Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
Malam itu, Naya berdiri di depan jendela apartemennya, menatap langit gelap yang penuh dengan awan tebal. Pikirannya tak henti-hentinya memutar semua yang baru saja didengarnya dari kesaksian Sienna. Bayangan tentang pria bertopeng hitam itu, suara dinginnya, dan ancamannya, semuanya terasa begitu nyata. Dia menggenggam segelas kopi yang sudah dingin, meski aroma pahitnya seolah membantu menyadarkan dirinya untuk tetap fokus.
"Bayangan Hitam," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya dia sendiri dengar. Dia mengepalkan tangan, wajahnya berubah serius.
"Aku harus menemukannya. Aku harus menghentikannya."
Disisi lain, saat ini tim 1 tengah memeriksa kesaksian yang diberikan oleh Sienna. Evan, Rayyan, Rayna, dan Owen sedang berusaha mencari lokasi yang dikatakan oleh Sienna.
"Kasihan sekali dia. Aku tidak menyangka ini terjadi. Seharusnya kita tidak melibatkan dia dalam kasus ini," sesal Owen sembari mendengarkan kesaksian Sienna yang terdengar ketakutan itu.
Owen mengepalkan tangannya. Dia merasa kesal. Dia tidak mampu berbuat banyak disaat-saat seperti ini. Owen memandang kepada anak buahnya. Betapa beruntungnya dia memiliki anak buah yang cekatan seperti mereka.
"Bagaimana pun caranya, kita harus menemukan tempat persembunyian bajingan itu! Rayyan dan Rayna, kalian harus melacak lokasi yang di sebutkan. Sedangkan Evan, kamu akan meringkas kesaksian dari korban. Semuanya mengerti!"
"Ya, pak!"
Setelah beberapa saat mencari bukti itu, akhirnya mereka menemukan tempat yang dikatakan oleh Sienna.
"Ketua! Kami menemukannya!" teriak Rayyan.
"Bagus! Evan, segera hubungi Naya. Katakan padanya kalau kita sudah menemukan tempatnya."
"Baik."
Disisi lain, Naya masih dengan secangkir kopi di gelasnya. Kemudian teleponnya berdering, Naya langsung meraihnya. Evan.
"Ada apa?" tanyanya cepat.
"Kami memeriksa lagi laporan dari lokasi yang disebutkan Sienna," ujar Evan dari seberang sana.
"Ada kamera pengawas di sekitar pelabuhan yang menangkap seseorang dengan ciri-ciri mirip Bayangan Hitam. Tapi dia tidak lama di sana. Kamera terakhir menunjukkan dia mengarah ke gudang lain, sekitar dua kilometer dari lokasi sebelumnya."
"Dan kau tidak memberi tahu ini lebih awal?" suara Naya terdengar tegang.
"Jangan memarahinya anak nakal! Kami baru memastikannya. Naya, dengarkan aku. Kita harus hati-hati. Dia lebih berbahaya daripada siapa pun yang pernah kita hadapi." Itu adalah suara Owen.
"Aku peringatkan kau untuk hal ini, Naya. Jangan bertindak sendirian!"
Namun, Naya tidak mendengarkan peringatan itu sepenuhnya. Tekadnya sudah bulat.
"Yah, aku tahu senior. Coba kirimkan lokasi itu padaku, aku ingin melihatnya," katanya beralasan sebelum menutup telepon.
"Evan, dia tidak akan mendengarkan ku. Coba kau datangi apartemen nya," kata Owen, lalu mencari sesuatu di lacinya.
"Ini adalah alamat apartemen nya. Sedikit jauh dari kantor kita."
"Terima kasih, ketua. Saya berangkat."
...****************...
Naya tiba di lokasi beberapa waktu kemudian, tanpa menunggu Evan atau siapa pun. Dia tidak ingin kehilangan jejak Bayangan Hitam lagi. Gudang itu terlihat lebih menyeramkan dari yang dia bayangkan. Dinding-dindingnya berkarat, pintu-pintunya retak, dan udara di sekitar tempat itu dipenuhi bau besi tua dan minyak.
Dia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang mulai berpacu. Dalam hatinya, ada perasaan takut, tapi rasa marah dan tekad untuk melindungi Sienna jauh lebih kuat. Dia mengeluarkan senter kecil dari sakunya dan memasukinya dengan langkah perlahan.
"Dia pasti di sini," gumamnya.
Langkah kakinya bergema di dalam ruangan besar itu. Suara detakan kecil terdengar dari atas, mungkin seekor tikus, tapi Naya tetap waspada.
Ketika dia sampai di tengah ruangan, sesuatu terasa berbeda. Udara menjadi lebih dingin, dan dia merasa seperti sedang diawasi. Tiba-tiba, sebuah suara yang dingin dan tenang menyapanya dari kegelapan.
"Jadi, akhirnya kau datang mencariku."
Naya membeku sejenak. Suara itu... suara yang diceritakan Sienna. Dingin, memikat, namun penuh ancaman. Suara itu, ia merasa pernah mendengarkan suara ini, tapi dimana? Dia mengarahkan senternya ke arah suara itu, tapi hanya menemukan bayangan di kejauhan.
"Bayangan Hitam," ucap Naya pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap stabil.
Dari sudut ruangan yang gelap, sesosok pria bertopeng perlahan muncul. Topeng hitamnya tampak memantulkan sedikit cahaya, sementara tubuhnya yang tinggi menjulang membuat Naya merasa kecil.
"Anda sangat gigih ya, detektif," katanya dengan suara rendah.
"Aku tidak menyangka detektif seperti mu akan datang sendirian. Berani sekali."
Naya mengangkat dagunya, mencoba menunjukkan keberanian, meski jantungnya berdegup kencang.
"Aku tidak takut padamu," katanya tegas.
Pria itu tertawa pelan, suara tawanya terdengar seperti ejekan. "Oh, kau harus takut. Aku bukan musuh biasa. Kau tahu itu, kan?"
Naya mengepalkan tangannya. "Apa yang kau inginkan dari Sienna? Kenapa kau menyerangnya? Apa tujuanmu?"
Bayangan Hitam melangkah lebih dekat, tapi tetap berada di luar jangkauan Naya.
"Ah, wartawan itu ya? Dia terlalu dekat dengan sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui. Begitu pula kau, Naya. Tapi aku harus mengakui, aku terkesan dengan keberanian kalian. Sayang sekali, keberanian itu akan membawa kalian pada kehancuran."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak membunuh Sienna?" tantang Naya, mencoba memancing jawabannya.
Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada dingin, "Membunuh itu mudah, Naya. Tapi menanamkan rasa takut yang tak pernah hilang? Itu seni. Sienna akan hidup dengan bayangan tentangku di setiap sudut pikirannya. Sama seperti kau, mungkin, setelah malam ini."
Naya tidak tahan lagi. Dia maju beberapa langkah, menyalakan senter tepat ke arahnya. "Aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi! Berhenti bermain-main, Bayangan Hitam. Kau harus bertanggung jawab atas semua yang telah kau lakukan!"
Namun, pria itu hanya berdiri di sana, tanpa gentar. "Aku bertanggung jawab, Naya. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bertanggung jawab atas keadilan di dunia yang kacau ini. Kau pikir aku monster? Tidak. Aku hanya pahlawan yang kalian salah pahami."
"Pahlawan?" Naya nyaris tertawa sinis.
"Pahlawan macam apa yang membunuh orang tak bersalah dan meninggalkan mereka dengan tanda aneh di tubuh mereka?"
Bayangan Hitam mendekat, hingga dia hanya beberapa meter dari Naya. "Tanda itu bukan sekadar simbol, Naya. Itu adalah pengingat. Mereka yang mati adalah bagian dari sistem yang busuk, orang-orang yang menghancurkan hidup banyak orang demi keuntungan mereka sendiri. Aku membersihkan dunia ini, satu persatu."
Naya merasakan campuran emosi di dalam dirinya. Marah, bingung, tapi juga terkejut mendengar penjelasan itu. "Dan kau pikir kau berhak menjadi hakim? Kau pikir kau lebih baik dari mereka?"
Dia tidak menjawab langsung, hanya menatap Naya dari balik topengnya. "Aku tidak mencari pengakuan, Naya. Aku hanya menjalankan apa yang harus kulakukan."
Naya merasa percakapan ini tidak akan membawa ke mana-mana. Dia butuh menangkap pria ini sekarang, atau dia akan kehilangan jejaknya lagi. Dengan cepat, dia meraih borgol di pinggangnya dan melangkah maju.
"Cukup bicaranya. Kau ditahan!" serunya.
Namun, sebelum dia bisa mendekat, Bayangan Hitam mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, semacam granat asap kecil. Dia melemparkannya ke lantai, dan dalam hitungan detik, ruangan itu dipenuhi asap tebal.
"Naya, kau selalu terlalu lambat, dan akan selalu terlambat," suara dinginnya terdengar di antara asap.
"Kita akan bertemu lagi. Tapi saat itu, mungkin kau tidak akan seberuntung ini."
Naya terbatuk-batuk, mencoba menahan napas saat dia berusaha mencari pria itu di tengah asap. Tapi ketika asap mulai menghilang, dia sudah tidak ada lagi.
Naya berdiri di tengah gudang yang kosong, napasnya terengah-engah. Dia merasa frustrasi, marah pada dirinya sendiri karena membiarkannya lolos lagi. Tangannya mengepal begitu erat hingga kukunya hampir melukai telapak tangannya.
"Aku hampir menangkapnya," gumamnya, suaranya dipenuhi kekecewaan.
"Aku hampir menangkapnya..."
...****************...
Disisi lain, Evan mengumpat didalam mobilnya. Beberapa menit sebelumnya, dia sudah sampai di alamat Naya. Tetapi, dia tidak menemukan seniornya itu didalam. Dia langsung bergegas menuju ke lokasi yang mereka cari tadi.
"Sial!" umpatnya memukul setir mobil.
Beberapa menit setelah Bayangan Hitam menghilang, Naya berdiri di tengah gudang, napasnya masih terengah-engah. Asap dari granat kecil yang digunakan pria itu perlahan menghilang, meninggalkan aroma yang menyengat. Gudang itu kembali sunyi, menyisakan hanya gema detak jantungnya yang berpacu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari pintu masuk. Evan muncul, wajahnya tegang, sorot matanya penuh kecemasan. Dia segera menghampiri Naya, dan sebelum Naya sempat mengucapkan sepatah kata, suara Evan meledak.
"Senior, apa yang anda pikirkan?!" serunya, suaranya bergema di dalam gudang kosong itu.
Naya tertegun. "Evan, aku–"
"Tidak! Jangan katakan ‘aku’ padaku!" potong Evan, menunjuk ke arahnya dengan ekspresi marah.
"Anda pergi ke tempat ini sendirian tanpa memberitahu siapa pun! Kau tahu betapa berbahayanya pria itu, dan kau tetap nekat?! Apa kau sadar apa yang bisa saja terjadi?"
Naya membuka mulut untuk menjawab, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya, dia juga tertegun melihat lelaki ini berbicara padanya tak ada bahasa formal lagi. Semarah itukah dia? Wajah Evan memerah karena marah, sesuatu yang jarang dia tunjukkan.
"Kau pikir ini film thriller? Pergi sendiri tanpa rencana, tanpa dukungan? Kau tidak hanya membahayakan dirimu sendiri, Naya, tapi juga penyelidikan kita! Jika sesuatu terjadi padamu, apa yang harus kukatakan pada Sienna?!"
Mendengar nama Sienna, Naya langsung merasa jantungnya mencelos. Dia menundukkan kepala, menyadari kesalahannya.
"Aku hanya... aku hanya ingin menangkapnya, Evan," katanya pelan, suaranya penuh rasa bersalah.
"Tapi kau tidak menangkapnya, kan?!" Evan kembali memotong, nadanya tajam.
"Kau malah membuat dirimu terjebak dalam situasi yang bisa membunuhmu. Apa kau tidak memikirkan kami? Apa kau tidak memikirkan bagaimana rasanya jika kami kehilanganmu juga?"
Naya mengangkat kepalanya, menatap Evan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tidak terbiasa melihat rekannya yang biasanya tenang menjadi seperti ini.
"Evan, aku... aku tidak berpikir sejauh itu," gumamnya.
"Itu masalahnya, Naya! Kau tidak berpikir!" Evan menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya.
"Hei! Bukannya itu sedikit kasar dengan hanya memanggil namaku saja?" ujar Naya tak terima.
Evan menghiraukannya. "Kau selalu berpikir kau bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi kenyataannya, kita adalah tim. Aku ada di sini untuk membantumu. Kau tidak perlu menanggung semua ini sendirian."
Kata-kata itu menusuk hati Naya. Dia menyadari bahwa Evan benar. Dia memang sering memikul beban ini seorang diri, berpikir bahwa itu adalah tanggung jawabnya. Tapi sekarang, melihat betapa marah dan khawatirnya Evan, dia merasa bersalah.
"Aku... aku minta maaf," katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tulus.
"Aku hanya merasa aku harus melakukan ini. Aku tidak ingin ada orang lain terluka karena Bayangan Hitam."
Evan menatapnya, amarah di matanya mulai mereda, digantikan oleh rasa lelah dan kekhawatiran.
"Aku mengerti, senior. Tapi kau tidak bisa mengorbankan dirimu sendiri untuk ini. Kita tidak akan bisa menangkapnya jika kau tidak ada. Jadi, lain kali, jangan pernah lakukan ini lagi, mengerti?"
Naya mengangguk perlahan, menatap Evan dengan rasa terima kasih. "Aku janji."
Evan menghela napas sekali lagi, lalu menepuk bahu Naya dengan lembut. "Ayo kita keluar dari sini. Kita akan memikirkan langkah berikutnya bersama."
"Dan maaf atas ketidaksopanan saya barusan. Saya tidak bisa mengendalikan emosi saya tadi," ucap Evan tulus pada Naya.
Naya merasa canggung, dia menggaruk lehernya. "Yah, tidak masalah. Sebenarnya itu juga salah ku. Aku juga tidak menyangka, kalau kau akan se-emosi itu padaku."
"Maaf."
"Tidak apa-apa. Ayo kembali ke kantor. Ada yang harus ku laporkan," jawab Naya masih dalam keadaan canggung.
"Yah."
...To be continue ...