Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melupakan masa lalu?
Setelah dua putaran renang yang melelahkan, Evelin keluar dari kolam dengan tergesa-gesa. Dia harus segera berganti pakaian untuk kelas selanjutnya yang tidak bisa ditunda. Karena buru-buru, dia lupa mengancingkan kemeja bagian atasnya, menyisakan bagian itu terbuka, menampilkan kulit putihnya yang mulus.
Saat berlari di koridor, Evelin tidak menyadari kesalahannya. Rambutnya masih basah, dan tetes air menghiasi pipinya. Saat melewati kelas di lantai bawah, dia bertemu Gunner yang baru saja keluar. Gunner terkejut, namun diam sejenak.
"Kamu sangat ceroboh." Gunner tiba-tiba bicara. "Baru selesai berenang, ya? Lihat, bagian ini terbuka." Dia menunjuk ke kancing atas yang terbuka. Evelin merasa malu dan cepat menutupnya.
"Terimakasih."
Evelin berpaling untuk pergi. Namun, Gunner dengan cepat menarik tangan gadis itu, membuatnya berputar kembali.
Gunner menatap Evelin dengan mata yang tajam dan kerutan di dahinya semakin dalam. "Evelin, aku ingin kita kembali seperti semula. Aku seniormu dan kau juniorku. Aku akan melupakan apa yang kau katakan di taman malam itu. Berhenti bersikap dingin padaku."
Suara Gunner meninggi, menarik perhatian orang-orang di sekitar. Semua mata tertuju pada mereka, menonton dengan rasa penasaran. Evelin membeku, terkejut dan bingung.
Evelin menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan keras. Amarah dan frustrasi memuncak dalam dirinya. Dia sangat ingin meninju wajah Gunner yang tidak mengerti batasan. "Lepaskan aku, senior," katanya pelan, hampir tidak terdengar, dengan suara yang bergetar.
Gunner menarik dagu Evelin, membuatnya terkejut. Mata gadis itu berkaca-kaca, wajahnya menyedihkan, menunjukkan kesakitan yang tersembunyi.
Gunner terkejut melihat reaksi gadis itu. "Maafkan aku.."
Dia melepaskan tangannya, membiarkan Evelin pergi. Gadis itu segera menjauhkan diri, meninggalkan Gunner dengan rasa penyesalan dan kebingungan. Koridor yang sunyi kini dipenuhi keheningan yang tidak nyaman.
Gunner menunduk. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Dia tidak mengerti, sebenarnya apa yang harus dia lakukan? Dia hanya ingin hubungannya dengan Evelin kembali seperti semula sebelum dia meninggalkan Jerman dan pindah ke Australia.
*
*
*
Setelah kelas berakhir, Gunner berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu Evelin dengan harapan bisa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di koridor. Dia memandang sekitar, berharap melihat siluet Evelin. Namun, gadis itu tak kunjung muncul.
Sebaliknya, banyak gadis lain mendekatinya, tersenyum dan berbicara dengan nada manja. Kerumunan gadis-gadis cantik dari berbagai sudut sekolah mengelilingi Gunner. Dia yang populer itu terlihat santai, namun matahari terbenam di balik senyumnya. Dia mencari Evelin di antara kerumunan, tapi dia tidak ada.
Gadis-gadis itu berusaha menarik perhatiannya, memperebutkan posisi di sampingnya. Gunner tersenyum sopan, menjawab pertanyaan mereka dengan ramah. Namun, pikirannya tetap terfokus pada Evelin.
Tiba-tiba, salah satu gadis itu menyentuh rambut Gunner. "Kau terlihat sedih, Gun. Apa yang terjadi?"
Gunner tersenyum tipis. "Tidak ada yang terjadi. Hanya lelah saja."
Kerumunan itu terus bertanya, tapi Gunner tetap berpura-pura tidak ada yang salah. Sementara itu, dia terus memandang sekitar, berharap Evelin muncul.
Gunner terus menunggu, tapi Evelin tak kunjung muncul. Kerumunan gadis-gadis mulai membubarkan diri, meninggalkan Gunner sendirian. Dia menghela napas, merasa kecewa.
Tiba-tiba, dia melihat Evelin keluar dari gerbang sekolah, berjalan cepat menuju halte bus. Gunner segera mengikuti, berlari pelan untuk tidak menarik perhatian.
"Evelin, tunggu!"
Evelin berhenti, namun tidak menoleh. "Apa lagi, senior?" tanyanya dingin.
Gunner berhenti di depannya, dengan napas terengah-engah. "Aku ingin bicara tentang tadi siang. Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Evelin akhirnya menoleh, matahari terbenam di balik tatapannya. "Tidak perlu. Aku sudah tidak peduli."
Gunner merasa sakit mendengar kata-kata itu. Dia ingin membuat Evelin memahami, tapi gadis itu sudah berlalu.
Gunner menatap punggung Evelin yang semakin menjauh. Perasaan kecewa dan penyesalan membanjiri hatinya. Dia merasa gagal memahami Evelin, dan gagal membuat Evelin memahaminya.