Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Status
"Ahhh, sakit!" Gaitsa meringis saat merasakan bagian bawah tubuhnya perih ketika ia mencoba duduk.
Selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya melorot saat Gaitsa akhirnya berhasil duduk dengan benar, memperlihatkan tubuh polos dan beberapa bercak kemerahan menghiasi kulitnya yang putih. Menoleh pada sisi tempat tidur yang kosong, Gaitsa menghela napas, berusaha mengabaikan rasa kecewa yang menyusup begitu saja.
Noda merah di seprai putih yang masih menguarkan aroma mawar serta bekas lilin di setiap sudut ruangan membuatnya kembali mengingat malam pernikahannya.
Wanita berusia dua puluh enam tahun yang baru saja berubah status menjadi istri seseorang itu menggerakkan tubuhnya perlahan, mengernyit saat merasakan nyeri di daerah intim dan pinggangnya. Sial!
Setelah melalui perjuangan panjang untuk bangun dan melangkah ke kamar mandi, Gaitsa akhirnya menatap pantulannya di cermin besar yang menggantung. Wajahnya berantakan.
"Jangan salah paham dengan hubungan ini. Aku tidak pernah berminat menyentuh tubuh kotormu!"
Gaitsa kembali mengingat kata-kata dingin yang dilontar Ravendra, beberapa saat setelah mereka menyelesaikan sesi bercinta.
"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu setelah melakukannya selama berjam-jam?" tanya Gaitsa lemah.
Pria yang tubuhnya basah akibat keringat itu melempar sebuah bungkusan, tepat mengenai wajah cantik Gaitsa yang terlihat kelelahan.
"Kalau tidak dibantu dengan itu, aku mana sudi! Aku harus memberi bukti pada pengacara ayahku bahwa kita benar-benar melakukannya sesuai perintah."
Tatapan jijik dan penuh kemarahan itu dilayangkan Ravendra sebelum memunggungi Gaitsa, meninggalkan wanita berstatus istri yang menatap nanar pada bungkus pil yang kosong.
Obat perangsang. Entah kenapa Gaitsa tahu apa yang dilempar Ravendra. Kalau tidak menggunakan obat, apa Ravendra benar-benar tidak mau menyentuh tubuhnya? Gaitsa akhirnya tertidur setelah menarik napas berkali-kali, berusaha mengabaikan sesak yang menghimpit dadanya. Ia lelah, fisik dan mentalnya tidak baik-baik saja.
"Yah, memang apa yang bisa diharapkan dari pernikahan semacam ini," gumamnya.
Gaitsa tidak akan pernah melupakan pengalaman pertamanya. Hebat, tentu saja. Bagian intimnya yang masih terasa berdenyut dan bengkak adalah bukti betapa gila pergumulan mereka semalam.
Meski mereka sama sekali tidak berciuman seperti hal umum yang terjadi ketika berhubungan intim.
Tidak masalah, entah mereka memulai tanpa sebuah ciuman atau Ravendra yang sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun, Gaitsa tidak harus memikirkannya. Wanita itu hanya harus fokus pada hubungan mereka ke depannya.
"Sekarang aku harus bagaimana, Tuan Mahendra?" tanya wanita itu pada udara, helaan napasnya berat, seolah seluruh beban di dunia ada di pundaknya.
Pernikahan yang didasari sebuah wasiat. Baik Gaitsa maupun Ravendra tidak bisa menolak saat ayah pria itu meminta mereka menikah sebelum kematiannya.
Gaitsa yang sejak kecil sudah tidak memiliki orang tua, juga tidak ada saudara yang mau merawat hingga dititipkan di panti asuhan, harus membalas budi pada keluarga yang membiayai hidup dan pendidikannya. Apalagi pernikahan ini adalah syarat utama untuk Ravendra mewarisi seluruh kekayaan keluarga Dewara.
“Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.”
Hari-hari berlalu sejak pernikahan, tapi Ravendra benar-benar tidak pernah pulang. Gaitsa mengerti kalau pernikahan mereka tidak diinginkan pria itu, tapi bagaimana bisa ia tidak pulang sama sekali setelah meninggalkan Gaitsa di hari pertama?
Wanita itu sudah menelpon ke nomor pribadi dan perusahaan, tapi tidak ada satu pun yang dijawab. Pesan-pesannya diabaikan. Gaitsa memutuskan pergi ke perusahaan sendiri seminggu setelah Ravendra tidak ada kabar, tapi resepsionis mengatakan bahwa pria itu tidak ada.
Banyak hal yang ingin Gaitsa bicarakan. Ia sudah mendapat izin untuk keluar dari Dewara Grup sebagai syarat menikah dengan Ravendra, tentu saja setelah Presdir sebelumnya memberi uang pesangon dan beberapa saham di berbagai perusahaan bahkan penthouse untuknya.
Gaitsa sudah menjual seluruh saham yang ia punya termasuk penthouse dan membeli saham di perusahaan lain serta sebuah apartement yang ia impikan.
Gaitsa ingin kembali bekerja dan merasakan lingkungan baru di luar Dewara Grup. Namun, sudah dua bulan, wanita itu masih belum bisa menemui Ravendra. Besok adalah jadwal wawancaranya di perusahaan baru! Gaitsa harus membicarakan masalah itu bagaimana pun caranya.
Wanita yang mengikat satu rambut panjangnya kembali memasuki kantor pusat Dewara Grup, melihat senyum aneh di wajah resepsionis seperti biasa.
"Apa kali ini tidak ada lagi?"
"Selamat siang, Nona Gaitsa--maksudku Nyonya Gaitsa!" sapa resepsionis yang sudah cukup dikenal Gaitsa.
"Katakan saja apa Ravendra ada di sini," ucap Gaitsa tidak sabar, keningnya berkerut saat melihat wanita di hadapannya malah semakin kikuk.
Wanita bersurai pendek yang berdiri di balik komputer itu menggigit bibir, terlihat ragu sebelum membuka mulut. "Pak Presdir baru saja naik, tapi--"
"Oke!" Gaitsa langsung berjalan pergi, mengabaikan wajah pucat resepsionis yang sepertinya belum selesai bicara.
Wanita itu masih memiliki kartu berwarna hitam yang bisa digunakan untuk membuka pintu ke lantai teratas. Ia bukannya rindu atau ingin diperhatikan, tapi Gaitsa harus tahu apa yang dilakukan suaminya hingga tidak pulang sama sekali. Bahkan satu pesan pun tidak ada.
Gaitsa harus memaksa pria itu untuk membuat beberapa perjanjian tentang hubungan mereka ke depannya. Pernikahan yang terasa seperti penjara abadi. Ia ingin melarikan diri, tapi tidak memiliki alasan kuat untuk meninggalkan suaminya. Kalau Gaitsa meninggalkan Ravendra sekarang, pria itu akan sendirian. Memikirkannya saja entah kenapa membuat Gaitsa tidak nyaman.
"Yang penting temui dia dan buat perjanjian dulu untuk sekarang. Awas saja kalau yang dia lakukan di perusahaan adalah bersantai!" sungut Gaitsa seraya melangkah keluar dari lift, mengernyit saat tidak menemukan siapa pun di balik meja sekretaris. Suara bisikan dari dalam ruangan Presdir membuat wanita itu melangkah mendekat.
Pria berstatus suami yang tidak pulang dan tanpa kabar sejak pernikahan mereka dua bulan lalu, sedang memeluk erat seorang wanita. Baru dua bulan, tapi Gaitsa sudah melihat suaminya memiliki wanita lain.
Gaitsa tersenyum getir saat Ravendra melepas pelukan hanya untuk mencium kening wanita itu. Tatapan lembut dan senyum tulus pria itu membuat pandangan Gaitsa memanas, setetes air mata lolos tanpa ia bisa mencegahnya.
"Sekarang ... apa aku dimaafkan?" tanya Ravendra seraya mengusap lembut pipi wanita di hadapannya.
"Memangnya sudah minta maaf?" Suara serak wanita bersurai panjang yang kembali berada dalam dekapan Ravendra membuat pria itu terkekeh.
"Kamu mau aku minta maaf dengan cara apa? Aku bisa melakukan apa pun," ucap Ravendra sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga wanita yang masih memasang wajah cemberut.
"Jangan pernah meninggalkan sisiku lagi tanpa mengatakan apa pun, setidaknya beritahu ke mana tujuanmu agar aku tidak khawatir. Apa bisa berjanji seperti itu?"
"Aku bisa meninggalkan semuanya untukmu kalau kamu memintanya. Tapi, tolong jangan menangis. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku kalau kamu terluka. Bisa berjanji padaku seperti itu juga?" Ravendra tersenyum saat wanita di hadapannya mengangguk pelan.
Pria itu kembali memberikan kecupan lembut di kening sebelum memindahkan bibirnya ke pipi wanita itu.
Gaitsa tersenyum kecut, berbalik saat dua orang yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya sedang saling menatap. Ia tidak mau merasa patah hati, tapi air matanya jatuh begitu saja.
Rasa sesak yang memenuhi dadanya membuat Gaitsa segera memasuki lift khusus dan terduduk. Kakinya lemas. Jelas ia tidak pernah berpikir akan merasa patah hati, tapi kenapa jantungnya seperti diremat dan sangat menyakitkan?
Senyum lembut, hangat dan penuh ketulusan itu ... Gaitsa tidak pernah mendapatkannya dari pria berstatus suaminya. Tidak pernah sekali pun Ravendra bersikap seperti itu padanya. Pria itu hanya dipenuhi oleh kemarahan setiap kali mereka bersitatap.
Gaitsa tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant