Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutang yang Tertinggal
Bab 23
"Eh, Tuan. Kaget tahu."
Zayden tiba-tiba bertolak pinggang di hadapan Elara.
"Hah, ada apa?" Elara kebingungan. Dia sedikit mundur dari duduknya.
"Ulangi sekali lagi."
"Yang mana?"
"Hem, tak apa kalau lupa." Lalu Zayden langsung menerkam Elara.
"Ih..." Elara melakukan perlawanan, tapi percuma saja.
Setelah puas membuat istri kecilnya sesak napas, Zayden berdiri dengan senyum tipis. Dia merasa puas, Elara tidak bisa berkutik.
"Iya- iya. Zayden, kamu bikin aku kaget. Udah, cukup?" Elara pergi dari sana.
Lalu Zayden menyusulnya. "Mau ke mana? Ganti baju sana."
"Hah? Kita mau ke mana memang?"
"Nurut saja. Ada hal penting."
Elara tahu tidak bisa menolak permintaan suaminya. Dia langsung ke kamar untuk mengganti pakaian. Namun, sebelum membuka lemari, Elara membuka ponsel dulu. Dia menghubungi Maria, untuk menanyakan baju mana yang sepantasnya dipakai.
Ok. Sesuai saran Maria, Elara kini terlihat lebih dewasa dan dia langsung menemui Zaidan yang berada di ruang depan.
"Sebentar, sepertinya aku harus kita lihat dulu." Zayden melangkah agak cepat, meninggalkan Elara
"Ya ampun giliran aku udah siap, dia malah ngebom aku pikir orang kaya kebiasaannya nggak kaya rakyat jelara. Tiap mau pergi harus mules dulu."
###
Akhirnya Elara menunggu, duduk di sofa dan memainkan ponselnya. fokus elara sebenarnya terpecah. Meskipun tangan dan matanya aktif, dia seperti melamun.
Tak lama, ponsel yang dipegangnya bergetar. Terlihat kontak muncul di layar. Tangan Elara gemetar sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. Entah kenapa dia seperti orang kaget, padahal itu kan ibunya.
“Assalamualaikum, Bu,” ucap Elara pelan.
“Waalaikumussalam. Elara, gimana kabarmu, Nak?” suara Bu Nira terdengar ceria, tetapi ada nada ragu di baliknya.
Elara menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tidak akan sebatas menanyakan kabar. “Baik, Bu. Alhamdulillah,” jawabnya.
Setelah basa-basi tentang kesehatan dan bulan madu anaknya, Bu Nira akhirnya masuk ke inti pembicaraan. “Nak, Mang Jajang tadi datang lagi ke rumah. Dia nanya soal sisa uang perjanjiannya.”
Elara terdiam. Suara hatinya ingin memprotes, tetapi kenyataan bahwa keluarganya membutuhkan bantuan, membuatnya tidak bisa marah. “Berapa yang Mang Jajang minta sekarang?”
“Dia mau sisa 18 juta itu segera dilunasi. Kalau enggak, dia bilang mau cerita ke orang-orang soal pernikahan kamu sama Zayden,” ujar Bu Nira dengan suara pelan, seperti takut ada yang mendengar.
Elara menggigit bibir bawahnya. “Bu, aku belum punya uang segitu. Bisa nggak tunggu sebentar lagi?”
“Dia nggak mau, Nak. Katanya minggu depan harus sudah ada. Kalau nggak, dia nggak akan tinggal diam,” jawab ibunya, terdengar cemas.
Elara memejamkan mata. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, mencoba menahan air mata. Setelah berjanji akan mencari solusi, ia mengakhiri panggilan dengan janji akan menelepon kembali.
Namun saat menutup telepon, ia menyadari bahwa Zayden sedang berdiri di belakang sofa yang didudukinya, mengawasi pembicaraan Elara. Tatapan pria itu tajam, seolah mencoba membaca apa yang baru saja terjadi.
“Kamu kelihatan tegang. Siapa yang menelepon?” tanya Zayden.
“Oh, cuma Ibu,” jawab Elara cepat, sambil mencoba tersenyum.
“Apa yang dibicarakan?” Zayden melangkah mendekat, tangan dimasukkan ke saku celananya.
“Cuma... kabar keluarga,” jawab Elara dengan nada yang berusaha biasa saja.
Zayden mengangkat alis. “Kabar keluarga sampai membuat wajahmu sepucat itu?”
Elara terdiam. Dia tahu Zayden bukan orang yang mudah dibohongi.
“Elara, aku tanya sekali lagi. Apa yang barusan terjadi?” suaranya terdengar lebih tegas sekarang.
Elara menunduk, tangannya meremas ujung kemeja yang ia pakai. “Ibu bilang... ada orang yang minta uang. Mang Jajang. Dia itu yang jadi wali nikah aku... dengan perjanjian dibayar 20 juta. Tapi... Ibu baru bayar 2 juta.”
Zayden mematung sejenak mendengar pengakuan itu. Tatapannya berubah serius. “Jadi, kalian berutang uang untuk bayar wali nikah? Dan sekarang dia mengancam keluargamu?”
Elara mengangguk pelan, merasa malu.
Zayden tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Wajahnya sulit ditebak, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang tajam. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, menelepon seseorang.
“Mikael, malam ini juga pergi ke alamat yang akan aku kirimkan. Bawa uang tunai 20 juta. Pastikan semua urusan selesai di sana. Jika ada yang mencoba bermain-main, laporkan padaku,” ujarnya dengan nada dingin.
Elara menatap Zayden dengan mata melebar. “Apa yang kamu lakukan?”
Zayden menatapnya sekilas. “Menyelesaikan masalah. Keluargamu sekarang adalah tanggung jawabku.”
“Tapi aku—”
“Jangan bilang kamu bisa menyelesaikannya sendiri,” potong Zayden. “Orang seperti pamanmu tidak akan berhenti hanya karena kau memohon. Dia butuh pelajaran.”
Elara ingin protes, tetapi ia tahu Zayden benar. Dengan enggan, ia mengangguk.
"Oh ya, sepertinya kita gak jadi pergi. Barusan Pak Sobri memberi kabar, bahwa ada klien yang ingin bertemu."
Elara mau tidak mau menurut saja, dia memaklumi suaminya yang menjadi orang sibuk.
Elara sebenarnya juga butuh istirahat yang cukup, setelah Zayden pergi, dia memilih rebahan di kamar sambil menikmati hiburan di media sosial.
Untung saja Elara gak jadi ikut. Ternyata Zayden pulang malam, meski tidak larut. Zayden masih memiliki perasaan, tidak ingin meninggalkan Elara sendirian terlalu lama.
###
Malam itu berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Zayden pulang sekitar pukul 07.00, tapi sepertinya Elara sudah tidur, terlihat dia sangat pulas, akhirnya Zayden tidak berani mengganggu.
Kini dia berada di depan laptopnya, sibuk dengan pekerjaannya yang tak kunjung memberinya waktu santai sedikit saja.
###
Keesokan paginya, Elara bangun lebih awal dan mendapati Zayden tidur di sampingnya dengan laptop masih menyala?
'Jam berapa dia tidur?' gumam Elara, disusul merapikan laptop dan beberapa kertas yang ada di sana. Biar Zayden tidur dengan nyaman.
Gadis kecil itu melakukan aktivitas seperti biasa, tapi kali ini cuma cuci muka dan sikat gigi aja, lagi malas mandi. Terus dia persiapan homeschooling dan menunggu sarapan dari housekeeping datang.
"Hoaaam, masih jam delapan. Udah ngantuk lagi. Apa kekenyangan ya?" gumam Elara, dia sedang belajar di depan laptop dengan guru privatnya.
"Ekhem." tiba-tiba ada yang berdeham.
"Eh, kamu." Elara yang mau rebahan sebentar, seketika tubuhnya bangkit, kaget dengan suara deham seseorang.
“Urusan Mang Jajang sudah selesai,” kata Zayden singkat, dia langsung duduk dan menyantap sarapan yang ada di atas meja.
Elara menghela napas lega. “Eh, I-iya. Terima kasih.”
Namun, sebelum suasana bisa lebih tenang, ponsel Zayden berbunyi. Ia melihat layar, dan ekspresi wajahnya berubah dingin.
“Laura,” gumamnya sebelum menjawab panggilan itu.
Elara menahan napas saat mendengar nama itu.
“Aku akan menemui pengacaraku hari ini,” kata Zayden, suaranya terdengar tegas. “Tidak perlu membuat drama, Laura.”
Panggilan itu singkat tetapi membawa ketegangan yang nyata. Zayden meletakkan ponselnya dengan kasar ke meja.
“Masalah apa lagi sekarang?” tanya Elara, mencoba terdengar netral.
Zayden menatapnya dengan tajam. “Laura tidak akan menyerah begitu saja. Dan aku khawatir dia akan mencoba menciptakan masalah baru untukmu.”
Bersambung...