Ayundya Nadira adalah seorang istri dan ibu yang bahagia. Pernikahan yang sudah lebih dari 20 tahun mengikat dirinya dengan suami dengan erat.
Pada suatu sore yang biasa, dia menemukan fakta bahwa suaminya memiliki anak dengan wanita lain.
Ternyata banyak kebenaran dibalik perselingkuhan suaminya.
Dengan gelembung kebahagiaan yang pecah, kemana arah pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Andila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Dukungan dan Pengorbanan.
Ayun merasa sangat senang saat melihat Ezra. Beberapa saat yang lalu dia memeriksa putranya ke dalam kamar, dan terkejut saat beberapa pakaian Ezra tidak ada di dalam lemari. Dia berusaha menghubungi Ezra, tetapi ponsel laki-laki itu malah tidak aktif.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bermaksud untuk-"
"Tidak apa-apa. Ibu tau kalau kau merasa jenuh dan bosan di rumah ini, tapi lain kali tolong kabarin Ibu kalau kau sedang pergi," ucap Ayun sambil melerai pelukannya. Dia menatap putranya dengan hangat, membuat Ezra menatap dengan sedih.
"Tapi Nak, demam adikmu tidak turun juga. Apa sebaiknya kita bawa ke rumah sakit aja?" ucap Ayun sambil melihat ke arah Adel.
Ezra beranjak mendekati Adel lalu menyentuh keningnya. "Iya, Bu. Kita harus segera membawa Adel ke rumah sakit."
Ayun menganggukkan kepalanya lalu segera menyuruh Ezra untuk memanggil taksi, dia sendiri bergegas mengambil beberapa barang Adel yang akan di bawa ke rumah sakit.
Setelah menunggu beberapa saat, Ezra kembali lagi menemui sang ibu dan mengatakan jika taksinya sudah menunggu di depan. Kemudian mereka segera membawa Adel masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Ayun terus memeluk Adel dan menggenggam tangan putrinya itu. Dia mengusap lengan Adel saat kembali mendengar gumaman dari sang putri, sepertinya Adel mengigau karena disebabkan demamnya yang lumayan tinggi
Ezra yang duduk di samping Adel terus memperhatikan ibunya dengan getir. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya sang ayah bersama dengan mereka. Lalu, apa jadinya jika tadi dia tidak pulang? Dia yakin ibunya pasti akan kebingungan seorang diri.
"Apa dia ada di rumah simpanannya?" Ezra mengepalkan tangannya penuh emosi karena ayahnya tidak pulang ke rumah. "Lihat saja, aku pasti akan membalas mereka seperti apa yang telah mereka lakukan pada ibuku." Dia memalingkan wajahnya ke arah jalanan karena tidak mau sang ibu melihat kemarahannya saat ini.
Tidak berselang lama, sampai juga mereka semua ke tempat yang dituju. Ezra segera menggendong Adel dan membawanya keluar dari mobil, sementara Ayun bergegas membayar biaya taksi mereka dan berlalu mengikuti langkah Ezra.
"Dokter!"
Suara Ezra menggema di lobi rumah sakit membuat beberapa perawat dan Dokter yang bertugas segera menghampiri mereka, tentu saja dengan membawa banker.
"Baringkan pasiennya di ranjang," perintah Dokter tersebut membuat Ezra langsung membaringkan adiknya.
"Anak saya terkena demam tinggi, Dokter. Sudah beberapa jam berlalu tapi demamnya tidak turun juga," ucap Ayun memberitahu. Tangannya tetap menggenggam tangan Adel yang sedang tertidur.
"Baiklah, kami akan segera memeriksa keadaan putri Anda, Buk."
Dokter dan beberapa perawat segera membawa Adel ke ruang pemeriksaan dengan diikuti oleh Ayun dan juga Ezra. Mereka berdua lalu menunggu di depan ruangan yang di tempati Adel, karena tidak diperbolehkan untuk ikut masuk ke dalam.
Ayun mendudukkan tubuhnya ke kursi yang ada di tempat itu. Helaan napas lelah terdengar dari mulutnya, dia lalu berdo'a agar keadaan Adel baik-baik saja.
"Ayo kita pergi saja dari rumah itu, Bu!"
Deg.
Ayun langsung melihat ke arah Ezra saat mendengar ucapan putranya itu. "Apa, apa yang kau katakan, Nak?" Dia bertanya dengan bingung.
"Apa Ibu masih mencintai ayah, sehingga tidak mau untuk pergi?" tanya Ezra dengan lirih. Kedua tangannya saling bertautan, dengan pandangan tertuju pada lantai.
Ayun diam sejenak untuk memahami apa yang putranya katakan, dia lalu menggenggam kedua tangan Ezra membuat laki-laki itu melihat ke arahnya.
"Apa yang kau katakan benar, Nak. Tidak ada gunanya lagi ibu tetap berada di rumah itu saat ayahmu sudah tidak menginginkannya lagi, dan posisi ibu juga sudah tergantikan oleh yang lain. Tapi, ibu juga tidak bisa hanya asal pergi begitu saja, Nak. Apalagi ibu tidak bisa meninggalkan kau dan Adel," jawab Ayun dengan lirih. Matanya sudah berkaca-kaca dan siap untuk menumpahkan cairannya.
"Apa yang Ibu pikirkan? Jika Ibu pergi, tentu saja aku dan Adel juga akan ikut pergi, kami akan ikut ke mana pun Ibu membawa kami."
Ah, Ayun benar-benar merasa terharu saat mendengar ucapan Ezra hingga air matanya tidak bisa lagi dibendung. Namun, dia tidak boleh gegabah dan harus memikirkan masa depan mereka juga.
"Maafkan aku, Bu. Selama ini aku tidak pernah mendengarkan ucapan Ibu, aku selalu melawan Ibu bahkan sampai membenci Ibu yang selalu saja mengatur hidupku." Ezra berucap dengan lirih. Terdengar jelas penyesalan disetiap kata-katanya, bahkan bibirnya ikut bergetar dengan apa yang dia katakan.
Ayun mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata, lalu menatap putranya dengan hangat.
"Tidak apa-apa, Nak. Semua anak pasti akan melakukan hal seperti itu, tapi bagi seorang ibu semua itu tidak penting dibandingkan dengan kebahagiaan anak-anak mereka," ucap Ayun sambil mengusap punggung tangan Ezra.
Ezra menganggukkan kepalanya dengan dada yang terasa sesak. Dia berjanji tidak akan lagi membantah apapun yang ibunya katakan, juga akan menjadi anak yang sukses dan membuat ibunya merasa bangga.
"Tapi Nak, sebelum itu ada yang ingin ibu sampaikan padamu," tutur Ayun dengan pelan, berharap agar putranya tidak merasa terkejut.
Ezra mendonggakkan kepalanya dan menatap sang ibu dengan sayu. "Katakan saja, Bu. Aku akan mendengarkan semuanya."
Ayun tersenyum simpul sambil tetap memberikan tatapan hangatnya. "Ibu, Ibu akan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama."
Deg.
Ezra tersenyum getir saat mendengar ucapan sang ibu. Memang seperti inilah akhir dari rumah tangga kedua orang tuanya, yang memang harus berpisah akibat perbuatan bej*at ayahnya sendiri.
Namun, tetap saja hati Ezra terasa seperti sedang tertusuk sesuatu yang membuat dadanya sakit dan sesak saat mendengar kata cerai keluar dari mulut sang ibu.
"Aku akan mendukung apapun keputusan Ibu, dan memang sudah seharusnya Ibu menceraikan ayah," jawab Ezra dengan lirih.
Ayun menatap putranya dengan sendu. Walau bibir Ezra berkata akan mendukungnya, jelas dia melihat rasa sakit dan kecewa dari kedua mata putranya itu.
"Maafkan ibu, Nak. Maafkan Ibu."
•
•
•
Tbc.
Ayo Vote untuk mereka 🥰