Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Perjalanan Satrio V2
Di tengah percakapan hangat mereka, pintu kafe kembali terbuka. Seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi dan tas kulit di tangannya melangkah masuk. Rambutnya sudah mulai memutih, tetapi sorot matanya masih tajam.
Satrio yang duduk membelakangi pintu tidak melihatnya, tapi Bayu yang pertama kali memperhatikan kedatangannya, segera mengenali sosok tersebut."Eh, Pak Arman, kan?" bisik Bayu dengan mata melebar.
Satrio menoleh cepat, dan benar saja, Pak Arman, salah satu dosen senior di kampus mereka, sedang memesan sesuatu di kasir. Pak Arman pernah menjadi mentor banyak mahasiswa, termasuk Satrio. Tapi yang lebih penting, Pak Arman adalah salah satu teman dekat dari ayah Satrio dulu, ketika sang ayah masih aktif di dunia penelitian.
Pak Arman yang menyadari tim Satrio, lalu mendekati meja dengan langkah ringan, senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia senang bertemu dengan mereka. Bayu yang pertama menyadari kehadiran dosen senior itu, segera berbisik, “Eh, Pak Arman datang!”
Satrio menoleh, begitu pula Gilang dan Rio. Mereka terkejut tapi segera berdiri untuk menyambutnya.
“Pak Arman, lama tidak bertemu!” sapa Satrio sambil menjabat tangan dosennya dengan hangat.
“Lama sekali, Satrio. Tidak menyangka bisa bertemu kalian di sini,” jawab Pak Arman, matanya berkilat penuh minat saat memandang para anggota tim. “Aku sudah sering mendengar nama kalian dari artikel kampus. Kalian membuat langkah besar dalam penelitian. Kalian semua luar biasa!”
Gilang mengerutkan alis, bingung. “Artikel kampus? Kami bahkan tidak tahu artikel tentang kami ditulis.”
Pak Arman tertawa kecil, menarik kursi untuk duduk bersama mereka. “Ya, rupanya kalian terlalu sibuk dengan penelitian untuk menyadarinya. Tapi aku selalu mengikuti perkembangan kalian. Penemuan prasasti itu, terutama, sangat menarik."
Sambil berbicara, Pak Arman tampak lebih rileks, suasana pun menjadi lebih akrab. Gilang, Rio, dan Bayu mengajukan beberapa pertanyaan tentang penelitian yang sedang mereka jalani, tapi Pak Arman sesekali mencuri pandang ke arah Satrio, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih personal.
Setelah beberapa waktu berbincang, Pak Arman menatap Satrio dengan tatapan yang lebih serius. “Mendengar dari teman-temanmu, sepertinya memang betul--buah jatuh tidak jauh dari tangkainya, kamu mengingatkanku tentang ayahmu, Herymurty...”
Satrio yang sedang sibuk menyesap kopinya, tertegun sejenak. Ia menurunkan cangkirnya dan menatap Pak Arman dengan penuh minat. “Ayah?”
Pak Arman mengangguk pelan. “Iya, aku mengenalnya. Sosok yang sangat karismatik, seorang arkeolog yang penuh semangat dan ambisi. Sama sepertimu. Beliau juga memiliki Tim, selalu bersatu--delapan orang yang tak pernah berhenti mencari artefak kuno dari berbagai belahan dunia. Salah satu tim arkeologi paling legendaris yang pernah ada.”
Mendengar hal ini, Rio dan Gilang tampak penasaran, sementara Bayu ikut mengangguk dengan kagum. Satrio sendiri diam, matanya tak berkedip, mendengarkan dengan seksama.
“Tapi...” Pak Arman berhenti sejenak, suaranya merendah. “Tentu kau tahu apa yang terjadi pada akhirnya.”
Satrio menarik napas panjang, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Ya, mereka hilang,” jawabnya pelan.
Pak Arman mengangguk. “Iya. Mereka hilang saat melakukan penelitian di lembah bagian utara. Laporan terakhir dari tim adalah tentang penemuan prasasti kuno yang merujuk ke suatu tempat misterius. Mereka tampaknya berusaha mengikuti petunjuk dari prasasti itu... tapi setelah itu, tidak ada yang pernah mendengar kabar dari mereka lagi.”
Suasana di meja menjadi hening. Gilang yang duduk di samping Satrio akhirnya berbicara, “Kami juga menemukan prasasti-prasasti yang sepertinya saling berhubungan. Ada indikasi yang merujuk ke tempat yang belum kami ketahui...”
Pak Arman tampak tertarik, dahinya berkerut saat ia mencoba menghubungkan peristiwa masa lalu dengan penelitian mereka sekarang. Namun, Satrio buru-buru memotong. “Pak Arman, sepertinya kami belum siap membahas ini lebih jauh. Masih banyak yang belum jelas.”
Senyum kecil muncul di wajah Pak Arman. “Tentu, aku mengerti, Satrio. Penelitian butuh waktu dan kehati-hatian. Dan yang paling terpenting kalian harus bisa menjaga diri.”
Setelah beberapa percakapan santai lagi, Pak Arman pamit. Ia meninggalkan meja dengan langkah pelan, seolah masih terbenam dalam kenangan tentang ayah Satrio dan timnya yang hilang. Satrio menatap punggung dosennya itu hingga ia menghilang di balik pintu kafe, lalu kembali menunduk ke arah teman-temannya.
“Semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak pertanyaan yang muncul,” gumam Satrio, setengah kepada dirinya sendiri.
Rio menepuk bahunya. “Kita akan menemukan jawabannya, Tri. Cepat atau lambat.”
Setelah Pak Arman pergi, suasana di meja kembali tenang. Satrio menutup laptopnya dan merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.
Rio berdiri lebih dulu, meraih jaketnya dan menepuk bahu Satrio. "Jaga dirimu di sana, Tri. Kita semua tahu perjalanan ini nggak mudah. Pastikan kamu siap, fisik maupun mental."
Gilang ikut berdiri, mengangkat ranselnya dengan satu tangan. "Benar, Satrio. Kutipan dari prasasti itu sudah cukup bikin kepala kita pusing, jangan sampai kamu juga kebawa tekanan. Apa pun yang terjadi, ingat, kita ada di belakangmu."
Bayu, yang paling santai dari mereka, menambahkan dengan senyum kecil, "Jangan lupa makan, Tri. Di gunung, kamu butuh energi. Kalau kehabisan tenaga di sana, nggak ada yang bisa nolongin."
Satrio menatap ketiga temannya satu per satu, merasakan dukungan yang begitu tulus dari mereka. “Terima kasih, kalian,” jawabnya. “Aku akan berhati-hati. Nggak akan nekat. Semua yang kita temukan akan kuperiksa secara perlahan. Dan... aku janji bakal balik dengan kabar baik.”
Mereka bertiga mengangguk, masing-masing memberikan pelukan singkat kepada Satrio sebelum berjalan keluar dari kafe. Di luar, angin malam berhembus sejuk, menambah kesan perpisahan ini menjadi lebih emosional.
"Jaga diri ya, Tri," ucap Gilang sambil melambaikan tangan sebelum berpisah di persimpangan jalan.
Satrio berdiri di depan pintu kafe, menatap punggung mereka bertiga yang semakin menjauh. Di hatinya, ia merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi perjalanan ini. Tangan kirinya menggenggam erat tali ranselnya, sementara tangan kanannya memasukkan kunci apartemen ke dalam saku jaket.
"Demi semua yang telah mereka bantu, aku harus berhasil," gumamnya pelan, sebelum berbalik menuju apartemennya.
Setelah beberapa saat, Satrio pun tiba kembali di kamarnya. Ia segera membuka laptopnya dan mulai mencari informasi mengenai gunung tersebut. Jemarinya mengetik dengan cepat, mata fokus menelusuri berbagai artikel dan jurnal. Setiap kali ia menemukan sesuatu yang menarik, ia berhenti sejenak, membaca dengan seksama, namun tak banyak yang memuaskan rasa ingin tahunya.
Setelah beberapa lama, akhirnya ia menemukan sebuah jurnal lama yang membahas Gunung Niuts. Jurnal itu menyebutkan keberadaan sebuah suku pedalaman yang dikatakan pernah tinggal di sekitar gunung tersebut, tetapi tidak ada informasi yang jelas mengenai lokasi tepatnya. Satrio mengernyitkan dahi, merasa sedikit frustasi karena informasinya begitu terbatas.
Kelelahan mulai merayap ke tubuhnya. Setelah berjam-jam di depan layar, matanya mulai terasa berat. Ia menutup laptopnya, menyandarkan tubuh ke kursi, dan menghela napas panjang. "Besok," gumamnya pelan, "besok adalah awal dari segalanya."
Malam semakin larut, dan Satrio memutuskan untuk membiarkan pikirannya beristirahat. Kasur busa yang tak tertata itu tampak begitu menggoda. Ia pun perlahan berbaring, memejamkan mata, membiarkan malam berlalu dengan harapan bahwa esok hari akan membawa petualangan baru.
lanjut nanti yah