Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menepati Janji
Ketika mobil Revan mendekati rumahnya, ia melihat sebuah taksi yang berhenti di depan gerbang mansion keluarga. Ia memperlambat laju mobilnya, memperhatikan dari kejauhan. Pintu taksi terbuka, dan seorang wanita melangkah keluar dengan gerak-gerik penuh keyakinan.
Revan memperhatikan sosok itu lebih jelas seiring ia semakin dekat. Napasnya tertahan sejenak ketika ia mengenali siapa wanita itu, Karina.
Ia melihat Karina membayar ongkos taksi dengan cepat, lalu melangkah mendekati gerbang besar mansion. Wajahnya tampak serius, mungkin juga sedikit tegang, seolah-olah ia telah memutuskan sesuatu yang besar.
Revan memarkir mobilnya sedikit jauh dari gerbang, mematikan mesin, lalu duduk diam di kursi kemudi, memperhatikan Karina dari balik kaca depan. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak emosi yang kini bercampur menjadi satu. Marah, khawatir, dan sedikit rasa bersalah.
"Dia beneran datang ke sini," gumam Revan pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Dengan langkah berat, ia keluar dari mobil dan berjalan menuju gerbang, mendekati Karina yang kini berdiri tegak di depannya, matanya menatap tajam ke arah mansion yang megah.
"Karina," panggil Revan dengan suara berat, mencoba memecah keheningan di antara mereka.
Karina berbalik, menatap Revan dengan sorot mata yang tajam, meski emosinya sulit ditebak. Namun, Revan dapat merasakan ketegangan yang membara di antara mereka. Dari caranya berdiri, ia tahu ini bukan sekadar obrolan biasa, dan mungkin, ini awal dari sesuatu yang rumit.
Tanpa berkata banyak, Revan mendekat dengan cepat. Tangannya terulur, menggenggam pergelangan tangan Karina dengan cukup kuat.
"Kamu nggak seharusnya di sini," ucapnya dengan nada rendah, tapi penuh tekanan.
Karina tersentak, matanya melebar sedikit. "Revan, gue cuma mau...."
"Masuk mobil sekarang," potong Revan, menariknya menjauh dari gerbang mansion. Langkahnya cepat dan tegas, sementara Karina, meski mencoba melawan, terpaksa mengikuti.
"Revan! Lo nggak bisa sembarangan narik gue kayak gini!" protes Karina, tapi Revan mengabaikannya.
Ia membuka pintu mobilnya, lalu dengan sedikit paksaan menyuruh Karina duduk di samping kursi kemudi.
"Masuk dan diam," katanya singkat, tanpa memberikan ruang untuk perdebatan.
Karina menatapnya dengan kesal, tapi ia akhirnya masuk ke dalam mobil, masih bingung dengan sikap Revan yang tiba-tiba ini.
Setelah memastikan Karina masuk, Revan menutup pintu dengan keras, lalu berjalan ke sisi pengemudi. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menjauh dari mansion keluarganya.
"Revan, lo mau bawa gue ke mana?" tanya Karina, suaranya sedikit gemetar, campuran antara marah dan bingung.
"Jauh dari sini," jawab Revan dingin, matanya fokus pada jalan di depan.
"Ada banyak hal yang lo nggak ngerti, Karina. Dan kalau kamu tetap ada di sini, kamu bakal masuk ke masalah besar."
"Masalah apa? Kenapa lo pergi nggak bilang-bilang gue?" tanya Karina, nadanya meninggi.
Revan tetap diam beberapa saat, matanya fokus pada jalan yang cukup ramai. Tapi sebelum Karina sempat melanjutkan, ia menjawab dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
"Ini bukan soal aku, Karina. Ini soal gue. Lo nggak perlu ikut campur."
Karina mendengus kesal. "Lo pikir gue nggak punya hak buat tahu? Setelah semua yang lo janjiin ke gue, lo pergi gitu aja? Lo mau menghindar dari gue."
Kata-kata Karina membuat dada Revan terasa sesak. Sorot mata tajam Karina menusuknya seperti bilah pisau.
Untuk sesaat, hanya keheningan yang memenuhi kabin mobil, diselingi suara napas mereka yang memburu.
"Apa yang gue lakuin ke lo?" tanya Revan dingin.
"Gue cuma nyoba ngejauh sebelum semuanya jadi lebih buruk."
Karina menatapnya tajam, tak lagi bisa menahan emosinya. "Jangan pura-pura nggak tahu, Revan. Semalem lo ngelakuin hubungan sama gue!" suaranya bergetar, marah dan kecewa bercampur jadi satu. "Dan lo, janji... mau nikahin gue."
Mata Revan membelalak sesaat sebelum ia menundukkan pandangan, kedua tangannya mengepal di atas setir. Udara di dalam mobil terasa semakin berat. Akhirnya, dengan suara yang hampir lirih, ia mulai bicara.
"Oke, Karina. Gue jelasin." Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya terdengar serak, seperti menyimpan beban yang sudah lama dipendam. "Kemarin gue... gue mabuk. Sebelum gue mabuk, pikiran gue udah kacau balau. Dan cuma satu orang yang terus-terusan muncul di kepala gue—Nadira."
Karina menatapnya, kebingungan mulai bercampur dengan rasa sakit. "Nadira?" ulangnya pelan.
Revan mengangguk, matanya kosong menatap jalan di depannya. "Dia wanita yang pernah gue sayangi lebih dari apapun. Seseorang yang bikin hidup gue, dunia gue, jadi berarti. Tapi dia pergi... ninggalin gue dengan segala penyesalan dan rasa bersalah yang nggak pernah selesai."
Revan menoleh ke Karina, tatapannya lembut tapi dipenuhi dengan penyesalan. "Dan semalam... gue ngerasa dia ada di lo. Wajah lo... sikap lo... semuanya. Lo mirip banget sama dia."
Karina membeku, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Hatinya bergetar mendengar pengakuan itu. "Jadi, lo cuma liat gue sebagai bayangan dia?" suaranya terdengar pelan, tapi sarat dengan luka.
Revan memejamkan matanya, seakan ingin lari dari kenyataan yang baru saja ia ungkapkan. "Gue nggak bermaksud nyakitin lo, Karina. Tapi lo harus tahu... gue masih belum selesai sama masa lalu gue."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Karina memalingkan wajahnya ke jendela, matanya berkaca-kaca. Kata-kata Revan terasa seperti pukulan telak yang menghancurkan semua harapan yang sempat ia genggam.
"Jadi, itu alasan lo mau ngejauh dari gue?" tanya Karina dengan suara bergetar, mencoba menahan tangis.
"Karena gue cuma... pengganti?"
Revan tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap Karina dengan tatapan penuh penyesalan, menyadari bahwa ia telah melukai seseorang yang sebenarnya tidak pantas menerima semua ini.
"Tidak, Karin," ujar Revan cepat. Lalu, ia menatap Karina, mencoba mencari cara untuk menjelaskan apa yang bahkan sulit ia pahami sendiri.
Karina menoleh, tatapan matanya basah dan penuh luka. "Terus apa, Van? Lo mau bilang apa sekarang? Lo sendiri yang ngomong, gue cuma bayangan dari masa lalu lo, dari perempuan yang lo sayang."
Revan mengusap wajahnya dengan frustasi, berusaha merangkai kata-kata yang tepat.
"Dengerin gue, Karin. Gue akui, semalam gue kacau. Gue... nggak bisa bedain apa yang nyata dan apa yang cuma ada di kepala gue. Tapi itu bukan berarti lo cuma pengganti."
"Kalau bukan pengganti, terus gue apa?" potong Karina, suaranya bergetar.
"Semalem lo janji sesuatu ke gue, Van. Lo janji bakal nikahin gue. Itu omong kosong?"
Revan menatapnya dalam-dalam, kedua matanya penuh dengan keraguan dan penyesalan. "Gue nggak mau lo masuk ke dalam masalah gue. Gue udah bikin kesalahan besar dengan nyeret lo ke semua ini. Dan soal janji itu... gue nggak bisa buat janjiin apa-apa ke lo. Gue bahkan nggak bisa beresin hidup gue sendiri."
Karina tertawa kecil, getir. "Klasik, Revan. Lo bilang sayang sama gue, lo kasih harapan, lalu lo tarik semuanya begitu aja."
Revan mengepalkan tangan di atas setir, tatapannya menerawang. "Bukan gitu maksud gue. Gue nggak bilang gue nggak peduli sama lo. Gue cuma... takut lo terluka lebih dalam kalau terus ada di dekat gue."
Karina menatap Revan lama, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Lo nggak ngerti, Van. Yang bikin gue terluka bukan masalah lo atau masa lalu lo. Tapi sikap lo, yang pergi tanpa penjelasan dan nganggep gue cuma bagian dari kekacauan pikiran lo."
Revan mengalihkan pandangannya, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun. Napasnya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menghimpit dadanya. Kata-kata Karina menggema di pikirannya, membuatnya sadar bahwa ia tak bisa terus-menerus lari dari apa yang telah ia perbuat.
Karina menatap Revan, tatapannya penuh dengan tekad yang tidak bisa digoyahkan. Meski hatinya sakit, ia tetap berdiri tegak menghadapi pria di hadapannya.
"Gue nggak peduli seberapa kacau hidup lo, Van. Gue nggak peduli seberapa dalam lo tenggelam dalam masa lalu lo. Yang gue peduliin cuma satu. Gue mau lo tanggung jawab atas apa yang lo lakuin."
Revan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. Ia tahu Karina benar. Ia tahu apa yang ia lakukan semalam bukan hal yang bisa dihapus begitu saja. Tapi ia juga tahu bahwa hidupnya tidak semudah itu untuk diperbaiki, apalagi untuk membawa seseorang masuk ke dalam kekacauan yang terus menghantuinya.
"Apa yang lo mau gue lakuin, Karina?" tanya Revan akhirnya, suaranya rendah, nyaris putus asa.
"Lo mau gue nepatin janji itu? Mau gue nikahin lo sekarang juga? Lo harus tahu, kalau gue nggak akan bisa jadi apa yang lo butuhin?"
Karina terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Gue nggak peduli. Gue mau lo buktikan kalau kata-kata lo ada artinya. Lo bilang lo nggak mau gue terluka, tapi justru lo ninggalin gue tanpa kejelasan yang bikin semuanya makin sakit. Kalau lo nggak bisa pegang omongan lo, lebih baik lo nggak usah bikin janji kayak gitu."
Revan mengepalkan tangannya di atas setir, kepalanya menunduk. Ia tidak Bisa menjawab, tidak bisa berjanji, tidak bisa memastikan apa pun. Di satu sisi, ia ingin melindungi Karina, bahkan jika itu berarti menjauhkan dirinya darinya. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa lari tidak pernah menyelesaikan apa pun.
Setelah keheningan panjang, Revan akhirnya menoleh ke Karina, tatapannya penuh rasa bersalah yang begitu dalam, tapi juga ketulusan yang mulai terlihat di balik kegelisahannya. Ia menarik napas panjang, seolah mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata yang tersangkut di tenggorokannya.
"Oke," ucapnya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. "Gue akan tanggung jawab atas apa yang gue lakuin."
Karina menatapnya lekat, seolah memastikan apakah kata-kata itu benar-benar tulus. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Revan melanjutkan, "Tapi... tolong kasih gue waktu untuk ngelakuin semua itu. Gue nggak bisa langsung beresin semuanya dalam semalam. Hidup gue... terlalu rumit."
Karina mengerutkan alisnya, mencoba memahami maksud Revan. "Berapa lama waktu yang lo butuhin?" tanyanya, nada suaranya datar, tapi tetap ada ketegasan di sana.
Revan mengalihkan pandangannya sejenak, kembali menatap ke jalan yang gelap di depan mereka.
"Gue nggak tahu," jawabnya.
"Tapi gue janji, gue nggak akan lari lagi. Gue akan mulai dengan ngebenerin hidup gue dulu, supaya gue bisa ngasih lo... sesuatu yang pantas."
Karina tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi rasa ragu. "Gue nggak minta sesuatu yang sempurna, Van. Gue cuma mau lo bener-bener niat dengan apa yang lo bilang. Karena kalau lo cuma ngomong buat nyenengin gue sekarang, lo akan kehilangan kesempatan ini selamanya."
Revan mengangguk pelan, menyadari betapa besar tanggung jawab yang kini ia pikul. "Gue ngerti. Dan gue nggak akan ngecewain lo lagi."
Mereka berdua terdiam lagi, tapi kali ini keheningan itu terasa lebih ringan, seolah-olah mereka telah mencapai sebuah kesepakatan yang tak terucap.
Revan kembali menyalakan mobil, melajukannya dengan perlahan di jalan yang mulia ramai. Bagi mereka berdua, ini mungkin bukan akhir dari masalah, tapi setidaknya, itu adalah awal dari sesuatu yang baru.