Melisa, seorang gadis biasa yang sedang mencari pekerjaan, tiba-tiba terjebak dalam tubuh seorang wanita jahat yang telah menelantarkan anaknya.
Saat Melisa mulai menerima keadaan dan bertransformasi menjadi ibu yang baik, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Monster dan makhluk jahat mengancam keselamatannya dan putranya, membuatnya harus terus berjuang untuk hidup mereka. Tantangan lainnya adalah menghindari ayah kandung putranya, yang merupakan musuh bebuyutan dari tubuh asli Melisa.
Dapatkah Melisa mengungkap misteri yang mengelilinginya dan melindungi dirinya serta putranya dari bahaya?
Temukan jawabannya dalam novel ini, yang penuh dengan misteri, romansa, dan komedi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabut hitam
Melisa benar-benar tidak tahu harus bagaimana saat melihat pria yang ia pikir korban adalah pelaku. Jadi bagaimana dengan Raymond, sebenarnya apa yang terjadi? Pikiran Melisa dipenuhi dengan pertanyaan dan kebingungan. Ia merasa seperti berada di dalam sebuah badai yang tidak berhenti, dengan pikiran yang berputar-putar.
Hingga akhirnya, monster-monster itu telah pergi bersama dengan tabib Li yang juga ikut bersama mereka. Suara langkah kaki monster-monster itu masih terdengar di telinga Melisa, seperti suara guntur yang jauh.
"Apa itu yang kau katakan, tabib Li?" tanya Ian padanya, tampak penasaran akan tetapi tersimpan nada ejekan di dalamnya.
Sebenarnya, pria itu sudah tahu jika kemungkinan besar bahwa tabib yang memiliki toko itu adalah penjahat di balik semua ini. Karena pada awal memasuki toko tabib Li, sudah begitu banyak sekali aura sihir terlarang di sana. Jadi tidak heran jika memang pria itu dalangnya.
"Iya...dia tabib Li," ujar Melisa, dengan menundukkan kepalanya menatap kearah tanah. Jujur saja saat ini ia sangat terkejut dengan kenyataan ini.
"Di kemudian hari, kau jangan terlalu percaya dengan orang-orang baik. Karena orang yang terlihat baik kemungkinan besar adalah penjahat yang bersembunyi," sarannya, lalu berdiri.
"Apa anda juga begitu?" tanya Melisa, membuat Ian menatap kearahnya.
"Hahahaha, memang aku terlihat seperti orang baik?" tanya Ian.
"Terkadang," jujur Melisa. Walau pun pria ini sering membuatnya kesal, tapi menurut Melisa, pria ini adalah orang yang baik.
"Hahahaha," tawa Ian, yang menggema ke seluruh tempat ini.
"Asal kau tahu? Aku mungkin lebih jahat dari makhluk-makhluk itu," ujarnya lalu tersenyum dengan penuh misteri.
"Benarkah?" wanita itu tidak takut justru terlihat begitu penasaran.
"Tak," Ian membalikkan tubuhnya lalu menyentil pelan dahi Melisa.
"Aukh," lirih Melisa, walaupun hanya sebuah sentilan kecil tapi itu cukup sakit.
"Aku hanya bercanda," ujar pria itu, lalu berjalan lebih dulu dengan begitu santai.
Sedangkan Melisa dengan segera menyusulnya.
"Tunggu aku..." panggil Melisa.
"Cepatlah jika tidak ingin jadi makanan monster itu," perintah pria itu yang sudah berjalan lebih dahulu tanpa melihat kebelakang.
"Kita mau kemana?" Melisa hanya bisa melihat punggung pria itu dan mengikutinya.
"Hmm, tidak tau," jawab Ian, dengan terus berjalan.
"Dasar aneh," gumam Melisa.
"Bukankah lebih baik kita memikirkan cara keluar dari sini?" sarannya. "Berjalan semakin memasuki hutan bukannya akan sangat berbahaya,"
"Kau sepertinya sangat ingin keluar cepat dari tempat ini. Apa anakmu masih menyusu?" tanya Ian yang menghentikan langkahnya lalu berbalik dan menatap Melisa.
"Hei, apa yang anda lihat! Anakku sudah tidak menyusu lagi, tau!" jawab Melisa, dengan cepat ia menutupi dadanya dengan kedua tangan saat menyadari tatapan Ian padanya.
"Berapa umurnya?" tanya Ian.
Angin bergerak dengan lembut menyapu wajah Melisa yang terdiam sejenak tapi kemudian senyum lebar terpampang disana.
"Saat ini dia umur 4 tahun, tapi dia sangat pintar. Kevinku bahkan sudah bisa menulis namanya sendiri. Dia juga sering membantuku ketika aku memasak," jelas Melisa, ia benar-benar tampak seperti seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya.
Entah mengapa, jika membahas mengenai putranya itu, Melisa selalu merasa sangat bahagia. 'Sepertinya aku benar-benar merindukannya,' pikir Melisa.
"Jadi namanya Kevin, sepertinya kau sangat menyayangi anak itu," gumam pria tersebut yang masih bisa didengar jelas oleh Melisa.
"Tentu saja, aku adalah ibunya. Nyawa pun akan aku berikan untuk anakku. Dia adalah sesuatu yang paling ku syukuri di dunia ini," entah mengapa Ian bisa melihat kilat kesungguhan pada mata biru secara langit itu. Tapi sedetik kemudian ia menyadari jika itu tidak mungkin. Wanita yang ada di hadapannya ini adalah wanita yang tidak punya hati.
'Jika tidak ada Kevin, mungkin sudah dari dulu aku bunuh diri karena frustasi melihat dunia aneh ini,' pikir Melisa.
"Bagaimana dengan suamimu?" tanya Ian, membuat Melisa langsung terdiam.
"Dia sudah tiada," bohongnya, Melisa sebenarnya cukup gugup saat ia harus terus berbohong seperti ini. Tapi, ini semua harus ia lakukan.
"Turut berduka cita untuk itu," ujar pria tersebut lalu kembali memutar badannya menghadap kedepan saat Melisa tidak merespon sama sekali.
'Sebenarnya, ayah dari Kevin masih sangat sehat sampai sekarang, dia adalah pria yang sangat tidak ingin kutemui. Pria itu pasti sudah memiliki keluarga juga kan sekarang. Pastinya begitu, toh itu juga hanya kesalahan semalam jadi dia juga tidak perlu tahu tentang Kevin,' pikir Melisa dengan menatap langit yang tampak biru.
"Tidak apa, lagipula aku masih punya Kevin, jadi itu tidak terlalu menyedihkan," ujar Melisa yang berada di belakang Ian.
"Hmm...apa kalian tinggal di kota ini?" tanya Ian kemudian.
"Kami tidak tinggal di kota, sebenarnya kami tinggal di desa yang cukup nyaman. Hmm, anda mungkin bisa mampir kapan-kapan jika sedang lewat. Maka saya akan menyajikan makanan yang cukup enak," walau pria ini bermulut pedas dan terkadang menyebalkan tapi Melisa yakin jika Ian adalah orang yang baik.
"Mungkin jika aku luang, aku bisa berkunjung," ujarnya.
Dua orang itu sepertinya semakin akrab jika semakin lama bersama. Mereka bisa berbicara dengan santai dan terbuka.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan masing-masing pihak, tapi dari luar mereka benar-benar cocok. Mereka memiliki chemistry yang baik, dan bisa merasakan kenyamanan dan kepercayaan satu sama lain.
Sedangkan saat ini, seorang pria tengah berdiri di depan cermin besar itu. Ia memegang kaca dari cermin itu lalu menghela nafas. Raymond lalu mengambil sesuatu dari dalam kantong bajunya.
Sebuah liontin bintang berwarna hitam telah berada di telapak tangannya. "Tunjukkan arah padanya," gumam pria itu pada liontin tersebut.
Setelah mengatakan hal itu, liontin itu menghilang begitu saja. "Padahal aku sudah minta untuk menjauhi bintang hitam, tapi hal ini tetap terjadi," ujar Raymond, dengan nada yang sedikit kesal dan khawatir.
Di sisi lain, Kevin masih tampak senang karena bisa berkeliling pasar dan menikmati banyak makanan yang dibelikan oleh kesatria itu.
"Paman, kenapa orang itu memiliki kabut hitam di sekelilingnya?" tanya Kevin saat melihat pria berjubah yang saat ini tengah berdiri tidak jauh darinya.
"Itu jubah, nak, bukan kabut," jelas kesatria itu, ia berpikir mungkin saja anak seumur Kevin salah mengartikan kata benda.
"Kevin tahu jika paman itu menggunakan jubah hitam paman, tapi ada seperti asap berwarna hitam yang mengelilinginya," jelas Kevin, dengan penuh keyakinan.
Tanpa kesatria itu sadari, beberapa detik yang lalu mata merah anak itu tampak sedikit bercahaya, lalu berubah menjadi normal kembali.
"Itu hanya khayalan kamu saja nak, paman tidak melihat apapun," ujar kesatria itu sesaat setelah melihat sosok berjubah yang tampak biasa saja.
"Hmm, iya paman," ujar Kevin tanpa ingin berdebat.
Dilihat dari bagaimana orang-orang juga tidak ada yang melihat aneh pada pria itu, Kevin merasa bahwa mungkin memang hanya khayalannya saja.
"Ayo kita berkeliling lagi dan membeli makanan yang banyak untuk Kevin ya," ajak sang kesatria dengan penuh semangat Kevin menganggukkan kepalanya dan tersenyum mendengar perkataan dari kesatria itu.