Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 23
Rayyan sudah mulai sibuk membuat adonan. Tapi dia tak sendiri, ada David yang mulai hari ini membantunya dan akan segera menggantikannya menyiapkan adonan dan juga mengurus manajemen dapur.
"Selamat pagi David, Rayyan", sapa Wina yang baru datang.
Tak ketinggalan senyum sumringah di wajahnya, dan lirikan matanya pada David.
Rayyan hanya membalas seperlunya. Sementara David sebagai orang baru yang merasa dituntut tahu sopan santun, membalasnya sambil tersenyum ramah. Jantung Wina seketika berdetak seolah menyanyikan lagu nada-nada cinta.
"Lagi nyiapin adonan ya?", tanya Wina basa-basi.
David sudah hendak menyahut, tapi kalah cepat dengan Rayyan.
"Bukan. Lagi nyiapin amunisi, mau berangkat perang", matanya tetap pada adonan di hadapannya.
David hanya menoleh pada Rayyan, sementara Wina mengerutkan dahinya. Bukan apa-apa, Rayyan tak suka kalau ada yang mengganggu pekerjaannya terutama yang tidak berhubungan dengan urusan toko.
"Aku kan cuma basa-basi. Gak boleh?", protes Wina.
"Udah tahu basi, kenapa masih dipake buat ngomong sih. Ya buang aja lah", sahut Rayyan ketus.
Wina terlihat kesal kemudian segera masuk ke ruangan Eun-mi.
"Kamu kenapa? Sepertinya tidak suka sama Wina", David merasakan aura permusuhan dari Rayyan.
"Bukan begitu. Kalau tidak ditegur, dia bakal terus-terusan bicara sama kamu. Aku cuma khawatir kalau adonan tidak bisa siap tepat waktu", sahut Rayyan lagi.
David lalu mengangguk paham dan membenarkan ucapan Rayyan. Lain kali dia akan menyapa Wina seperlunya saja.
"Assalamualaikum. Selamat pagi", sekarang giliran Eun-mi yang datang.
Tak seperti Wina, Eun-mi langsung masuk ke ruangannya tanpa ada basa-basi sedikitpun. Rayyan terhenti dari pekerjaannya karena memperhatikan Eun-mi sampai pintu ruangannya tertutup.
David terkekeh melihatnya.
"Nah.. kalau yang itu kamu pasti tidak keberatan, walaupun dia ajak kamu ngobrol lama-lama. Ya kan?", celetuk David.
Rayyan hanya melihat David sebentar kemudian buru-buru kembali ke kesibukannya semula tanpa sepatah kata pun. David makin terkekeh melihatnya.
"Rayyan!", Eun-mi kembali keluar dari ruangannya.
"Ya?", sahut Rayyan yang segera mendatanginya.
"Biasa.. pesanan hari ini. Urusan pengiriman nanti sama Wina aja, dia sudah kukasih tahu. Aku ada perlu siang nanti, ibunya In-ho mau ketemu", ucapnya seraya menyerahkan catatan pemesanan pada Rayyan.
Rayyan menyambutnya dan melihat isinya sebentar.
"Apa In-ho juga ikut?", tanya Rayyan.
"Gak, beliau mau makan siang berdua saja denganku. Mungkin ada yang ingin dibicarakan", sahut Eun-mi yang sedari tadi hanya menunjukkan ekspresi datar, sepertinya mulai ketularan Asna.
"Kok gak semangat gitu. Kamu sakit? Atau tadi malam begadang lagi?", Rayyan terlihat khawatir dengan keadaan Eun-mi yang terlihat lelah.
"Gak kok, cuma lagi suntuk aja. Mungkin perlu healing tapi sayangnya sekarang lagi gak mungkin", jawab Eun-mi yang kemudian menatap mata Rayyan selama beberapa saat tapi hanya diam.
Rayyan pun bingung, ia merasa ada yang ingin dikatakan Eun-mi tapi sepertinya masih ragu.
"Ehem..", David memecah kesunyian dan menyadarkan Rayyan dan juga Eun-mi dari lamunan mereka masing-masing.
"Oke, nanti aku urus", ucap Rayyan seraya mengangkat catatan pesanan tadi.
Dia segera kembali ke tempatnya semula sambil berusaha menghilangkan rasa canggung yang tadi sempat dia rasakan. Sedangkan Eun-mi hanya melangkah pelan kembali ke ruangannya.
"Kalau begini, bisa-bisa adonan jadi terlambat siapnya", ujar David menyinggung Rayyan.
Rayyan menatapnya dan merasa sedikit malu.
"Maaf", ucapnya tak enak.
David hanya mengangguk sambil tersenyum.
************
Menjelang siang hari, toko mulai terlihat lengang setelah sepanjang pagi ramai dikunjungi pelanggan. Asna akhirnya bisa duduk sejenak sambil memejamkan mata untuk menghilangkan penat kakinya yang terus-terusan dipakai berdiri.
"Bibi..", seorang balita menarik-narik ujung lengan bajunya, membuat Asna tersentak kaget.
Asna memandangnya. Kemudian melihat-lihat kemungkinan siapa orang tua dari pria kecil ini.
"Bibi..", panggilnya lagi.
Asna kemudian meluruskan duduknya.
"Ada apa?", tanya Asna pelan.
Anak itu tersenyum karena akhirnya mendapat tanggapan dari Asna.
"Apa di sini bisa memesan kue ulang tahun?", tanyanya dengan ucapan yang masih terdengar cadel.
Asna tak bisa mengabaikan yang satu ini. Tak tega.
"Tentu saja. Kau bisa minta tolong ibumu untuk mengurusnya", jawab Asna.
"Ayahku saja. Aku tak punya ibu", anak itu menyahut dengan raut biasa.
Tapi sungguh hati Asna yang luluh. Rasa iba tiba-tiba menghampirinya. Anak ini kehilangan ibunya di usianya yang masih sangat dini.
"Kalau begitu, ayahmu juga boleh", ucap Asna sambil mengelus kepala anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Dae-ho! Oh, syukurlah..", seorang pria langsung memeluk dan menggendong anak itu.
Dan setelah melihat Asna, ia malah terkejut bukan main.
"Maaf", ucap pria itu seraya membungkuk, yang tak lain adalah In-ho.
Asna sendiri mau tak mau merasa kaget melihatnya.
"Ayah, bibi itu bilang di toko ini bisa memesan kue ulang tahun. Aku ingin ayah memesannya untukku", pinta anak itu.
Setelah sekian lama, hari ini raut wajah Asna terlihat berubah. Ayah?