan segera pergi dengan cepat untuk melanjutkan penyelidikan.
Faiz duduk kembali di kursinya, merenungkan langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil untuk memastikan keamanan keluarganya.
"Siapapun orang itu, pasti akan aku habisi karena telah berani menganggu keluarga ku" gumam Faiz mengeraskan rahangnya
*****************
Devan sedang mabuk berat di sebuah club. Ia sedang duduk sendiri di sudut gelap sambil menenggak segelas whisky dengan cepat.
Kedua bola matanya terlihat sayu, mencerminkan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hatinya.
Luka-luka di tubuhnya belum sempat sembuh sepenuhnya, tapi Devan memaksakan diri untuk keluar dari rumah, dan menenggelamkan diri dalam pesta yang liar. Cara yang terbaik menurut pemikirannya.
Namun, semakin banyak whisky yang ia minum, semakin sulit baginya untuk menghilangkan rasa nyeri yang ada di dalam dirinya.
Perasaannya sedang kacau, ia terus-menerus terbayang dengan momen kritis di mana ia harus membuat pilihan sulit, menyelamatkan adiknya atau membunuhnya.
Flashback on
Devan mengerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam penglihatannya. Ia sedikit terkejut ketika sadar bahwa ia berada di sebuah ruang kosong dengan pencahayaan yang minim.
Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur yang terasa dingin dan melirik sekelilingnya.
"Argh" ringis Devan sambil memegang bahu kanannya bekas luka tembak, yang ternyata sudah di obati dan di perban.
Tap
Tap
Tap
Terdengar suara langkah kaki yang datang perlahan mendekati Devan, dan membuatnya mengerutkan kening.
"Sudah bangun?" tanya seseorang yang tidak jauh darinya. Devan menoleh ke arah suara tersebut dan melihat sosok yang memakai topeng separuh di wajahnya, sambil menghisap rokok dengan tenang.
"Hmm," gumam Devan, yang tidak terkejut dengan kehadiran orang tersebut. Perlahan orang itu mendekati Devan.
"Tuan Devan, maafkan saya jika aksi kita terlalu berlebihan" ucap orang itu tersenyum miring.
"Terlalu berlebihan? Anda hampir membunuh saya" geram Devan.
"Maaf tuan, namun bukannya terlihat seperti nyata bukan, jika tuan mendapat satu dua luka tembakan" balas orang itu
"Dimana Elvano" tanya Devan dengan suara datar.
"Ada di sebelah sana tuan" balas orang itu. Devan beranjak dari tempat tidurnya, bergegas menemui Elvano.
Ternyata semua kejadian ini, memang hasil dari rencana Devan. Yang menyuruh mereka berpura-pura menyerang Devan, dan Elvano.
"Sudah waktunya," kata orang tersebut tersenyum licik sambil melemparkan kunci kecil ke arah Devan.
Devan menangkap kunci tersebut dengan santai, namun ia sedikit merasa bimbang dengan apa yang akan ia lakukan.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Jangan ragu," kata orang tersebut, sebelum meninggalkan ruangan dengan langkah-langkah yang sama tenangnya.
Dengan perasaan yang tidak pasti, dia memutarkan kunci itu dan membuka pintu dengan perlahan.
Ceklek
Pintu ruangan itu terbuka, Devan melihat adiknya Elvano yang terkulai lemas dengan kondisi tangan dan kakinya terikat.
Devan berjalan ke arah meja di dekatnya, dan mengambil pistol yang tergeletak di atasnya.
Perlahan Devan mendekati Elvano sambil mengarahkan pistol itu ke kepala adiknya yang masih terikat.
"Setelah ini aku akan menjadi pewaris satu-satunya Keluarga Narendra" ucap Devan sambil menarik pelatuk pistolnya, siap untuk menembak Elvano.
Namun tiba-tiba bayangan Kesyha terlintas sekali lagi dipikiran Devan, membuatnya bimbang untuk membunuh Elvano.
"Ck" Devan menghela nafas kasar, dan merasa kesal karena gadis itu menggangu pikirannya.
"Belum juga kau bunuh dia" ucap seseorang yang bersuara dingin perlahan mendekati Devan, dan ternyata itu pria bertopeng.
"Bukan urusan mu" cuek Devan membuat pria bertopeng tertawa
"Hahaha, ya Tuan Devan apa sekarang kau ragu untuk menghabisi adikmu, dan memilih rela jika posisi pewaris Keluarga Narendra jatuh ke tangan adikmu" ucap pria itu tersenyum sinis.
Devan hanya terdiam sambil melihat adiknya yang masih belum sadarkan diri. Ia merasa bimbang, apakah ia harus membunuh adiknya? Atau melepaskannya.
"Waktunya sudah habis, Devan," ucap pria bertopeng dengan suara dingin.
Devan merasa semakin terjepit dalam situasi yang sulit. Ia tidak ingin membunuh adiknya, namun di sisi lain, jika ia tidak melakukannya, dia akan kehilangan posisi sebagai pewaris Keluarga Narendra.
"Sudahlah, Devan. Jangan membuat situasi menjadi semakin runyam," ucap pria bertopeng mulai tersulut emosi
Devan mencoba menenangkan diri. Dia tahu bahwa keputusannya akan memiliki konsekuensi yang besar, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi keluarganya.
Sebentar Devan melirik pria bertopeng, dan mulai mengarahkan lagi pistolnya ke arah kepala Elvano.
"Bagus, tarik pelatuk pistolmu dan segera habisi dia" perintah pria bertopeng "Dan sisanya biar aku yang urus" lanjutnya tersenyum licik
Mata Devan terpejam rapat saat ia mulai menarik pelatuk pistolnya. Dia merasakan denyut jantungnya berdegup kencang, detik-detik terasa seperti berjam-jam.
Namun, ia harus melakukannya Elvano akan menjadi penghambatnya menjadi pewaris satu-satunya Keluarga Narendra jika ia tidak membunuhnya
Dor
Satu tembakan melesat keluar dari pistolnya. Namun peluru tersebut tidak mengenai kepala Elvano.
Tapi mengenai dinding yang berada di belakang Elvano membuat pria bertopeng terkejut melihat hasil bidikan Devan yang meleset.
"Yak, apa yang kau lakukan" kesal pria bertopeng. Devan membuang pistol ke sampingnya
"Sudah bebaskan saja dia" ucapnya dengan suara datar.
"Kenapa? Kau gak sanggup membunuh adikmu? Dan kau lebih memilih jika adikmu yang menjadi akan pewaris Keluarga Narendra" balas Pria bertopeng dengan nada semakin meninggi.
Devan menatap pria bertopeng dengan tatapan tajam. Dia tahu bahwa keputusannya untuk tidak membunuh adiknya, Elvano, akan membuat masalah besar bagi dirinya. Namun kali ini ia memilih untuk melepaskannya
"Aku tidak akan membunuh adikku hanya karena kau menginginkannya. Aku memiliki alasan sendiri untuk melakukannya," ujarnya dengan tenang.
Pria bertopeng merasa frustrasi. Dia tahu Devan adalah pria yang keras kepala, dan tidak akan bergeming meski dihadapkan pada situasi yang sulit.
Namun, dia merasa terganggu dengan keputusan Devan untuk membebaskan Elvano.
"Kau akan menyesal atas keputusan bodohmu itu, Devan. Adikmu akan menjadi ancaman bagi mu, jika kau membiarkannya hidup," desis pria bertopeng sambil menatap tajam mata Devan.
"Biar itu menjadi urusan ku," balas Devan perlahan mendekati Elvano dan melepaskan ikatannya.
Namun tiba-tiba pria bertopeng itu menarik kasar bahu Devan, dan langsung memukulnya.
Bugh
"Argh" ringis Devan kesakitan ketika pria itu memukul perutnya.
"Apa kau lupa dengan perjanjian kita hah?" geram pria bertopeng yang mulai tersulut emosi, ia merasa dikhianati, karena tidak sesuai perjanjian yang mereka sepakati.
"Hmm, saya masih ingat" jawab Devan perlahan bangkit.
"Namun saya memutuskan untuk membatalkannya, bukannya sudah jelas, kalau soal bayaran bukannya kalian sudah menerimanya, dan sisanya urusan saya. Mau saya bunuh dia atau enggak" jelas Devan.
Pria bertopeng merasa semakin jengkel. Dia tidak terbiasa dengan orang yang berani menentangnya.
"Baiklah, aku akan memberikan kesempatan padamu untuk membuktikan bahwa keputusanmu itu benar. Namun, jika kau salah, kau akan menanggung konsekuensinya sendiri,"ucap pria bertopeng sambil meninggalkan ruangan dengan langkah berat.
Flashback off
Devan kembali menenggak segelas whisky hingga habis. Ia masih tidak mengerti mengapa pria bertopeng itu bersikeras, memintanya untuk membunuh Elvano.
Siapa dia? Apa jangan-jangan orang itu yang mengirim surat ancaman kepada ayahnya.
Tapi jika memang orang itu pelakunya, mengapa ia tidak menghabisi dia dan Elvano saat itu juga.
Terlebih kondisi mereka saat itu terluka parah, dan memudahkannya untuk menghabisi mereka sekaligus.
"Argh" ringis Devan memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia bergegas memilih pulang kerumah meski kondisinya masih mabuk.
gak bisa berkata kata banyak