Dokter Heni Widyastuti, janda tanpa anak sudah bertekad menutup hati dari yang namanya cinta. Pergi ke tapal batas berniat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi pada Bumi Pertiwi. Namun takdir berkata lain.
Bertemu seorang komandan batalyon Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang antipati pada wanita dan cinta. Luka masa lalu atas perselingkuhan mantan istri dengan komandannya sendiri, membuat hatinya beku laksana es di kutub. Ayah dari dua anak tersebut tak menyangka pertemuan keduanya dengan Dokter Heni justru membawa mereka menjadi sepasang suami istri.
Aku terluka kembali karena cinta. Aku berusaha mencintainya sederas hujan namun dia memilih berteduh untuk menghindar~Dokter Heni.
Bagiku pertemuan denganmu bukanlah sebuah kesalahan tapi anugerah. Awalnya aku tak berharap cinta dan kamu hadir dalam hidupku. Tapi sekarang, kamu adalah orang yang tidak ku harapkan pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Kami sangat membutuhkanmu~Mayor Seno.
Bagian dari Novel: Bening
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Bertukar Pesan
Mereka bertiga sarapan dengan suasana yang tampak berbeda pagi ini. Yang pasti lebih ceria, bahagia dan tawa kecil terus mengisi meja makan akibat membahas masalah riuh pagi tadi yang terus diulang oleh Aya.
"Awas kalau Papa diam-diam culik Bundaku lagi. Aya bakal mogok makan pokoknya," ancam Aya.
"Papa makan apa kalau Bunda sama Aya terus?" seloroh Seno tanpa tedheng aling-aling yang seketika mendapat pelototan tajam dari mata Dokter Heni.
"Ya ampun, Bunda sama Mbok Jum kan tiap hari juga masak buat kita semua. Ya sudah Papa makan apa yang tersaji di meja makan. Kan kata Papa, enggak boleh pilih-pilih makanan. Gitu saja kok repot!" sungut Aya.
Dokter Heni seketika menutup mulutnya sendiri. Ia berusaha menahan tawanya. Ia tahu yang dimaksud Seno dari kata makan yakni memakan dirinya. Namun yang ditangkap oleh Aya adalah makan nasi.
Seno pun memasang wajah masamnya walaupun masih samar-samar. Akan tetapi hal itu jelas terlihat oleh Dokter Heni.
Mbok Jum yang melihat riuh ceria pagi ini di kediaman majikannya, sungguh terharu. Lama tak melihat Seno dan Aya tersenyum seperti ini. Bahkan dahulu meja makan di kediaman Seno, jarang sekali ada tawa. Semuanya fokus untuk menyantap makanan yang tersaji di meja makan dalam diam. Hanya berbicara seperlunya saja.
"Semoga kebahagiaan selalu tercurah untuk mereka semua ya Tuhan. Berikan kesehatan dan senyum di wajah keluarga kecil mereka hingga akhir hayat. Aamiin..." batin Mbok Jum seraya tulus mendoakan.
Sarapan pagi usai, saat ini Aya sedang ke dalam kamar untuk mengambil tasnya. Dokter Heni segera berjalan cepat menyusul suaminya yang sudah berada di depan rumah bersiap pergi berdinas.
"Mas," panggil Dokter Heni setengah berteriak.
Beruntung Seno belum melajukan sepeda motornya. Ia pun menoleh ke arah istrinya yang sedang berjalan menuju dirinya. Ia lihat istrinya itu menenteng sebuah tas kecil mirip tas bekal.
"Ini bekal makan siang buat Mas," ucap Dokter Heni seraya menyerahkan tas kecil berisi bekal tersebut padanya.
"Makasih," jawabnya singkat.
Seno masih tertegun dengan apa yang terjadi saat ini, tepatnya interaksi kedekatan antara dirinya dengan sang istri. Sebab, ia tak mengharuskan Dokter Heni membuatkan bekal untuknya. Sejak menikah dengan Manda hingga sebelum dirinya menikah dengan Dokter Heni, ia terbiasa mandiri dengan membeli makan di luar ketika bertugas.
Alhasil mendapat perhatian kecil seperti ini dari Dokter Heni yang berstatus sebagai istrinya, seketika membuat hatinya berdesir. Rasa aneh mulai menyelinap diam-diam di hatinya yang sudah lama dingin dan beku.
Dokter Heni meminta uluran tangan Seno. Seketika ia terkejut kembali karena istrinya itu mencium penuh takzim telapak tangannya untuk salim. Hal yang sebenarnya lumrah dilakukan seorang istri sebelum suami berangkat bekerja mencari nafkah.
Akan tetapi bagi seorang Mayor Seno, hal ini sungguh istimewa. Sebab istrinya ini sama sekali tak menaruh dendam atau marah terhadapnya atas sikap-sikap dirinya ketika awal menikah yang membuat luka di hati. Namun Dokter Heni justru membalasnya dengan tetap berbakti sebagai seorang istri. Walaupun cinta pada hati keduanya masih belum jelas alias samar-samar.
"Hati-hati di jalan, Mas."
"Hem," jawab Seno singkat.
Selepas kepergian Seno bekerja, Dokter Heni mengantar Aya ke sekolah lalu ia pergi bertugas ke puskesmas. Nanti pulang sekolah, Aya akan dijemput oleh Fatih seperti biasa.
☘️☘️
Jam menunjukkan pukul tiga sore, mendadak ponsel Dokter Heni berbunyi yang menandakan ada pesan W A masuk. Ia pun segera membuka pesan yang ternyata dari suaminya.
Kang Kulkas
["Lembur?"]
Nomor kontak Mayor Seno yang tersimpan di ponsel Dokter Heni belum diubah nama. Tetap sama seperti sejak awal ia mendapat nomor pribadi milik suaminya tersebut. Alhasil sejak awal ia sudah menulis nama Mayor Seno menjadi Kang Kulkas.
Wanita Asing
["Enggak. Kenapa, Mas?"]
Kang Kulkas
["Jam empat sore aku jemput."]
Dokter Heni sempat tertegun dengan perubahan sikap Seno padanya.
Apakah sudah ada setitik cinta di hati Seno untuknya atau dirinya yang terlalu banyak berharap ?
Seketika ia menarik napasnya sejenak. Berusaha menetralkan hatinya agar tidak terjebak kembali dalam perasaan yang keliru. Sebab, mencintai seorang Prasetyo saja hingga kini belum bisa ia hapus nama cinta pertamanya itu. Entah butuh waktu berapa tahun lagi agar nama Prasetyo dan cintanya itu hilang dari hatinya.
Kang Kulkas
["Kok enggak dibalas?"]
Mayor Seno mendadak mengirimi pesan kembali padanya karena pesan sebelumnya tak kunjung direspon olehnya. Dokter Heni tak tahu saja jika saat ini Mayor Seno belingsatan cemasnya sehingga mondar-mandir tak karuan di dalam ruangan kerjanya sudah mirip setrikaan sambil membawa dan melihat ponselnya terus-menerus di genggaman tangannya.
Beruntung tak ada anak buah yang sedang melihatnya seperti itu. Jika sampai ada yang memergokinya, pasti Mayor Seno kebingungan menaruh wajahnya di mana. Tingkahnya begitu lucu mirip orang yang pertama kali kasmaran saja. Padahal usianya bukan abege lagi.
"Dia ke mana? Apa lagi ada pasien atau ke kamar mandi? Tadi balasnya cepet. Kok sekarang lama," batin Seno.
Tak lama ponsel milik Seno pun berbunyi. Tanda ada sebuah pesan singkat yang masuk.
Tring...
Senyum seketika terbit di wajahnya setelah ia tahu dari notifikasi bahwa Dokter Heni yang mengirimi pesan. Seno segera membukanya dengan tak sabaran.
Wanita Asing
["Maaf Mas, tadi ke kamar mandi ganti pembalut. Enggak perlu jemput aku. Kan tadi ke puskesmas bawa motor sendiri."]
Dokter Heni terpaksa sedikit berbohong sebetulnya tadi dirinya tidak ke kamar mandi. Ia masih bingung untuk menafsirkan perasaannya saat ini pada Seno, suaminya. Sehingga terlambat membalas pesan dari Seno.
Kang Kulkas
["Biar motor itu nanti Fatih yang urus. Kita pergi naik mobilku ke suatu tempat."]
Wanita Asing
["Ke mana? Sama Aya juga?"]
Kang Kulkas
["Berdua saja. Ada tempat dekat sini kok, enggak jauh. Pengin ngobrol di sana. Aya enggak ikut. Dia di rumah ditemani Fatih dan Mbok Jum. Kamu enggak perlu cemas."]
Wanita Asing
["Nanti kalau Aya ngambek karena enggak diajak, gimana?" Terus kita di sana lama atau sebentar?"]
Mendadak bibir Seno mengerucut ke depan tanpa sadar usai membaca rentetan pesan dari Dokter Heni yang menomorsatukan putri mahkotanya di rumah. Siapa lagi jika bukan Aya. Tanpa disadarinya Mayor Seno mulai cemburu dengan putri kandungnya sendiri yang sudah punya tempat khusus di hati Dokter Heni.
Kang Kulkas
["Sebentar saja. Enggak nginep kok. Tak jauh dari sana ada penginapan sih. Apa kamu mau menginap saja?"]
Mayor Seno sengaja memancing karena hanya ingin sekedar tahu reaksi Dokter Heni.
Wanita Asing
["Jangan menginap, Mas. Kasihan Aya."]
Kang Kulkas
["Baiklah. Satu jam lagi aku jemput."]
Wanita Asing
["Siap laksanakan, Ndan."]
Akhirnya obrolan keduanya melalui pesan singkat tadi selesai juga. Tanpa terasa Seno berubah seratus delapan puluh derajat yakni kebiasaannya. Sebab, ia tipikal orang yang sangat jarang bertukar pesan cukup lama seperti tadi dengan siapa pun.
Seno lebih sering melakukan panggilan telepon langsung atau video call. Namun bersama Dokter Heni, ia masih canggung. Seno berusaha memberanikan diri untuk bertukar pesan. Itu pun setelah ia berulang kali menghapus pesan pertama yang akan ia kirim sebanyak 30 kali sebelum akhirnya benar-benar dikirimnya pada Dokter Heni. Efek grogi dan salting.
Tiba-tiba tangannya terulur pada kontak Dokter Heni di ponselnya. Perlahan tapi pasti Seno mengganti nama di kontak tersebut. Yang awalnya ia sengaja beri nama Dokter Heni di kontaknya yakni dengan sebutan 'Wanita Asing' , kini berubah menjadi 'Bunda Aya❤️'. Membubuhkan tanda hati atau love di bagian akhir.
Tersipu malu atas getaran rasa baru di hatinya. Namun belum berani ia utarakan secara gamblang. Sebab Mayor Seno masih berusaha bangkit walaupun harus terseok-seok. Tak ingin mengalami pahit atas yang namanya cinta pada orang yang salah untuk kedua kalinya. Butuh kehati-hatian.
Sedangkan di puskesmas, Dokter Heni sebenarnya sudah tidak memiliki antrian pasien. Ia sudah membereskan ruangannya juga. Kini dirinya sedang berdiri di balik kaca ruangannya yang ia buka gordennya. Ia tatap hamparan rerumputan hijau yang luas dengan beberapa pohon yang berdiri tegak di halaman belakang puskemas.
"Apakah aku sudah mulai mencintainya? Pras, apa dia memang tulus mencintaiku bukan hanya fatamorgana?" batin Dokter Heni yang masih meragukan perubahan sikap Seno padanya. Ia berusaha menelaah kembali hatinya yang tentu saja nama Prasetyo Pambudi masih bertengger di tahta paling teratas.
Bersambung...
🍁🍁🍁
eh salah hamil maksudnya