Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5. CTMDKK
“Syifa? kaya masih bayi saja mba..” Sahut Salma adikku.
“Ya mungkin saja syifa lagi butuh banget. Sudahlah Salma, jangan begitu.” Ucap Bapak menengahi.
“Aneh sekali kalau kerja pak.” Pikir Ibu tak habis pikir.
“Sudah bu, berfikir positif saja. Karena darurat, Ridwan jadi pergi kerja.”
Setelah itu, kami lanjut berbincang dan sempat makan camilan bersama.
Selesai adzan magrib berkumandang, tiba-tiba mertua ku diikuti oleh Nesa serta Bu Fitri yang juga masuk ke dalam rumah.
Wajah mertua ku terlihat datar dan enggan menyalami dan menyapa orang tua ku.
“Bu Marni? Apa kabar bu?” tanya ramah Ibu ku.
“Baik.” Jawab nya judes.
“Kasihkan bu!” Ucap Nesa.
“Iya, masa buat mantu sendiri pelit banget?” Lanjut Bu Fitri.
“Ada apa ini bu ibu?” Tanya ibu yang penasaran.
“Hmm ini bu … “ Jelas Bu Fitri namun langsung di potong oleh mertua ku.
“Nih.. “ Ucapnya dengan melempar sesuatu padaku.
“Apa ini ma?” tanya ku. padanya.
Namun dia melirikku tajam dan langsung pergi keluar dari rumah ini.
“Ealahh.. wong kok kayak gitu. Astaghfirullah..” Ucap Bu Fitri mengelus dadanya.
“Memang nya ada apa bu?” tanya Ibu padanya.
Aku memungut seperti bola besar yang di lempar oleh mertua ku. Ku terkejut melihat uang yang ternyata di remas membentuk bola. Ku pisahkan satu-persatu uang itu.
“Tadi para warga berkumpul di rumah Pak Wahid. Pak Rt sepulang dari sini udah woro-woro ke semua warga kalau Yeni sudah melahirkan. Warga mulai iuran buat beliin hadiah untuk Yeni dan bayi nya. Nah uang nya udah ke kumpul di Bu rica eh di minta sama Bu Marni katanya biar lewat dia aja. Bu Rica kan belum tau perlakuan Bu Marni ke Yeni jadi dia ya serahin uang itu. Terus saya mau ajak Nesa pergi beli hadiah mau minta uang ke Bu Rica eh malah sudah ada di tangan nenek lampir itu. Aduh.. Coba Yen di cek. Tadi kata Bu Rica totalnya ada 520 ribu.” Jelas Bu FItri pada Ibu ku dan kami semua.
“Perlakuan? Memangnya Bu Marni ngapain kamu nduk?” tanya Ibuku dengan cemas.
Ku bingung harus menjawab apa. Aku tak ingin membuat Ibu khawatir. Apalagi kalau sampai asma ibu kambuh.
“Tak ada apa—apa bu, Mama Cuma sekedar mengingatkan saja.” Jawab ku menutupi semua perlakuan mertua ku.
“Yeni…” Ucap Nesa melihatku.
Aku tersenyum seakan-akan kode agar dia tak bicara apapun.
“Mengingatkan apa yeni?” tanya Ibu ku lagi.
“Cuma mengingatkan jangan makan bu,”
“Masa sih?”
“Serius bu, Cuma begitu saja. mungkin mama ambil uang ini karena ingin sekalian masakin Yeni sekalian” Jawabku dengan alasan yang mustahil terjadi.
“Oh begitu, ya bisa saja ya.” Ibu sepertinya percaya aka napa yang ku katakan.
Setelah itu, Ibu, bapak berbincang dengan bu FItri dan juga Nesa. Sementara Adikku sedang belajar di samping ku bawah kasur menggelar karpet.
“Kalian nginep kan?” tanya ku pada adikku.
“Iya lah mba, tenang aja. Tapi cuma sehari kayaknya. Salma ada kelas besok sore terus bapak sama Ibu ada arisan mba. Kan nggak enak kalau di batalin karena undangan arisannya udah di bagikan sama bu RT.” Ucap Adikku.
“Ya nggak apa. Mba ngerti kok.”
Aku lega karena ada keluarga ku yang akan di sini walaupun hanya sebentar tapi itu lebih dari cukup. selain itu, aku juga berharap suamiku segera pulang. Apa dia tidak mau bermain-main dengan anaknya?
“Mba, istirahat aja mba.”
“Iya, pinggang mba agak pegel banget nih. Mba tiduran dulu ya tapi nanti kalau mas Ridwan sudah pulang, tolong bangunin mba ya”
“Iya mba,”
Aku merebahkan diriku perlahan, perlahan mata ku berat dan semakin berat.
**
Aku terbangun karena merasa kepanasan dan merasa ingin buang air kecil. Ku buka kedua mataku dan menengok ke samping kanan ku ada suamiku yang sedang tertidur. Aku tersenyum karena dia sudah pulang. Namun ku di sadarkan lagi oleh rasa kebelet ku. Aku tak tau harus bagaimana. Aku bangunkan suamiku yang sudah tertidur pulas itu.
“Mas… mas… bangun sebentar mas.. aku minta tolong mas..” ku tepuk pelan pipi suamiku.
“Hmmm…”Dia menyingkirkan tangan ku.
“Mas, tolong.. bawa aku ke wc mas. sakit banget kalau berdiri. Huhuhu.” Ku goyangkan tubuh suamiku.
“Agggrhh, ganggu amat sih kamu.” Dia langsung duduk dengan raut wajah kesal.
Dia dengan jengkel turun dari ranjang dan membopongku masuk kedalam kamar mandi. Dengan sangat kesakitan dan sangat perih, ku tahan itu semua.
“Masss… sudah mas… tolong..” panggilku lagi.
“Emm,, bau banget sih? Di siram napa. Apa nggak bisa nyiram juga. Empp..”
Aku memang nggak sampai untuk meraih gayung di ember yang jujur saja agak jauh dari closet.
“Ambilkan mas, aku nggak sampai.. sakit…”
“Manja banget sih kamu! Sesar itu seharusnya langsung bikin sat set. Orang nggak lewat bawah kan. dasar manja!”
“Ya ampun mas… kok kamu bilang nya gitu banget sih? Aku kan kena jahit juga dua-dua nya.”
“Halah, itu salah kamu. Di suruh jangan ngeden tetap aja ngeden ya gitu resikonya. Cepat lah nih siram dulu.” Dia mengambilkan segayung air padaku.
Sesudah itu, dia membopongku lagi dan meletakan ku di atas kasur. Dia pun mengambil bantal dan selimut lalu pergi keluar dari kamar kami.
“Mas, mau kemana?”
“Tidur depan tv” Jawab nya kesal.
Aku membiarkannya, sekalian saja dia menemani bapak yang kayaknya tertidur depan tv.
**
Keesokan harinya,
Ku terbangun bersamaan dengan suara adzan subuh. Kalau biasanya, jam segini aku harus memasak sarapan untuk suamiku. Namun karena ku belum mampu untuk berdiri, aku hanya bisa menunggu mas Ridwan kembali ke kamar agar dia bisa membeli lauk untuk dirinya dan juga untuk keluarga ku jika kalau dia tak ingin memasak sendiri. Aku tak enak kalau Ibu yang memasak. Ibu pasti juga sangat lelah sebenarnya.
15 menit kemudian, dengan menepuk-nepuk anakku. Ku heran dengan suasana sepi ini.
“Kenapa sepi sekali? Ibu nggak kemari? Mereka nggak solat? Biasanya mereka sudah ambil wudhu dan solat. Tapi kenapa mereka belum ada tanda-tanda keluar kamar?” gumam ku celingak-celinguk mengintip dari pintu kamar ku yang tak dikunci oleh mas Ridwan ketika keluar tadi malam.
Hampir 1 jam kemudian,
“Mass… Masss kamu udah bangun?” panggilku pada suamiku.
Tak ada jawaban, “Mass….” Panggilku lagi.
Karena tak ada jawaban juga, aku pun mencoba menggeser tubuhku agar pas dengan pintu yang terbuka. Namun tetap saja ku lihat memang lah sepi.
“Mas….Kamu masih tidur? Mass…”
“Pak! Bu? Salma? Kalian belum bangun juga?” panggilku pada semua nya.
Aku menidurkan anakku di samping ku lalu dengan perlahan ku coba untuk turun dari ranjang tidurku untuk membangunkan semua nya. Namun entah kenapa perutku sangat sakit serta kaki ku lemas dan akhirnya aku terjatuh.
“Awww,,, mas… massss… tolong…” Ucap ku dengan agak keras hingga anakku terganggu dan terbangun.
Bersambung...
Terus semangat berkarya
Jangan lupa mampir ya 💜