Kencan Buta Terakhir

Kencan Buta Terakhir

BAGIAN 1

Pagi ini matahari sepertinya masih betah bersembunyi di balik awan tebal. Tapi tidak bagi Rayyan, dia sudah menjauh dari selimutnya bahkan beberapa jam sebelum waktu subuh tiba. Diseruputnya kopi hitam untuk menjaga matanya tetap terbuka, karena hari sibuk sudah kembali dimulai.

Untungnya tempat kerjanya tak jauh. Rayyan cukup menuruni beberapa puluh anak tangga untuk sampai ke situ. Dia tinggal di gedung yang sama dengan tempat kerjanya. Tepatnya di lantai tiga.

Waktu kerjanya jauh lebih awal dari pekerja lainnya. Tugas utamanya adalah membuat adonan yang merupakan kunci utama dari beberapa produk yang dijual di toko ini.

Sebuah toko roti milik teman sekolahnya saat di Indonesia. Toko ini memang tidak berada di Indonesia, tapi di tengah kota Seoul yang padat dan ramai hampir sepanjang waktu.

Berjam-jam lamanya ia berkutat dengan bahan dan mesin adonan sampai akhirnya orang kedua datang. Seorang gadis bermata indah dengan hijab dan jaket tebal menutupi tubuhnya.

"Assalamualaikum. Selamat pagi", sapanya seraya menunduk.

Rayyan membalas salamnya seraya mengangguk sebelum akhirnya gadis itu masuk ke ruang kerjanya. Ya, dia bukan salah satu yang akan mengolah adonan.

Rayyan kembali meneruskan kegiatannya. Beberapa menit kemudian gadis tadi kembali keluar dari ruangannya kemudian menghampirinya.

"Ini daftar pesanan hari ini, mereka minta dikirim pas jam makan siang. Aku minta tolong kamu mengurusnya, soalnya nanti aku ada perlu keluar", pintanya seraya menyerahkan lembaran kertas pada Rayyan.

Rayyan mengelap tangannya lalu mengambil kertas itu dan membaca isinya. Beberapa detik kemudian ia mengangguk tanda paham.

"Kencan buta lagi?", tanyanya pada gadis itu.

Gadis itu terkekeh lalu mengangguk malas.

"Mereka masih saja memaksa, padahal jelas-jelas bakal aku tolak lagi", sahutnya.

"Apa kamu sudah bilang kalau kamu nyari yang satu keyakinan?", tanya Rayyan lagi.

"Ya iya lah! Tapi kayaknya mereka berharap suatu saat aku bakal menyerah dan akhirnya mau menerima salah satunya", ucap gadis itu seraya menghela nafas.

"Gimana kalau aku aja yang nikah sama kamu?", tawar Rayyan seraya menaikkan alisnya.

Gadis itu terpingkal.

"Baiklah.. baiklah.. bisa diatur... Aku akan bilang ke kakekku kalau kamu mau melamar aku", sahutnya masih dengan tawanya sambil berjalan kembali ke ruangannya.

Rayyan tersenyum pahit memandang kepergiannya. Park Eun-mi, dialah teman satu sekolahnya. Gadis campuran Korea-Indonesia itu yang mengajaknya untuk bekerja di sini. Almarhum ayahnya menikah dengan ibunya saat bekerja di salah satu perusahaan besar cabang Korea di Indonesia. Sebenarnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bekerja, karena perusahaan itu memang milik keluarganya.

Mereka teman akrab sejak SMP hingga SMA, sampai akhirnya Rayyan memutuskan mengambil jurusan kuliner di sebuah sekolah patisserie di Singapura. Sementara Eun-mi melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat.

Komunikasi mereka tak pernah benar-benar putus. Mereka sesekali berbagi informasi tentang kehidupan mereka masing-masing sampai akhirnya Eun-mi mengajaknya untuk mengelola toko roti ini.

Rayyan sempat mengira kalau Eun-mi akan melupakan keyakinan yang dianutnya saat di Indonesia. Cukup mengagetkan karena ternyata Eun-mi malah memutuskan untuk berhijab setahun belakangan. Walau masih sangat jarang, warga muslim di Seoul memang perlahan mulai bertambah, terutama mereka yang berasal dari luar Korea. Dan itu memberi dampak positif bagi Eun-mi.

Tapi bagaimana dengan keluarganya? Tentu saja hal itu masih jadi perdebatan. Apalagi saat mereka bermaksud mencarikan jodoh untuknya. Teramat sulit mencari pemuda muslim asli Korea dengan kriteria ketat dari keluarganya. Alhasil dia terus-menerus dihadapkan pada kencan buta dengan para pemuda kaya namun tak seiman dengannya.

Bagaimana perasaannya? Jenuh, jengah, lelah. Begitulah yang sering dia keluhkan pada Rayyan. Tapi dia tak bisa menolak keinginan kakeknya walau berkali-kali menolak teman kencannya. Entah sampai kapan, Rayyan saja merasa lelah hanya dengan melihatnya.

"Selamat pagi", dua orang yang berikutnya kini sudah hadir dan mulai bersiap mengurus adonan yang sudah selesai disiapkan Rayyan. Diikuti orang ketiga dan keempat. Kini waktunya ia sarapan, perutnya meringis hanya diisi kopi.

"Eun-mi, mau kubelikan sarapan?", tawarnya setelah membuka pintu ruangan Eun-mi.

Eun-mi mengangguk sambil tersenyum.

"Aku mau nasi goreng", sahutnya.

Rayyan menaikkan alisnya.

"Jam segini mau beli nasi goreng dimana?", Rayyan seperti tengah mengingat-ingat tempat yang mungkin bisa didatanginya.

"Aku cuma bercanda Ray... Tiba-tiba aja ingat nasi goreng buatan mama. Sudah lama gak makan itu", sahutnya dengan sorot mata sedih.

"Kamu sudah nelpon mama kamu hari ini?", tanya Rayyan.

Ibu Eun-mi memang masih tinggal di Indonesia. Setelah lulus kuliah, kakeknya menyuruh Eun-mi untuk menetap di Korea. Sekali lagi mereka tak bisa menolak keinginan orang tua itu.

Eun-mi hanya menggeleng.

"Nanti aja, sekalian aku mau cerita pria yang akan aku temui".

"Ya sudah, terserah kamu aja. Jangan lupa titip salamku buat beliau ya", pesan Rayyan, kemudian meninggalkan ruangan Eun-mi menuju lantai tiga, tempat tinggalnya.

"Halo, assalamualaikum Tante"

Rayyan tengah menelpon seseorang.

"Alhamdulillah kami baik-baik saja"

"Iya benar, dan sepertinya dia sudah siap-siap menolak lagi"

Rayyan terkekeh.

"Boleh minta resep nasi gorengnya? Eun-mi tadi bilang dia rindu sama nasi goreng bikinan Tante"

"Baik Tante, makasih. Assalamualaikum"

Beberapa menit kemudian, Rayyan sudah sibuk di dapurnya. Menyiapkan nasi goreng khas Indonesia yang dirindukan temannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!