"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tatapan dingin nya
Setelah sampai di ruang makan, Ummi Zainab dengan penuh semangat berkata, "Nih, Ummi udah nyiapin makanan buat anak-anak Ummi, kalian berdua." Senyumnya begitu hangat, memancarkan kasih sayang.
“Mari kita makan! Ayo, Haifa, kamu duduk di samping Ummi,” lanjutnya sambil menarik kursi untuk Haifa.
Haifa mengangguk pelan dan mengikuti Ummi Zainab duduk, sementara Gus Zayn memilih tempat di sisi yang lain, tetap dengan ekspresi dinginnya.
“Wahhh, sedap nih rendang dagingnya Ummi!” seru suara ceria dari arah kamar. Ali, adik Gus Zayn, muncul dengan langkah ringan, wajahnya penuh antusias.
“Ummi nggak ngajak Ali makan, cuma Kak Zayn sama…” ucap Ali sambil berhenti di tengah kalimatnya, matanya langsung tertuju ke Haifa.
“Sama Kak Haifa,” lanjut Ummi Zainab sambil tersenyum. “Ini, Nak Haifa, yang sering Ummi ceritain. Waktu kecil, dia sering main sama Zayn.”
Haifa tersenyum malu, sementara Ali dengan cepat menarik kursi dan duduk di sebelah Gus Zayn.
“Kak Haifa, pasti tadi cuma didiemin doang kan sama Kak Zayn pas di perjalanan ke sini?” tanya Ali polos sambil memiringkan kepala.
“Hehe, iya,” jawab Haifa sambil menahan tawa kecil, merasa terhibur dengan kepolosan Ali.
Ali langsung melirik kakaknya. “Hmmm, Kak Zayn ini! Kak Zayn jangan dingin-dingin amat dong sama Kak Haifa. Kan kalian dulu sering main bareng.”
Gus Zayn hanya menatap tajam ke arah Ali, ekspresi wajahnya tidak berubah, tapi ada sedikit rona di pipinya yang hanya bisa dilihat jika diperhatikan lebih dekat.
“Heh, kalian ini,” sela Ummi Zainab dengan senyum kecil. “Sudahlah, ayo makan dulu. Jangan banyak ribut.”
Suasana perlahan menjadi lebih hangat, dan Haifa mulai merasa sedikit nyaman di antara keakraban keluarga ini, meskipun tatapan tajam Gus Zayn masih sesekali membuatnya salah tingkah.
......................
Setelah selesai makan dan berbincang dengan keluarga Gus Zayn, Haifa berjalan menuju pintu gerbang pondok pesantren putri.
Langkahnya terasa ringan, meskipun dalam hati ia masih memikirkan interaksinya tadi dengan Gus Zayn dan keluarganya.
Dari kejauhan, terlihat mobil Alphard putih yang sudah terparkir di depan gerbang. Abi Hamzah berdiri di samping mobil, melambai sambil tersenyum. “Ayo, Ifa. Gimana? Betah di sini?” tanyanya ketika Haifa mendekat.
Haifa mengangguk kecil, tersenyum. “Iya, Bi. Alhamdulillah, suasananya adem. Tapi tetap aja rasanya sedikit canggung.”
Hamzah tertawa kecil, lalu membukakan pintu mobil untuk Haifa. “Ya wajar lah. Baru pertama datang, nanti juga terbiasa.”
Saat Haifa hendak masuk ke mobil, ia mendengar langkah mendekat dari arah dalam gerbang.
Ia menoleh dan melihat Gus Zayn berdiri di sana, tangannya diselipkan ke dalam saku. Pandangan matanya masih tajam seperti biasa, namun ada sedikit keraguan di sana.
“Haifa,” panggilnya singkat.
Haifa yang sudah separuh masuk ke mobil berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi terkejut. “Iya, Gus?”
Gus Zayn menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada datar, “Hati-hati di jalan.”
Meskipun ucapannya singkat, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Haifa terdiam sejenak. Wajahnya memerah tanpa ia sadari, dan hanya bisa menjawab pelan, “Terima kasih, Gus.”
Hamzah tersenyum kecil dari samping, lalu menepuk pundak Haifa pelan. “Sudah, Ifa. Nanti keburu gelap.”
Haifa mengangguk dan masuk ke mobil, sementara Gus Zayn tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil itu pergi.
Dalam hatinya, ia sendiri bertanya-tanya mengapa ia merasa sedikit aneh saat melihat Haifa pergi.
Di dalam mobil, Haifa duduk diam sambil menatap pemandangan luar jendela. Namun, pikirannya masih terfokus pada Gus Zayn.
“Kenapa rasanya... aneh ya? Padahal kita cuma ngobrol biasa,” gumamnya dalam hati, mencoba mengabaikan perasaan yang mulai muncul tanpa alasan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah perjalanan panjang yang terasa melelahkan, mobil perlahan memasuki sebuah perumahan mewah yang berada di Malang.
Lampu-lampu taman menyala temaram, memancarkan suasana hangat dan nyaman di bawah langit malam.
Abiy Hamzah menoleh ke kursi sampingnya, memperhatikan Haifa yang tertidur lelap dengan kepala bersandar di jendela. Dia tersenyum lembut, lalu dengan suara penuh kasih berkata, "Ifa, kita sudah sampai."
Haifa mengerjapkan matanya, terlihat masih setengah sadar. Dengan tangan mungilnya, ia menggosok matanya yang sembab karena tidur. "Hmm, sudah sampai, Bi?" gumamnya pelan, suaranya serak namun manis.
Hamzah tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Iya, Nak. Udah sampai. Anak Abi capek ya, sampai ketiduran," ucapnya sambil mengusap lembut puncak kepala Haifa, seolah ingin menyalurkan kehangatan dan kasih sayang yang tak pernah habis.
Haifa hanya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. Mereka pun turun dari mobil, dan angin malam yang sejuk langsung menyambut mereka.
Di depan mata mereka berdiri sebuah rumah megah dengan arsitektur modern, dihiasi taman yang terawat rapi dan kolam kecil dengan suara gemericik air.
Hamzah menggandeng tangan Haifa saat mereka melangkah memasuki rumah. "Kita masuk, ya. Kamu harus istirahat,besok kita jenguk nathan lagi," katanya sambil menatap anak semata wayangnya dengan penuh arti.
...****************...
Setelah membersihkan diri, Haifa duduk di atas kasurnya dengan laptop terbuka di pangkuan. Ia mulai fokus belajar, menyusun makalah, dan mencatat berbagai hal penting.
Suasana kamar begitu sunyi, hanya terdengar suara ketikan jari-jarinya di keyboard.
Namun, tubuhnya yang kelelahan perlahan mulai menyerah.
Rasa kantuk datang tanpa permisi. Haifa mencoba melawan, tapi pada akhirnya ia terkulai di atas kasur, tertidur dengan posisi yang masih sama laptop menyala di sampingnya, buku catatan terbuka di sisinya.
Hamzah yang sedang melintas melihat pintu kamar Haifa sedikit terbuka. Ia masuk perlahan, lalu berhenti sejenak di depan pintu, memperhatikan putrinya yang tertidur pulas.
Hati Hamzah terasa hangat melihat betapa gigihnya Haifa dalam belajar, meski sering kali melupakan waktu untuk dirinya sendiri.
Ia berjalan mendekat, duduk di sisi kasur. Dengan lembut, Hamzah meraih laptop Haifa, menutupnya perlahan agar tidak mengganggunya. Sesaat ia menatap wajah putrinya yang terlihat damai dalam tidur.
Ada kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan, namun juga rasa haru karena tahu betapa besar perjuangan Haifa untuk meraih cita-citanya.
“Jaga kesehatanmu, Nak. Ayah selalu ada untukmu,” bisiknya lirih, sebelum menarik selimut untuk menutupi tubuh putrinya.
Dengan senyuman kecil, Hamzah melangkah keluar kamar, meninggalkan Haifa yang kini terlelap dengan tenang, diiringi doa-doa yang ia panjatkan dalam hati.
Setelah Haifa terlelap dalam tidurnya yang lelap, Hamzah tiba-tiba dikejutkan oleh dering ponselnya. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamu'alaikum, Pak Hamzah. Maaf mengganggu malam Anda," suara seorang pria terdengar tegas namun sopan di seberang sana.
"Saya dosen dari UNDA University. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan terkait Haifa az-Zahra Harashta."
Hamzah menggenggam ponsel lebih erat. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. "Iya, Pak. Silakan," jawabnya dengan nada penuh perhatian.
"Begini, Pak Hamzah," suara itu melanjutkan, kali ini dengan nada yang terdengar berat sekaligus penuh penghargaan.
"Haifa terlalu cerdas, terlalu berbakat untuk tetap di sini. Kami sangat terkesan dengan kemampuan dan dedikasinya.
Karena itu, saya ingin menganjurkan agar Haifa dipindahkan ke universitas yang lebih maju dan terkemuka, tempat yang dapat benar-benar mendukung potensinya.
Ini bukan hanya tentang masa depannya, Pak. Saya yakin dia bisa mengharumkan nama kota kita, bahkan lebih dari itu."
Hamzah terdiam sesaat. Ia menatap wajah Haifa yang tertidur damai dari kejauhan, terlihat begitu polos namun menyimpan banyak harapan di dalamnya.
"Dengan segala hormat, Pak," suara dosen itu menambahkan, "Saya merasa Haifa adalah anugerah besar yang tidak boleh disia-siakan."
Hamzah menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah. Namun, ia juga tahu bahwa sebagai seorang ayah, kebahagiaan dan masa depan Haifa adalah prioritasnya.
Dengan suara pelan namun mantap, ia menjawab, "Terima kasih atas perhatian dan dukungannya. Saya akan memikirkannya dengan baik, Pak. Demi Haifa, demi cita-citanya."
Telepon itu berakhir, namun pikiran Hamzah terus berputar. Di satu sisi, ia bangga dengan putrinya. Di sisi lain, ia merasa berat membayangkan kemungkinan harus melepaskan Haifa pergi, jauh dari dirinya lagi, seperti tahun tahun lalu ,saat Haifa di pesantren.
Malam itu, ia hanya bisa berdoa dalam diam, memohon agar keputusan yang diambil nanti adalah yang terbaik bagi putri kecilnya.