bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terjadi banyak hal aneh
Danau Elips terlihat muram, airnya bergetar layaknya permukaan kaca yang dilempar batu. Riak-riak kecil bergulung namun kemudian menghilang, menimbulkan rasa cemas di hati siapapun yang melihat. Kecerahan senja meredup, menunggu gelap menenggelamkan segalanya.
Chris dan Toni berdiri di tepi danau, menatap tajam ke dalam kedalaman yang semakin misterius. Bunyi berdesir datang dari arah danau, seperti bisikan yang tak bisa dipahami.
“Apakah kau melihat itu?” Toni bertanya, suaranya hampir tenggelam oleh erangan gelombang.
Chris mengangguk, matanya menyipit. “Ya. Sepertinya ada yang bergerak di dalam sana.”
Toni melangkah lebih dekat, langkahnya berhati-hati.
“Jangan terlalu dekat,” Chris menyusul, menarik lengan Toni. “Kita tidak tahu apa yang ada di dalam.”
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya suara air yang memecah keheningan. Suasana semakin tegang saat cahaya aneh mulai berkilau di permukaan air, terlihat seperti pancaran sinar warna-warni yang menari-nari.
“Lihat!” Toni menunjuk ke tengah danau. Sinar itu membesar, memancarkan aura yang tidak nyaman. “Sepertinya ada sesuatu yang muncul.”
Tanpa peringatan, air danau meletup, menyemburkan spesies makhluk dari kedalaman. Makhluk itu, yang tak terduga, hadir dengan bentuk yang cacat, berkilauan seperti perak di bawah cahaya senja, tampil di depan mereka.
“Apa itu?” suaranya bergetar, dan kakinya mundur sedikit.
“Entahlah,” Chris menjawab, matanya terfokus pada makhluk aneh itu. “Tapi kita harus pergi. Ini tidak aman.”
Sebelum mereka sempat bergerak, makhluk itu melesat menuju mereka, matanya yang tajam meneliti seakan menembus jiwa.
Kekhawatiran di wajah Chris semakin dalam. “Toni, kita harus…!”
Namun, makhluk itu berhenti, mengeluarkan suara mendengung yang terasa asing di telinga. Makhluk itu, meski menakutkan, menyerupai makhluk yang pernah mereka lihat sebelumnya di danau. Tapi sesuatu dalam gerak dan tatapannya nampak berbeda.
Toni menggeleng, terpesona. “Jangan lari. Mungkin… mungkin ia berkomunikasi.”
“Komunikasi?” Chris melirik Toni dengan skeptis. “Toni, ini bukan saatnya untuk berpetualang dengan makhluk aneh.”
Dengan mantapan, Toni melangkah maju, merasa terikat oleh entitas di depannya. “Wahai makhluk, kami tidak bermaksud menganggu. Siapa namamu?”
Makhluk itu membalas dengan suara yang lebih jelas, kini terdengar seperti desiran angin di antara celah-celah dedaunan.
“Aku ... kehilangan,” suara itu terkesan melankolis, seakan penuh kesedihan. “Bantu aku… menemukan yang hilang.”
Chris terbelalak, hatinya berdebar. “Toni, jangan bicara dengan itu… kita tidak tahu apa yang bisa terjadi.”
Toni tetap berdiri, menunggu reaksi lanjutan dari makhluk itu. “Kami ingin membantu. Apa yang hilang?”
Makhluk itu mengangkat tangannya, sebuah sinar muncul dari telapak tangan, menerangi wajah Toni dan Chris. Namun segera setelah itu, sinar itu meredup, menunjukkan serpihan yang berkilau di atas tanah.
“Ini… obsidian. Dari pesawat yang jatuh,” makhluk itu memberikan petunjuk, tatapannya penuh harapan.
Chris melirik Toni. “Pesawat? Yang ditemukan oleh Jendral Fury?”
“Ya,” Toni mengiyakan, semangatnya meneliti lebih jauh. “Ini bisa jadi kunci untuk menemukan apa yang terjadi di sini.”
“Aku tidak bisa mempercayainya,” Chris berusaha memisahkan dirinya dari pesona makhluk itu. “Jendral berbahaya. Dia—”
“Dia tidak peduli dengan kita!” Toni menaikkan suara, hampir membiarkan emosi menguasainya. “Kita tidak bisa membiarkan semua ini terjadi. Ini adalah kesempatan!”
Makhluk itu bergerak, kini mendekati Toni. “Mencarilah. Di tempat yang kau kenali. Ada yang lain… yang perlu kalian ketahui.”
Chris mundur, merasa lebih terancam daripada sebelumnya. “Toni, ini semua tidak benar! Kita harus segera meninggalkan tempat ini!”
“Chris,” Toni mengeluarkan suara yang lebih lembut. “Aku rasa kita bisa belajar lebih banyak. Kita butuh informasi.”
Sementara, gradasi cahaya aneh kembali bergetar, dan kesunyian pecah oleh suara makhluk itu.
“Bantulah sebelum terlambat. Danau ini… perlu diselamatkan.”
Melihat desakan di wajah Toni, Chris berseru, “Toni, kita tidak berurusan dengan halusinasi! Dia bisa menipu kita. Bagaimana jika ini semua jebakan?”
“Jebakan atau bukan, kita tidak bisa mengabaikan ini. Apa kita mau cuma menunggu hingga Jendral Fury merusak segalanya?” Toni melawan, matanya berbinar dengan tekad.
Makhluk itu melayangkan satu jari, menunjuk ke arah hutan yang menjulang tinggi di sebelah utara.
“Di sana. Penyebabnya ada di sana.”
Chris menggeleng, merasa terjebak antara kewarasan dan rasa penasaran.
“Kalau kau pergi, aku akan menyusul!” cetusnya, suaranya bergetar. “Toni, ingat keadaan kita. Jendral Fury tidak bisa kita hadapi sendirian.”
“Chris, ikuti kata hatimu! Ini bukan hanya tentang kita lagi,” Toni berpelukan ketat, merasakan detak jantung yang berdebar.
“Kalau begitu, kita harus bergerak… tapi hati-hati,” Chris menyimpulkan, memutuskan untuk tidak terpisah.
Lalu dengan mantap, mereka berlanjut, mengikuti petunjuk makhluk itu, menjalani jalan setapak menuju kegelapan hutan. Dalam perjalanannya, mereka berdua memahami betapa dalamnya ancaman yang mengintai, dan betapa pentingnya kerja sama untuk menghadapi segala macam kekacauan.
Langkah demi langkah, mereka melangkahi serakan daun, kesunyian malam mulai menyelubungi, membawa ketegangan yang tak terpadamkan.
Di dalam kegelapan, ketakutan menyusup—apakah keberanian mereka cukup untuk menghadapi semua ini?
Mereka melangkah hati-hati menjelajahi hutan yang semakin gelap. Pepohonan menjulang tinggi, bayang-bayang rantingnya menciptakan siluet yang menakutkan di antara cahaya bulan. Suara malam, seperti suara bisikan, mengingatkan mereka akan kehadiran makhluk aneh di danau.
“Di mana arah yang tepat?” Chris bertanya, meraba-raba kegelapan. Hirupan udara malam yang dingin menambah rasa cemas di hati.
“Entah,” Toni menjawab, merandai suasana. “Tapi makhluk itu bilang di ujung hutan. Kita harus percaya padanya.”
Seketika, langkahnya terhenti.
“Ini bukan cuma tentang kita lagi…” gumamnya, berusaha meneguhkan hatinya.
Chris memperhatikan Toni yang termenung. “Maksudmu kita harus ambil risiko, kan? Aku tidak yakin ini ide yang bagus.”
“Tapi tanpa risiko, kita akan membiarkan semuanya hancur!” raut wajah Toni menunjukkan semangat yang menggebu. “Makhluk itu memberi petunjuk. Kita harus menjelajah lebih dalam!”
Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan. Sebuah batang pepohonan patah di belakang mereka, mengagetkan keduanya. Chris dan Toni menoleh bersamaan, jantungnya berpacu.
“Siapa itu?” Chris berbisik, sudut matanya menjelajahi kegelapan.
“Entahlah,” desis Toni, ketakutan menyusup di nadinya. “Kita tidak sendirian di sini.”
Suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Nyali Chris mengempis. “Kita harus pergi!”
“Tapi ke mana?” Toni terdengar bingung.
Sebelum mereka bisa membuat keputusan, sosok berbaju hitam muncul, siluetnya terlihat jelas di antara semak-semak.
“Jenderal Fury.” Suara Toni meremehkan namun ketakutan meliputi wajahnya.
Jenderal Fury berdiri dengan postur tegak, tatapannya tajam menembus mereka.
“Berharap kalian bisa bersembunyi dariku? Kebodohan!” dia mendekat, senyumnya lebar, tetapi tak menggembirakan.
“Kenapa kau di sini?” Chris bertanya, suara bergetar.
“Menemukan kalian tentu saja. Kau pikir kalian bisa membocorkan informasi tanpa aku tahu?” Fury mengacungkan jarinya, menandakan ketidakpuasannya. “Kenapa kalian terjun ke dalam urusan yang bukan milik kalian?”
“Satu-satunya yang kau pedulikan adalah kekuasaan!” Toni berani melawan, seolah keberanian itu menambah sinar pada wajahnya. “Kau menghancurkan semua ini!”
Senyum jenderal memperdalam. “Semangat yang menggebu. Itu yang aku suka… atau tidak.” Dia melangkah lebih dekat, aura menakutkan memancar dari keberadaannya. “Kau tahu, saat aku menemukan alat komunikasi itu, aku tidak berharap menemukan… kalian.”
Chris menjauh sedikit, mencoba menghindari sisi gelap jenderal itu. “Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau inginkan" ucap Chris.