Reiner merupakan ketua Mafia/Gengster yang sangat di takuti. Ia tak hanya di kenal tak memiliki hati, ia juga tak bisa menerima kata 'tidak'. Apapun yang di inginkan olehnya, selalu ia dapatkan.
Hingga, ia bertemu dengan Rachel dan mendadak sangat tertarik dengan perempuan itu. Rachel yang di paksa berada di lingkaran hidup Reiner berniat kabur dari jeratan pria itu.
Apakah Rachel berhasil? Atau jerat itu justru membelenggunya tanpa jalan keluar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Khawatir
Marlon terlihat berlari menyusul di belakang dengan wajah khawatir, tapi Reiner mengangkat tangan sebagai jawaban. "Aku tidak apa-apa!"
Marlon sebenarnya sangat cemas, tapi sejurus kemudian ia membungkuk dan menghormati setiap perintah bosnya. Ia lalu pergi di ikuti oleh beberapa anak buah lain yang juga terlihat tak puas dengan permintaan bosnya. Pasalnya mereka khawatir, tapi Reiner malah melakukan yang sebaliknya.
Rachel masih bergetar melihat darah yang mengucur di kepala Reiner. Ada banyak sekali pertanyaan yang tiba-tiba berjibun di kepalanya tapi ia memilih menutup pintu lalu membantu Reiner berjalan.
"Apa yang terjadi, kenapa kepala anda sampai berdarah?" tanya Rachel tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Reiner tak menjawab dan lebih dulu melepaskan pakaiannya yang juga kotor penuh dengan darah. Ia lalu mengambil tissue dan menotolkannya ke kening.
"Bukan apa-apa!" ucapnya seperti seolah tak merasakan apa.
Mata Rachel mengkristal, Reiner memang jahat apalagi saat di awal-awal dia bertemu, tapi melihat dia seperti ini, rasanya hati Rachel menjadi sedih.
"Bukan apa-apa bagiamana, kepala mu terluka. Kau harus memanggil dokter!"
Reiner merampas gagang telepon yang sudah di pegang Rachel. Pria itu hanya ingin istirahat sebentar saja tanpa ada gangguan.
"Bukankah sudah ku beritahu aku tidak suka di lawan?"
Rachel menelan ludah. Terpaksa diam dan kalah. Takut dengan tatapan mata Reiner. Ia lalu membantu Reiner melepaskan sepatu bertapak tebal dengan jalinan tali yang begitu rumit itu dengan hati-hati.
"Akan aku ambilkan air!"
Namun lengan kekar itu malah menarik tangan Rachel hingga membuat perempuan itu jatuh ke dada bidang Reiner yang penuh dengan tato. Rachel berdebar tak karuan.
"Diam lah, aku butuh ketenangan!" kata Reiner sembari memeluk tubuh Rachel. Menghirup aroma rambut yang diam-diam ia sukai.
Rachel jadi diam kaku karenanya, di sana ia melihat buku-buku tangan Reiner yang penuh dengan luka. Lengan kekar pria itu juga lecet-lecet. Ia bisa merasakan getaran jantung Reiner yang juga berdegup kencang. Rachel tiba-tiba menangis.
Merasakan getaran di tubuh Rachel, Reiner mengerutkan keningnya. "Kenapa kau menangis?"
Rachel menarik diri lalu mendudukkan tubuhnya. "Sebenarnya siapa kau ini ? Kenapa hari-hari mu selalu dekat dengan bahaya?" Rachel terisak meluapkan apa yang ada di dalam isi kepalanya.
Reiner tersenyum sumbang, apakah Rachel menangisi keadaannya? Oh common man. Seumur hidup tidak ada yang peduli pada keadaannya.
"Kau kasihan padaku?"
Rachel tak menjawab namun masih menangis dengan air mata yang terus meleleh. Perasaan kasihan ini sukar ia tepikan.
"Aku tidak butuh rasa kasihan dari siapapun. Aku akan selalu baik-baik saja!" ucap Reiner.
Mendengar hal itu, Rachel mengusap air matanya. Ia lalu merayap mengambilnya kotak P3K yang berada diatas dipan ranjang besar itu. Ia bukan ahli medis, tapi ia pernah mendapat perbekalan pertolongan pertama sewaktu sekolah dulu.
"Izinkan aku membersihkan lukamu sebagai bagian dari pekerjaan ku!"
Reiner mengamati Rachel. Ia tak menjawab namun juga tak melarang, membuat Rachel berani melanjutkan tindakannya.
Rachel denan hati-hati membuka kotak hitam dengan ikon tanda + merah yang tercetak timbul. Tangan terulur meraih sebotol cairan lalu membuka tutup botol bertuliskan nama cairan antiseptik.
Reiner memperhatikan tangan lentik itu menuangkan cairan itu ke kapas. Setelahnya Rachel memulai pembersihan. Di sana Reiner sempat meringis sedikit karena rasanya ternyata agak perih.
Dalam hitungan lambat, Reiner tiba-tiba terpaku kala menatap raut sembab Rachel. Perempuan yang ia renggut keperawanannya, dan ia tiduri berkali-kali dengan berbagai gaya itu sungguh benar-benar berbeda dari perempuan yang selama ini ia kenal.
Rachel tak menatap wajah Reiner sebab fokus ke beberapa luka yang menyebar di beberapa bagian tubuh Reiner, namun pria itu malah semakin hanyut dalam buaian seraut sembab yang tampak sedih.
"Awh!" Reiner tiba-tiba mengeluarkan suara mengaduh kala kapas Rachel mengenainya bagian kepalanya. Membuat Rachel menggigit bibirnya takut salah.
"Lukamu agak dalam. Ini harus di jahit!"
Reiner tak bergeming, namun sejurus kemudian menelepon Marlon yang akhirnya datang dengan seorang dokter.
Marlon terkejut karena begitu tiba di dalam teryata Reiner sedang di bersihkan tangannya oleh Rachel. Rachel yang melihat dokter sudah datang seketika turun dari ranjang.
"Luka di kepalanya dalam. Saya hanya membersihkan bagian luar saja!"
Dokter mengangguk. Rachel pun keluar dengan di susul oleh Marlon. Di luar, Rachel duduk dengan terpaku menatap dinding.
"Terimakasih. Tuan terkadang sangat keras pada dirinya sendiri!" ucap Marlon tiba-tiba.
Rachel yang matanya masih sambab terlihat menoleh. "Aku tidak tahu menahu siapa sebenarnya kalian. Tapi jujur, saat aku melihat keadaannya tadi, aku sangat ketakutan!"
Marlon tercenung mendengar ucapan. Ia menatap wajah perempuan itu dengan pikiran lain. Terlihat berbeda dari kebanyakan wanita.
***
Dua hari setelahnya, Reiner terlihat berada di sebuah club. Ia baru saja melakukan transaksi dengan seorang perempuan. Perempuan itu tampak tak berhenti menatap mata Reiner kala sedang berbicara.
"Aku setuju. Aku mau bekerjasama dengan mu!"
Reiner mengangkat gelasnya tanda persetujuan. Sementara Marlon malah lebih tanggap terhadap tatapan mata perempuan itu dan mengungkapkannya kepada Reiner ketika sudah berada di dalam mobil.
"Wanita bernama Kalea tadi sepertinya punya ketertarikan padamu tuan!" kata Marlon di sela kegiatannya mengemudi.
Reiner terkekeh. "Not my type!"
"Tapi dia terkenal melakukan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau!" balas Marlon masih dalam mode serius.
Reiner terlihat menyepelekan. "Hukum itu juga berlaku untuk ku. Tak ada yang perlu kau takutkan!"
Marlon akhirnya diam. Memang kadang Reiner punya seribu satu cara untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Ketika tiba di mansion, Marlon menepikan diri dengan merokok di luar. Tapi baru saja menghisap barang satu batang, terdengar suara ribut-ribut di depan.
"Tidak bisa, pasti Rachel ada di sini kan?" tera seseorang itu.
"Nona, jangan membuat masalah!"
"Buka pintunya, aku mau berbicara dengannya sebentar!"
"Tidak bisa, jangan macam-macam!"
"Ada apa ini?"
Gina dan penjaga gerbang itu kompak menoleh saat suara Marlon tiba-tiba menginterupsi ketegangan. Gina memindai seorang pria berwajah datar yang kini membuang sebatang rokoknya.
"Ah, apa kau pria yang bernama Reiner? Kau menculik Rachael, iya kan?" cecar Gina tanpa tedeng aling-aling.
Mendengar tuduhan itu, Marlon lantas menggerakkan kepalanya memerintahkan penjaga itu untuk membuka gerbang. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Gina yang meledak-ledak.
"Siapa kau?"
"Aku temannya, kau pasti menyembuhkan Rachel di sini kan, minggir aku mau me..."
Marlon menghadang langkah Gina yang impulsif sekali. Wanita macam apa dia, sungguh bar-bar dan tidak punya sopan santun.
"Apa-apaan sih kamu, minggir nggak? Aku nggak takut sama kalian. Kamu berani, ayo sini!"
BUG
"Egghh!"
Marlon harus menahan rasa sakit dengan memejamkan matanya sebab tinjuan Gina yang tiba-tiba itu, ternyata tepat mengenai perutnya. Penjaga yang melihat hal itu hendak membalas namun Marlon mengangkat tangannya.
Gina terlihat kehilangan kesabarannya. Ia puas karena berhasil memberikan tinjauan keras itu kepada pria yang ia sangka Reiner.
"Siapa nama mu?" ucap Marlon masih berusaha menetralisir rasa sakit yang di dera.
Gina menatap kesal Marlon yang malah menginterogasinya. "Heh, aku cuman mau Rachel keluar. Apa penting pertanyaan mu itu sekarang?"
"Katakan siapa namamu?" teriak Marlon yang seketika membuat Gina menelan ludahnya.
"Gina!" jawabnya dengan muka kesal.
Marlon menatap wajah merengut Guna.
"Kembali lah besok jam sembilan pagi. Aku akan mengajakmu bertemu dengannya!"
Slnya si rainer lg mumet sm nenek sihir