Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Di dalam kamar sederhana Sabrina, suasana tampak begitu mencekam. Sabrina duduk di sudut tempat tidur, tubuhnya terisak-isak. Sementara itu, di sampingnya duduk seorang wanita yang tampak begitu tegas—Gina, ibunya. Mata Gina menatap penuh keprihatinan pada anaknya yang sedang terisak.
"Mak... aku nggak mau, Mak. Ini semua salah paham! Aku sama dia nggak ngapa-ngapain!"
Sabrina mencoba berontak, menolak takdir yang tiba-tiba ditimpakan padanya.
Gina menangkupkan kedua tangannya lembut, berusaha menenangkan.
"Nak, dengar baik-baik. Ini bukan soal kesalahan besar. Tapi ini tentang harga diri kamu, Nak. Kamu sudah pernah sekamar dengan laki-laki. Kita harus menjaga harga diri sebagai perempuan!"
Sabrina terisak lebih keras, menjerit dalam kekalutan.
"Tapi aku nggak mau, Mak! Aku takut... Aku takut nikah sama dia, Mak! Aku nggak tahu sifatnya seperti apa, kelakuannya gimana. Bagaimana kalau pernikahan ini justru membuatku menderita? Aku takut, Mak!"
Gina menghela napas panjang, mencoba bersabar menghadapi amukan anaknya. Dia dengan lembut menatap mata Sabrina, memberikan penjelasan penuh cinta.
"Nak, mama tahu kamu merasa ini terburu-buru. Tapi dengarkan mama dulu. Jalanin dulu. Kalau memang setelah beberapa waktu kalian tidak cocok, yaudah nggak apa-apa. Tapi mama berharap, pernikahan ini bisa langgeng. Mama berharap kalian bisa saling menjaga dan saling mencintai. Sampai maut memisahkan kalian."
Sabrina menolak keras, kepalanya berguncang seolah menolak dengan sekuat tenaga.
"Tapi aku nggak mau! Aku nggak mau, Mak! Aku takut akan membuatku menderita! Aku takut sama dia!"
Gina tetap sabar, mencoba meyakinkan anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Jangan khawatir, Nak. Mama percaya Aiman adalah lelaki yang baik. Dia menjalani taaruf ini dengan serius. InsyaAllah, dia bisa menjadi imam yang baik untukmu. Kamu harus percaya, Nak. Cobalah untuk menerima. Jalani dulu, lihat apakah memang jalan ini yang terbaik untukmu."
Gina lalu bangkit, pergi ke lemari pakaian dan mengambil baju gamis cantik yang sudah disiapkan sejak lama. Baju itu adalah hadiah untuk Sabrina, yang memang rencananya akan digunakan untuk menghadiri suatu acara—sekarang dipakai untuk acara ijab kabul dadakan ini.
Dia dengan lembut mendekati Sabrina, membantunya berdiri.
"Sudah, Nak. Kita tidak bisa lagi menolak. Ini jalan yang harus kita tempuh. Pergi ke majelis, dan hormatilah proses ini. Berdoa, dan semoga Allah memberikan petunjuk kepada kalian."
Sabrina tetap meronta, tetapi tubuhnya lemah menghadapi ketegasan ibunya. Ia masih berusaha keras menolak.
"Aku nggak mau, Mak! Aku tetap nggak mau! Nanti gimana nasibku kalau aku menikah sama dia? Aku nggak tahu dia seperti apa, aku nggak mau begini, Mak!"
Gina tetap bersabar, dengan lembut mengusap air mata anaknya.
"Nak, mama tahu ini berat. Tapi percayalah, ini adalah takdir. Allah telah memilih jalan ini untukmu. Jalani dengan tenang, dan berdoa semoga kebahagiaan menyertai kalian."
Gina kemudian mengambil jilbab cantik dari lemari, dan dengan lembut membenarkan di kepala Sabrina. Dia juga memberikan sentuhan lembut pada wajah anaknya, memoles make-up tipis agar Sabrina terlihat sedikit lebih segar, tidak terlalu polos.
"Mari, Nak. Kita akan hadapi ini bersama. Percayalah, dengan kesabaran dan ketulusan, insyaAllah pernikahan ini akan baik-baik saja."
Sabrina terisak, tetapi dengan hati yang berat mulai menerima kenyataan yang ada. Dia pasrah, karena melawan bukanlah solusi lagi.
"Aku takut, Mak... Aku takut... Aku nggak tahu apa yang akan terjadi denganku..."
Gina mendekap anaknya, memberikan pelukan hangat penuh kasih sayang. Sambil merangkul, dia terus menasihati anaknya dengan lembut.
"Jalani saja, Nak. Ini bukan akhir dari semuanya. Kita serahkan semua kepada Allah. Mari berdoa, semoga Allah memberikan ketenangan dalam hati kalian."
Dengan langkah berat, Sabrina mengikuti ibunya keluar dari kamar, mengenakan baju gamis yang telah dipakainya, dengan hijab menutupi kepala.
...➰➰➰➰...
Di dalam ruang tamu rumah Pak Abiyan, suasana tampak begitu penuh tekanan. Terlihat Pak RW Dimas, Pak RT Kabay, serta Pak Penghulu Imron duduk mengelilingi ruang yang sederhana, penuh tanda tanya. Di situ juga hadir Abiyan yang duduk dengan wajah serius, sementara Aiman duduk dengan pakaian yang sama seperti pertama kali ia datang ke rumah Sabrina. Tepat saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, subuh sudah lewat, dan sebagian besar orang sudah kembali dari masjid. Ruangan itu terasa hening, hanya ada gemerisik suara angin dari jendela yang terbuka.
"Pak Abiyan, kenapa kami tiba-tiba dipanggil ke sini? Ada acara apa subuh-subuh begini?"
"Iya, betul! Apa maksudnya ini? Apa benar ada Ustadz Aiman di sini? Apa benar-benar ini pernikahan Sabrina?"
"Sebenarnya ada apa? Kenapa begini dadakan? Apa benar yang mempelai itu Ustadz Aiman?"
Abiyan mulai berbicara, tetapi ia tidak membongkar aib yang sebenarnya. Dengan tenang, Abiyan mengatakan sesuatu yang jauh dari kebenaran,
"Sebenarnya ini sudah direncanakan cukup lama. Sabrina dan Ustadz Aiman sudah beberapa kali berkomunikasi lewat jalur taaruf. Mereka sempat bertemu dan menjalani proses taaruf sekitar dua bulan."
Pak Dimas, Pak Kabay, dan Pak Imron saling bertatapan, tidak langsung percaya begitu saja. Mereka lantas menatap Aiman yang terlihat tetap tenang, kemudian mengangguk membenarkan ucapan calon mertuanya.
"Benarkah yang Pak Abiyan katakan? Apa ini semua benar?"
"Ya, memang benar yang Pak Abiyan katakan. Saya sudah menjalani taaruf kurang lebih dua bulan dengan Sabrina. Dan saya ingin serius dalam hubungan ini, ingin bertanggung jawab."
Ketiga orang itu akhirnya mengangguk setuju, meski wajah mereka tampak sedikit ragu.
"Kalian tahu sendiri bagaimana anak saya, Sabrina itu. Kelakuannya suka nggak terduga, di luar nurul. Makanya Ustadz Aiman mau mempercepat hubungannya."
Di sudut ruangan, ada sosok Haidar yang berdiri dengan wajah masih kebingungan. Ia tertegun, mencoba memahami kejadian yang ia alami sekarang. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya.
"Taaruf? Sejak kapan Aiman taaruf sama cewek macam Sabrina itu? Aku nggak pernah tahu!"
Haidar mencoba berpikir normal, meski pikirannya terus bergolak.
"Tapi kenapa nggak diramaikan saja? Kalau seperti ini, pasti akan banyak salah paham. Pak Abiyan tentu tahu maksud saya, kan?"
"Bukan saya menuduh atau memfitnah, tapi... kebanyakan 80 persen orang akan berpikir yang bukan-bukan."
"Saya memang maunya begitu, Pak Penghulu. Tapi Sabrina nggak mau acara pernikahan dipublikasikan dulu. Dia hanya mau nikah sederhana saja dulu, yang ramai-ramainya nanti di kota."
"Padahal Ustadz Aiman sendiri sudah menawarkan untuk mengadakan resepsi di kampung dan di kota. Tapi Sabrina yang nggak mau. Namanya juga yang menjalani acaranya mereka berdua, saya tidak bisa memaksakan."
"Iya, benar itu, Om. Saya hanya mengikuti keinginan Sabrina. Saya tidak bisa memaksanya untuk membuat acara besar."
"Ya, Aiman benar. Saya sebagai orang tua tentu harus mengikuti keputusan anak saya."
"Kalau begitu, kita mulai saja. Tolong dibantu oleh Pak Abiyan untuk melancarkan proses ini."
Dengan ucapan itu, suasana menjadi lebih serius. Para bapak-bapak mulai bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul yang sederhana.
Di sisi lain, di dalam kamar Sabrina, tangisnya masih membuncah. Prosesi ini tak mungkin bisa dibatalkan lagi.