Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 14 — Red Dress
"Ini, kau harus mengenakan gaun ini untuk ke pesta, itu permintaan Kak Faza!" kata Vanya sambil memberikan tiga bag dengan logo brand terkenal di sisi depannya. Bag itu berisi gaun, heels hingga aksesoris yang harus Ashana kenakan.
Yah, walaupun di dalam lemarinya sudah ada gaun beserta tas dan sepatu yang sepertinya sudah disiapkan Faza, tetapi Ashana tetap menerimanya.
"Thanks, Van. Tapi di mana dia? Kenapa bukan dia sendiri yang memberikannya padaku?" tanya Ashana bingung. Ia memang sudah tahu bahwa ia harus menemani Faza untuk ke pesta pernikahan salah seorang temannya.
Ashana hanya tidak menyangka bahwa orang yang mengantarkan gaun padanya adalah Vanya, orang yang ia tahu sangat membencinya.
Vanya mendelik, "Kakak ada urusan, jadi dia datang lebih awal. Cepatlah bersiap, Kakak memintaku untuk datang bersamamu. Aku tak mau sampai telat ke pesta pernikahan itu," ujarnya sambil berlalu pergi dengan mengangkat ponselnya.
Ashana memerhatikan setiap gesture yang dibuat Vanya, setiap gerakannya, caranya bicara dan gaun hitamnya yang terlihat anggun membuat Ashana mengingat sosok dirinya sendiri tujuh tahun lalu. Gadis yang masih penuh emosi, ambisi dan keluguan.
"Sepertinya aku memang tidak punya pilihan lain, kan?" gumam Ashana sambil melirik bag di tangannya. Setelah itu, ia mulai bersiap, mengenakan gaun berwarna merah terang dengan mata yang terbelalak sempurna. "Apa ini? Gaunnya kenapa begini?"
Ashana benar-benar tak habis pikir dengan cara pikir Faza. Membuka bag yang lain, kedua matanya makin membola. "Setinggi ini? Apa dia gila?! Dia mau membunuhku ya?" geram Ashana melemparkan heels setinggi 10 senti ke lantai.
"Faza benar-benar sudah gila!" pekik Ashana terduduk di tepi kasur. Ia menatap gaun merah terang itu dan juga heels yang teronggok mengenaskan di lantai. "Dia pasti ingin mempermalukanku di sana. Baiklah, jika itu yang dia inginkan, maka rasa malu-lah yang akan ia dapatkan."
•••
Vanya sedang asyik memainkan ponselnya, bertukar pesan dengan seseorang. Ia terhenti saat Ashana memanggilnya.
Perempuan itu berdiri di hadapannya dengan gaun yang dipilihkannya secara asal, meski begitu, Ashana tetap saja kelihatan cantik dan elegan dalam balutan gaun berwarna merah terang itu.
Vanya harus mengakuinya, meski gaun itu terlihat begitu memeluk lekuk tubuh Ashana dan membuat perempuan dengan riasan tipis di wajahnya itu terasa tidak nyaman, tapi Ashana memang cantik. Saat memikirkan bahwa kakak iparnya tetap cantik dalam hal apapun membuatnya cukup iri.
"Kau sudah siap? Ayo berangkat, Kak Faza sudah menunggu di sana." Keduanya lalu berjalan menaiki mobil yang sudah diatur Faza untuk mereka.
Ashana merasa canggung, ia rasa, inilah pertama kalinya mereka pergi hanya berdua saja. Dan tampaknya, kecanggungan itu turut dirasakan Vanya.
Terbukti dengan gerak tubuh Vanya yang sesekali melirik ke arahnya, namun tak sekali pun ia membuka suara, melainkan sibuk memainkan ponselnya.
•••
Faza terkesima melihat penampilan Indira sekarang ini. Dalam balutan gaun berwarna hitam yang elegan dengan bordir berwarna gold di beberapa bagiannya, membuat Indira bersinar terang layaknya bulan malam ini.
"Kau sangat cantik malam ini, Indira," pujinya tulus dengan senyum menawan, membuat rona merah di pipi Indira bersemu.
Perempuan itu menepuk pelan lengan Faza lalu terkekeh pelan, "Kau ini selalu saja menggodaku, Faza. Aku sangat gugup sekarang ini, tahu?" katanya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi.
"Wajar jika kau gugup, ini kan malam pesta pernikahanmu, jangan terlalu tegang dan cobalah untuk santai. Setelah calon suamimu datang, kau pasti tak akan gugup lagi."
Meski Faza memberinya nasihat panjang, tapi itu tak lantas menghilangkan rasa gugup yang menyelimuti Indira saat ini. Ia hanya tersenyum kaku menanggapi ucapan pria itu. Bahkan hingga saat ini, Indira masih saja merasakan getaran dan perasaan yang sama untuk Faza.
"Sebenarnya aku sedikit ragu," kata Indira berikutnya.
Faza menoleh, meletakkan satu tangannya di saku, lalu ia berkata, "Apa yang membuatmu ragu?" tanya Faza penasaran.
"Bagaimana jika ternyata aku tidak pernah mencintainya dan justru mencintaimu?" Dengan sendu Indira menatap Faza yang kini tengah bingung. "Aku sangat gugup, tolong bawa aku kabur dari sini!"
Reaksi Faza menunjukkan bahwa ia terkejut, "Apa? Apa maksudmu? Itu tidak mungkin, Indira! Kau gila! Kau tidak boleh melakukannya dan aku pun tidak akan pernah melakukan hal konyol itu!" sentak Faza menepis tangan Indira dari lengannya.
Raut wajah Indira yang seakan tersiksa berhasil membuat Faza mengiba, ia raih kedua bahu perempuan itu dan berkata dengan lembut, "Dengarkan aku, Ind, kau—"
Belum sempat Faza menuntaskan ucapannya, Indira sudah tertawa sampai menutupi mulutnya dengan tangan. "Astaga, perutku sakit!" ungkapnya masih terbahak. Menertawai Faza yang masih saja dengan mudah ditipunya.
"Kau mengerjaiku lagi, Indira? Kau ini, astaga!" Faza pun ikut tertawa lepas. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia bisa tertawa selepas itu. "Kau sangat keterlaluan, kau hampir membuatku terkena serangan jantung."
"Setelah bertahun-tahun kita berteman, kau masih saja mudah dijahili ya?"
"Terserah kau sajalah!" kesal Faza membuang muka.
Indira berusaha menghentikan tawanya, sudah menjadi kebiasaannya mengerjai Faza dan kali ini ia sangat puas melakukannya. "Maafkan aku, tapi aku sungguh-sungguh soal perasaanku padamu. Kau tahu itu kan?" ujarnya dengan santai.
Faza berdeham pelan, mencoba menciptakan suasana di antara mereka tetap normal. "Kau juga tahu bahwa itu tak akan mungkin terjadi," balasnya setengah berbisik namun tetap dapat didengar Indira.
Perempuan itu mengangguk dengan sendu, jika bukan karena ingin melepaskan Faza dari hatinya, Indira pasti akan memilih bertahan dan menunggu sampai perasaan pria itu pada mantan kekasihnya hilang.
"Tentu saja aku tahu, hatimu sudah diisi oleh gadis itu dari dulu hingga sekarang, kau masih tetap mencintainya kan?"
Faza tak ingin menjawab pertanyaan itu karena ia sendiri pun bingung dengan perasaan yang dimilikinya untuk Ashana. Semakin berada di jarak dekat dengan Ashana, Faza justru merasa perasaan cinta itu kembali timbul tanpa ia sadari.
"Apa kabarnya ya sekarang?" tanya Indira dengan sengaja. "Sudah lama sekali aku tak mendengar kabarnya, sejak kejadian … maksudku, aku cukup merindukannya."
Faza mendongak, cukup terusik dengan pertanyaan itu, tapi Indira tahu bahwa sebenarnya Faza menyukai obrolan ini. Obrolan tentang Ashana Lazuardi.
Meski Faza tak pernah mengungkitnya dan cenderung selalu menghindari topik tentang gadis itu. Tetapi, matanya selalu penuh binar saat nama Ashana disebut tanpa sengaja.
"Dia … kurasa dia baik-baik saja," kata Faza kemudian dengan senyum samar. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa ia telah menikah dengan perempuan yang disinggung Indira itu.
"Hei, tunggu dulu. Bukankah itu dia? Apakah aku tak salah lihat?" tanya Indira tak yakin. Ia menegaskan pandangannya ke arah dua orang perempuan yang baru saja masuk. "Itu sungguh dia! Dia datang dengan Vanya. Apa kau mengajaknya ke sini?"
Kedua rahang Faza terkatup rapat, tak bisa berkata-kata saat melihat penampilan Ashana yang sangat mencolok malam ini. Tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya. "Dia benar-benar ingin membuatku marah," geram Faza tertahan.
luknut. ketemu indiana jones sekali langsung teler . huuhhhhh