Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alat Untuk Membalas Dendam
Terhitung sudah genap satu minggu Nero pergi ke London. Selama itu pula, Raina tak tahu kabar tentangnya. Jangankan merespon telepon, menjawab pesan secara singkat saja tidak. Nero seolah lupa bahwa Raina adalah istrinya, sehingga tak ada kepedulian, bahkan sebatas memberi kabar.
"Apa Om Nero pernah menghubungi Anda?" tanya Raina kepada Norman—kepala pelayan di rumah Nero. Dia sudah tak sabar menunggu ketidakpastian kabar dari sang suami, makanya nekat bertanya pada pria itu, yang ia yakini sebagai orang kepercayaan Nero.
Norman mengangguk. "Pernah, Nona."
"Apa saja yang dia katakan?"
"Hanya bertanya mengenai kabar rumah dan kantor, Nona."
Raina menarik napas panjang. "Bisa tolong bantu saya? Tolong hubungi Om Nero, saya ingin bicara dengannya."
Norman sedikit terkejut. Namun, sesaat saja sudah kembali menenangkan diri.
"Soal itu ... maaf, Nona, saya tidak bisa. Di sana Tuan Nero sangat sibuk, tidak ada waktu untuk memegang ponsel."
"Tapi ...." Raina ingin melayangkan protes, tetapi tak tahu harus bagaimana merangkai kalimatnya.
"Biasanya Tuan Nero yang menghubungi saya, itu pun tidak sering. Jadi, sekali lagi, maaf, saya tidak bisa menuruti permintaan Anda, Nona," ucap Norman dengan hormat. Dari kalimatnya, seolah dia bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Raina.
"Baiklah." Raina mengembuskan napas panjang. Sedikit kesal, tetapi tak bisa membantah keras. Mau tidak mau harus menerima keputusan Norman. Ahh!
Karena tak ada harapan lagi untuk meminta bantuan Norman, Raina lantas bangkit dan kembali ke kamarnya. Di sana, ia kembali merenung, membayangkan hari-hari lalu ketika Nero masih bersikap lembut dan manis padanya.
"Sebenarnya apa kesalahanku, Om?" batin Raina sambil menatap keluar dari jendela kamar.
Malam tak terlalu kelam. Bukan hanya bintang yang bertabur indah, melainkan juga lampu kota yang memberi gradasi remang benderang untuk alam. Sayangnya ... sinar-sinar itu tak berhasil menyentuh hati Raina. Baginya, suasana selalu kelam semenjak kepergian Nero.
Sementara itu, di tempat yang berbeda Nero juga sedang merenung seorang diri. Di salah satu hotel mewah di Kota London, Nero duduk di sofa kamar sambil memandangi foto wanita yang ada di ponselnya. Bukan Raina, melainkan wanita dewasa cantik menawan yang selama ini menempati hati Nero. Walau kehadiran wanita itu telah menorehkan luka yang tidak sederhana, tetapi tak dipungkiri rasa cinta masih ada jua, sama besar seperti dulu, ketika mereka merajut kasih dalam asmara yang sejalan.
"Tidak kusangka, ternyata kamu begitu kejam," batin Nero sambil memejam, mengingat kembali bagaimana dirinya dikhianati oleh wanita itu.
'Aku butuh waktumu, Nero, bukan hanya uang dan hadiah-hadiah mewah. Aku sudah berulang kali mengatakan itu, tapi kamu tetap mementingkan pekerjaan. Maaf ... dia bisa memberikan waktu dan perhatian yang kumau. Jadi, aku nggak bisa meninggalkan dia. Aku udah beneran jatuh cinta dengannya.'
Nero mengembuskan napas kasar ketika mengingat kembali ucapan wanita yang dia cintai, yang kala itu memilih mengakhiri hubungan dengannya demi lelaki lain. Benar-benar sial!
Belum tuntas lamunan Nero terkait masa lalu, tiba-tiba ada panggilan masuk di ponselnya—dari Norman.
"Ada apa?" tanya Nero ketika telepon sudah terhubung.
"Nona Raina, Tuan. Barusan Nona kembali menemui saya, menanyakan kabar Anda sekaligus meminta tolong untuk membantu menghubungi Anda," lapor Norman dari seberang sana.
Mendengar itu, Nero tersenyum miring meski ia tahu Norman tak mungkin melihatnya.
"Tuan, apa tidak sebaiknya Anda telepon Nona? Beliau selalu menunggu kabar dari Anda, Tuan," sambung Norman.
"Aku yang lebih tahu apa yang harus kulakukan. Kau cukup jalankan tugasmu. Paham?" sahut Nero dengan tegas.
"Baik, Tuan. Maaf, saya sudah lancang."
Tanpa menyahut kata maaf dari Norman, Nero langsung mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Lantas sambil memasukkan ponselnya ke saku celana, Nero beranjak dari duduknya.
"Raina ... sebentar lagi kamu akan tahu cinta itu sesakit apa. Jangan harap aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kamu ... hanya menjadi alat untukku membalas dendam," gumam Nero dengan mata yang memicing. Terpancar jelas kebencian dan amarah dalam kilatan mata hitam itu.
Tak berselang lama, Nero kembali merapikan jas yang membalut tubuhnya. Di kota itu hari masih siang, dan dia punya agenda untuk bertemu dengan Morgan dan Kaisar. Membahas kembali kerja sama yang dipastikan mampu mendongkrak bisnisnya.
Bersambung...