Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Di lain tempat, yakni di bar yang keberadaannya tak terlalu jauh dari kawasan apartemen Glory, hanya butuh 10 menit untuk sampai dengan berjalan kaki.
Sebenarnya bukan hanya karena Edrea tak ingin di salahkan atas insiden yang menimpa Kayle, melainkan Edrea sengaja membiarkan keduanya bersama di apartemen agar hubungan mereka bisa terjalin semakin intens.
Edrea memiliki kepekaan yang cukup tinggi, yang membuat dirinya bisa langsung menyadari perasaan terpendam yang Kayle miliki untuk Anna melalui sorot mata dan perlakuan hangat Kayle terhadap Anna.
Meski usia mereka terpaut cukup jauh kurang lebih 4 tahun, tapi melihat pembawaan Kayle yang cenderung santai dan tenang dalam menyikapi sesuatu, terlebih sikap gantleman Kayle yang selalu bisa diandalkan layaknya seorang pria sejati, membuat Edrea semakin yakin jika Tuhan telah mengirimkan sosok baru yang mampu menarik Anna keluar dari bayang-bayang masa lalunya.
Terlepas dari kemiripan Kayle dengan mendiang kekasihnya Bennedict, Edrea sangat yakin jika semua ini adalah rencana Tuhan, untuk memberikan karibnya kesempatan kedua.
Seperti waktu yang kembali di reset ulang, agar Anna bisa memperbaiki kesalahannya, dan tidak berakhir kembali dengan penyesalan.
“Hmmp … “ Edrea menghela nafas panjang setelah meneguk manisnya cocktail yang berada dalam genggamannya.
Seperti biasa, ia selalu menduduki kursi yang berada dekat dengan meja bartender.
“Yak! (panggil teman prianya yang berprofesi sebagai salah satu bartender di bar tersebut) tumben kau masih disini, ini sudah larut, lihat! Jam berapa sekarang, Anna pasti sedang khawatir menunggumu di apartemen,” katanya seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajah Edrea yang tampak sudah mulai teler, karena sudah menghabiskan 3 gelas minuman beralkohol.
“Ciiih! Khawatir pantatmu! (dengus Edrea dengan nada bicara layaknya seseorang yang sudah mulai kehilangan kewarasannya) dia malah sedang bermesraan dengan kekasihnya sekarang, hahaha!” timpal Edrea yang tak sadar jika kalimat liar nya itu terdengar oleh seorang pria yang tengah menikmati minuman nya sembari sesekali mengetuk jemarinya ke atas meja dengan irama yang beraturan.
Namun begitu indra pendengarannya menangkap sebuah kalimat yang dilontarkan Edrea, gerakan jemarinya seketika terhenti dan lalu mengamati paras kobam Edrea melalui pantulan deretan gelas yang tersusun rapih di lemari kaca yang berada di hadapannya.
“Apa?! Itu tidak mungkin sekali, jangan samakan Anna dengan dirimu,” kecam Vano yang tentu saja langsung memicu emosional Edrea.
“Aish sialan! (pekik Edrea seraya menggeplak kepala Vano dengan kepalan tangannya, layaknya sedang menepuk seekor nyamuk)
Memangnya pikirmu aku orang yang seperti apa huh?! Brengsek!” racau Edrea dengan mata setengah terpejam nya, mencoba untuk tetap tersadar di tengah efek alkohol yang kian mengendalikan akal sehatnya.
“Arggh!” ringis Vano saat hantaman keras itu mendarat di keningnya sampai meninggalkan bekas merah.
“Yak! Sebaiknya kau pulang, kau sudah benar-benar mabuk!” usir Vano yang sangat mengenal sekali bagaimana karakter Edrea jika dirinya telah kehilangan kewarasannya.
“Beraninya kau mengusirku! Huh! (amuk Edrea seraya bangkit dari kursi dengan tubuh sempoyongan layaknya orang mabuk pada umumnya, ia bahkan sampai mendorong cukup keras kursi yang didudukinya sebelumnya sampai kursi tersebut terjatuh)
Kalau gue mau, gue bisa beli bar ini! Sialan!” oceh Edrea yang semakin menjadi jadi, sehingga membuat Vano bergegas berlarian mengitari meja yang menjadi penghalang diantara mereka, untuk menghampiri karibnya yang nyaris tak dapat menopang berat tubuhnya sendiri.
Beruntung tepat saat Edrea hampir terjatuh tersungkur ke belakang, tubuhnya langsung di tangkap oleh Vano. Vano meraih lengan Edrea kemudian di letakan nya di atas tengkuknya sementara 1 tangannya yang lain merangkul erat pinggul Edrea.
“Gue anterin Edrea dulu!” ujar Vano dengan nada lantangnya pada rekan kerjanya yang sedang meracik sebuah minuman di atas meja, rekan kerja wanitanya itu hanya meresponnya dengan anggukan ringan.
“Aishh sial! Berisik sekali!” geram Edrea seraya menoyor jidat Vano dengan telunjuknya, ketika Vano mengeluarkan suara lantangnya tepat di samping telinga Edrea, sehingga membuat telinganya cenat cenut.
“Oke, oke sorry! Berhenti bergerak, lu berat tau!” balas Vano yang lalu mulai menarik langkah sembari sedikit menyeret tubuh Edrea yang sulit berjalan dengan benar.
“Aish! Brengsek! Jadi maksud lo, gua gendut! Anj**** Fu***!!” racau Edrea dalam perjalanannya meninggalkan bar.
Begitu keduanya hampir mendekati pintu keluar, lelaki yang sedang duduk di sudut pun mengeluarkan beberapa lembar kertas uang untuk membayar tagihan alkohol yang ia minum, sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan bar dengan langkah tegas nya.
Meski terlihat acuh namun sebenarnya pria yang saat ini sedang berjalan 5 langkah di belakang Edrea dan Vano diam-diam mengikuti mereka tanpa menimbulkan kecurigaan pada siapapun yang melihatnya. Dengan berpura-pura menerima telfon dan terus berjalan mengikuti langkah Vano yang sedang mengantarkan karibnya pulang.
Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen elite di Kawasan tersebut.
Melihat ada seorang satpam yang sedang kebetulan berada di area depan pekarangan apartemen membuat langkah pria itu berhenti sejenak, karena sudah pasti jika dia nekad menerobos masuk, ia akan menggagalkan rencananya yang ingin memergoki calon istrinya yang katanya sedang berduaan dengan pria lain di apartemen.
Disaat dirinya sudah menemui jalan buntu, seseorang pun muncul menepuk pundaknya.
“Yak! Apa yang lu lakuin di depan apartemen gue?” tanya Matthias seraya menepuk pundak Bastian yang sedang fokus mengamati 2 orang yang sudah mulai masuk ke lobi.
“Apartemen mu?” respon Bastian seraya menaikan alisnya untuk menunjukan kebingungannya.
“Iya, lu lupa? gue pindah kemari minggu lalu! Aish! Gue kira lu kemari buat nemuin gue,” oceh nya yang lalu peri begitu saja meninggalkan Bastian.
“Tunggu! Yak! Gue emang mau ketemu elu, ada yang mau gue omongin,” seru Bastian yang lalu ikut menyusul langkah Matthias menuju apartemen.
“Apaan?” tanya Matthias yang sebenarnya masih ragu akan kedatangan karibnya itu untuk menemuinya.
“Kita bicarakan di apartemen aja, cepat!” seru Bastian seraya menepuk pundak Matthias kemudian sedikit berlari kecil agar bisa menyusul jejak Edrea dan Vano yang sudah lebih dulu masuk.
“Yak! Tunggu dong! Lo bercanda kan! Apalagi kali ini huh?!” racau Mathias yang lalu berlari kecil menyusul Bastian yang sudah lebih dulu bergegas masuk ke lobi.
“Malam pak, hahaha iya, dia teman saya pak, mari,” sapa Mathias pada satpam yang sebenarnya hendak menghentikan laju lari Bastian yang main terobos masuk tanpa ijin, namun ketika pandangannya sampai pada lelaki yang berada di belakangnya, yakni Mathias sang penghuni baru, satpam itu pun mengurungkan niatnya dan malah bertegur sapa dengan Mathias.
“Ohh, iya pak Meti,” respon sang petugas keamanan lengkap dengan senyum ramahnya.
‘Anjir dia masih aja manggil gue Meti,’ dengus Matthias dalam hatinya, sebelum bergegas menyusul karibnya yang telah mendahuluinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Bas!!” panggil Matthias ketika lift yang sedang membawa Bastian serta 2 orang asing yang tak dikenalnya nyaris tertutup, namun beruntung langkah cepat Matthias berhasil menghentikan pintu lift sesaat sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup.
“Aish! Sial! Lu main pergi gitu aja, emang lu tahu dimana unit gue!” protes Matthias dengan nafas yang tersengal-sengal efek dari berlarian menyusul karibnya.
“Augh! Sial! Berisik sekali sih, gue jadi pengen muntah! Oeeekkk! Oeekkk!” racau Edrea usai Matthias menyalurkan dumelan nya pada Bastian.
Suasana di dalam lift pun seketika berubah menjadi penuh ketegangan, ketika mendengar Edrea mengeluarkan suara-suara layaknya orang yang hendak memuntahkan isi perutnya, dengan cepat Bastian menarik langkah menepi hingga menempelkan tubuh besarnya disudut lift, disusul dengan Matthias yang juga ikut menyisi memberikan jarak yang cukup lebar.
“Yak! Yak! Jangan disini! (seru Vano seraya membungkam mulut Edrea yang terus mengeluarkan suara-suara mual tak tertahankan) tahan, tahan sebentar lagi oke, tinggal 1 lantai lagi!” pekik Vano yang tetap berusaha memblokir hasrat mual Edrea dengan telapak tangannya.
Dan sesampainya Vano di lantai yang di tuju, ia pun bergegas keluar dengan sedikit menyeret Edrea yang berada dalam rangkulan eratnya.
Sementara Matthias dan Bastian masih tetap di dalam lift sampai …
“Yak! Yak! Lu mau kemana?!” seru Matthias ketika Bastian mengambil langkah seribu keluar dari lift sebelum kedua pintu itu benar-benar tertutup, meninggalkan Matthias yang tak sempat ikut keluar dan hanya bisa menatapnya sesaat sebelum akhirnya lift kembali membawanya naik ke lantai atas.
Meski butuh perjuangan yang cukup menguras tenaga, namun akhirnya Vano berhasil membawa Edrea pulang dengan selamat.
Vano pun lantas menekan bell setibanya di depan pintu apartemen Edrea dengan harapan Anna akan segera membuka pintu, karena ia sudah benar-benar lelah membopong Edrea sedari tadi.
Tinngg noongg!! Tingg nongg!!
Ceklek! Akhirnya, setelah 2 kali Vano menekan bell, seseorang dari dalam pun membukakan pintu untuknya.
“Astaga!” seru Anna ketika ia melihat karibnya sudah teller dalam rangkulan Vano. “Kenapa kau membiarkannya minum sebanyak ini sih?” dumel Anna kesal.
“Iya sorry, mau gimana lagi, gue larang, malah gue yang kena omel,” timpal Vano.
“Hmmp, yaudah bawa dia masuk cepet!” seru Anna yang lalu menyingkir keluar dari ambang pintu untuk membiarkan Vano masuk dengan membawa Edrea.
Vano pun lantas kembali menarik langkah masuk ke dalam, untuk membawa Edrea menuju kamar nya.
“Hmmp … “ Anna kembali menghela nafas berat nya seraya mencoba menarik handle pintu.
Namun, belum sempat pintu utama tertutup rapat, sesosok penampakan kaki yang terbalut sepatu pantofel berwarna hitam tiba-tiba muncul dan menahan pintu tersebut.
“Kau … “ hanya satu kata yang terucap begitu Anna mengangkat wajahnya dan didapatinya adalah sosok pria yang sama sekali tak pernah ada dalam bayangannya akan muncul di apartemennya.
Bastian memberikan tatapan dingin nya yang tentunya berhasil membekukan tubuh Anna seketika.
“Berani sekali kau bermain-main di belakangku, Annalese!” kecam Bastian.
Bersambung***