Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasutan Mertua
Di sebuah rumah yang penuh dengan kesederhanaannya terdapat sebuah keluarga kecil yang sangat manis. Akan tetapi kehidupannya tak semanis yang orang pikirkan.
Suara ketukan yang berulang kali terdengar nyaring membuat seorang wanita cantik berlari kecil untuk segera membuka pintu.
“Ras … Laras, buka pintunya!” pinta sang suami dengan sedikit kesal karena tidak mendapatkan respons cepat dari sang istri.
“Iya, Mas. Tunggu sebentar,” teriak Laras yang sudah mencapai pintu dan segera membuka grendel pintu.
Baru saja pintu terbuka sedikit sang suami langsung menyerobot masuk dengan sedikit kasar hingga Laras hampir saja terjatuh.
“Ya, ampun, Mas Jefri. Kamu bisa ‘kan, pelan-pelan buka pintunya, aku hampir aja kejedot,” ucap Laras dengan nada pelan, meskipun dia sedikit kesal atas sikap sang suami yang semena-mena padanya.
“Ckk, siapa suruh buka pintu aja setahun. Emang dari mana aja sih, kamu, hahh?” tanya Jefri kesal.
Laras segera mengambil tas suaminya, lalu memegang lengan Jefri dan mengantarnya ke kamar.
“Maafkan aku, Mas. Tadi aku lagi angetin sayur sawi putih sama goreng tempe ditepungin. Jadi saat Mas pulang nanti bisa langsung makan hangat-hangat, sekali lagi maafin aku ya, Mas.”
Sang istri menaruh tas Jefri di tempatnya, kemudian berbalik menatap wajah sang suami yang sangat lelah.
“Kebiasaan. Orang tuh, kalau suaminya pulang buru-buru disambut bukan malah mentingin makanan. Kenapa sih, setiap hari kerjaanmu bikin aku naik darah mulu. Aku itu capek Laras, capek!”
Jefri mengutarakan isi hatinya sangat lelah ketika menghadapi sifat istrinya yang selalu memancing emosinya.
“Bayangkan saja, dari pagi sampai malam aku kerja untuk memenuhi kebutuhan kita, sementara kamu? Tidak sedikit pun memanjakan aku di rumah, yang ada malah bikin emosi mulu. Muak lama-lama aku kaya gini, Las.”
Laras yang merasa bersalah perlahan duduk di samping suaminya dan menggenggam tangannya. Tatapan mata sang istri membuat Jefri terdiam, meski hati sangatlah muak melihat wajah yang semakin hari semakin membosankan tak ada menarik-nariknya sedikit saja.
“Aku tahu, Mas, aku salah. Aku minta maaf ya, lain kali aku tidak akan seperti ini lagi. Aku janji sama Mas, jadi tidak perlu khawatir ya, aku akan pastikan besok saat Mas pulang kerja pasti tersenyum.”
Rayuan kecil yang tulus dari dalam hati disertai dengan senyuman manis yang terukir di bibir, tidak mempan menarik perhatian Jefri. Pria itu malah membuang muka, lalu melepaskan tangan sang istri dan berdiri.
“Udahlah aku capek mau mandi dulu,” ucap Jefri sambil membuka kancing baju kemejanya, lalu mengambil pakaian ganti serta handuk.
“Mau aku siapkan air hang—”
“Nggak perlu,” jawab Jefri singkat dan pergi begitu saja meninggalkan Laras.
Sang istri hanya bisa tersenyum kecil menatap punggung suaminya yang mulai menjauh, sesekali menggelengkan kepala pelan lantaran melihat sikap Jefri yang semakin hari semakin dingin terhadapnya.
Selepas Jefri mandi, Laras mengajaknya untuk makan malam bersama. Di mana dia sendiri pun belum makan karena menunggu suaminya pulang dengan harapan bisa mengulang suasana indah yang dulu pernah terjalin.
Rasanya sang istri begitu merindukan makan bersama dengan Jefri juga anaknya. Berhubung sang anak sudah tidur Laras ingin menikmati suasana ini berdua.
“Mas, ayo kita makan dul—”
Perkataan Laras terhenti ketika Jefri yang sedang ngaca sambil menyisir rambutnya langsung membalikan badan dengan wajah datarnya.
“Aku sudah kenyang tadi sebelum pulang mampir makan di restoran. Ada teman ngajakin makan di sana, kalau kamu lapar makan dulu aja sana,” ucap Jefri cuek.
Laras yang sedikit terkejut akan ucapan sang suami merasa sedikit teriris. Bisa-bisanya Jefri makan di restoran seorang diri tanpa membawakan anak dan istrinya.
Sementara orang rumah hanya makan dengan sayur dan tempe, kalaupun makan ayam itu juga bisa dihitung sebulan sekali. Berbeda sama Jefri yang terkadang makan di luar seenak jidatnya tanpa ingat kalau orang di rumah kelaparan.
“Ohh, gitu, ya, sudah. Aku beresin makanan di dapur dulu ya, Mas istirahat aja dulu. Nanti aku kembali lagi,” balas Laras penuh senyuman.
Jefri langsung balik badan dan melanjutkan menyisir rambutnya sambil melihat istrinya sudah pergi dari kamar melalui kaca.
Laras memegangi dada yang terasa nyesek, bahkan dia membereskan semua makanan ke tempat yang lebih aman supaya besok masih bisa dimakan kembali tanpa membuangnya.
Tak terasa air mata menetes perlahan, tetapi segera mungkin dihapus kasar oleh Laras. Dia selalu menguatkan diri untuk tetap bersabar menghadapi sikap suaminya.
Setelah semua beres. Laras kembali ke kamar menemui Jefri yang sedang bermain ponsel sambil merebahkan tubuhnya.
Melihat kedatangan Laras, Jefri segera duduk dan mematikan ponselnya membuat sang istri sedikit curiga.
“Apa sampai selarut ini Mas masih mengerjakan pekerjaan kantor lewat ponsel? Apa sebaiknya ditunda besok saja. ‘Kan, masih ada hari esok loh, Mas. Aku tak mau sampai Mas sakit.”
Raut wajah khawatir yang terukir jelas di wajah Laras tak berarti apa-apa untuk Jefri. Sang suami malah menjawab perhatian sang istri dengan ketus.
“Itu bukan urusanmu! Kalaupun aku menundanya, bersiaplah besok suami akan menjadi pengangguran yang tidak ada harganya.”
Lirikan tajam dari Jefri membuat Laras segera meminta maaf karena pertanyaannya selalu saja membuatnya kesal.
“Ma-maaf, Mas. A-aku—”
“Udahlah nggak usah dibahas. Aku tidak mau ribut, ini uang gajiku. Gunakan sebaik mungkin untuk menyambung hidup bulan depan. Ingat, jangan boros kalau kamu masih mau makan setiap hari. Paham!”
Laras mengangguk pelan menerima amplop cokelat panjang dari sang suami, kemudian membukanya dan menghitung pendapatan gaji suami yang tidak bertambah sama sekali.
“Loh, Mas. Ko-kok, gajimu masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya tujuh ratus ribu? Bukannya beberapa bulan ini kamu selalu lembur sampai malam. Apa tidak ada tambahan untuk itu?” tanya Laras bingung sambil menatap wajah suaminya.
“Hahh ….” Jefri membuang napas secara kasar, lalu merubah posisinya menatap lekat wajah sang istri.
“Las, dengarkan aku ya, aku kerja itu bukan cuma buat kamu dan Langit. Aku masih punya Ibu, jadi aku juga harus menyisihkan uang untuk keperluan ibuku juga keperluanku sendiri. Kamu paham ‘kan, aku juga tidak mau ibuku kekurangan. Jadi sebisa mungkin aku harus adil sama kalian.”
Laras menatap wajah Jefri dengan hati yang tersayat-sayat. Sepeduli itukah dia sama ibunya, sedangkan nasib istri juga anaknya terkadang harus menahan lapar jika uang yang diberikan telah habis.
“Kamu tahu ‘kan, aku kerja sampingan sampai harus pulang larut malam supaya uang bulananmu tidak terpotong dan ibu juga mendapatkan haknya. Aku tidak ingin dikatakan sebagai suami atau anak yang tidak adil. Untuk itu bersyukurlah jangan cuma bisanya ngeluh terus kalau suami kasih uang. Lagian juga aku cuma kasih ibu sedikit tidak banyak, itu pun dibagi dua sama uang bensin atau makanku ketika di jalan sisanya 80 persen gajimu untuk kamu.”
Sang istri terdiam sejenak menatap tujuh lembar uang bernilai seratus ribu rupiah. Hati Laras mulai bergejolak ketika mendengar penjelasan dari Jefri.
Ingin rasanya Laras membantah apa yang dikatakan Jefri karena selalu bertindak tanpa memberitahu lebih dulu. Seakan-akan kehadiran sosok istri sudah tidak penting lagi untuk dijadikan teman cerita juga meminta pendapat sebelum melakukannya.
“Kenapa diam? Kamu kecewa? Nggak terima? Marah? Katakan jangan diam aja. Punya mulut ‘kan, coba ngomong jangan bisanya nangis aja. Lemah!”
Dari tadi Laras terdiam untuk menjaga perkataannya supaya tidak mengeluarkan perkataan yang akan menyakiti hati suaminya.
Hanya saja dia sudah tidak bisa tinggal diam akibat kebutuhan hidup semakin meningkat, juga keperluan anak yang sebentar lagi masuk sekolah TK.
“Mas, maaf bukannya aku kecewa ataupun marah dengan pembagian uang yang kamu berikan itu. Cuma kamu tahukan, kebutuhan ekonimi itu semakin hati semakin meningkat. Belum lgi beli seragam Langit yang mau sekolah, terus juga buat kebutuhan tak terduga. Bisa tidak aku minta sama Mas untuk jujur sama aku. Pendapatan Mas semuanya berapa, terus kita diskusi untuk pembagiannya. Bukan seperti ini karena secara keseluruhan gaji Mas tidak pernah ada peningkatan. Kalau begini terus gimana Langit bisa sekolah, Mas? Apa Mas tidak—”
“Cukup, Laras, cukup!”
Jefri berdiri sambil membentak Laras hingga terperanjat kaget mendengar nada yang sangat tinggi.
“Mau sampai kapan kau mengatakan itu, hahh? Kalau kamu tidak bisa iri berapa pun uang yang aku berikan tidak akan pernah cukup buat kamu. Kamu lihat ibuku. Dia bisa hidup irit dengan uangnya padahal aku hanya memberikan uang yang mungkin sehari saja sudah habis jika aku berikan padamu. Harusnya kamu mikir, Las. Aku ini capek banting tulang kenapa kamu malah mempermasalahkan soal gaji, hahh? Kenapa!”
Suara lengkingan tersebut berhasil membuat Laras menangis sambil menunduk. Maksud dia bukan seperti itu, tetapi dia hanya ingin dilibatkan di dalam pembagian itu supaya suaminya terbuka.
Cuma dia tak menyangka reaksinya akan sebesar ini sampai-sampai untuk pertama kali nada Jefri bisa tinggi hingga membuat Langit terkejut dan langsung bangun.
“Mas, aku bisa jelasin. Maksudku bukan begitu. Aku cuma memikirkan tentang—-”
“Tentang apa, hahh? Sekolah Langit, makan, kebutuhan, apalagi? Kamu hanya memikirkan itu, sedangkan memikirkan aku aja kamu tidak pernah. Sekarang aku tanya sama kamu. Kapan terakhir kali kamu membuatku puas, hahh? Kapan! Udah lama banget ‘kan, jadi kalau kamu perhitungan dengan ibuku. Aku juga bisa perhitungan denganmu!”
Bentakan itu membuat Langit langsung berjalan dan berdiri tepat di tengah-tengah pintu masuk sambil meneteskan air mata.
“A-ayah, ke-kenapa Ayah marahin Ibu? A-apa salah Ibu?” tanya Langit membuat Laras segera berlari dan memeluk anaknya sambil berjongkok.
“Loh, anak Ibu kenapa bangun? Bobo lagi, yuk! Udah gapapa, Ayah cuma capek aja. Ibu temani bobonya, mau?”
Laras berusaha tersenyum di depan wajah sang anak, membuat tangan Langit mengusap air matanya dan menatap ke arah Jefri.
“Ayah, kalau Ibu nakal maafin ya, tapi jangan dimarahi. Langit juga pernah nakal kok, tapi Ibu hanya menasihati bukan marah-marah. Jadi Langit mohon sama Ayah, maafin Ibu ya, Ayah. Ma—”
“Ayah harus kerja lagi. Kamu tidur lagi aja ini masih malam, jaga ibumu baik-baik. Ayah mau siap-siap dulu,” sambung Jefri yang sudah muak bertengkar dengan Laras.
Sang istri yang terkejut langsung berdiri menatap Jefri. Di mana suaminya sedang berganti pakaian, padahal niatnya sudah ingin tidur. Namun saat percekcokan terjadi malah dia memutuskan untuk pergi.
“Mas, kamu mau ke mana? Ini sudah malam loh,” ucap Laras khawatir.
“Udah kamu urus aja Langit. Aku mau cari sampingan lagi biar kamu puas megang uang banyak. Minggirlah!”
Jefria sedikit mendorong sang istri untuk tidak mencegahnya, lalu dia pergi keluar rumah dalam keadaan kesal bercampur marah.
Laras ingin sekali menahan Jefri pergi, tetapi melihat kondisi Langit dia langsung mengurungkan niat dan menutup kembali serta mengunci pintu.
Setelah itu Laras segera menenangkan sang anak sambil menemaninya tidur, meski sesekali air mata menetes di pipinya. Namun dia harus tetap kuat untuk Langit.
*****
Sepanjang jalan Jefri berteriak kesal karena merasa muak dengan keadaan ini. Niat hati pulang ingin sedikit melepas kangen pada sentuhan sang istri, tiba-tiba saja malah mendapatkan omongan tak enak hingga menyakiti hatinya.
Jefri tidak terima dengan perkataan Laras yang seolah-olah tidak mengizinkannya untuk membahagiakan ibu kandungnya sendiri.
Sampai akhirnya Jefri pergi ke rumah sang ibu, lalu mengadukan nasibnya kembali dengan wajah yang sangat emosional.
“Loh, kok, kamu balik lagi?” tanya sang ibu yang terkejut mendapati anaknya kembali pulang, padahal sejam yang lalu dia habis dari rumah orang tuanya.
“Arrghhh … Aku kesal, Bu, kesal! Kali ini aku muak dengan Laras. Rasanya aku ingin segera pisah sama dia yang selalu menuntut gajiku. Bayak kebutuhan inilah, itulah, onolah, kesannya dia tidak pernah bersyukur atas usaha suaminya.”
Jefri menjambak rambutnya kesal sambil memasuki rumah sang ibu, lalu duduk di sofa ruang tamu bersamanya.
“Benar-benar menantu tidak tahu diri. Dikasih uang bukannya bersyukur malah menuntut suaminya. Untung uangmu Ibu yang pegang coba kalau diberikan ke istrimu semuanya, mungkin 20 juta lebih ditangan bisa habis dalam hitungan hari. Pemborosan! Udahlah kamu cepat-cepat pisah sama dia. Ibu jadi kasihan lihat kamu mending kamu sama Dania aja. Dia udah cantik, baik, bahkan bisa buat kamu bahagia daripada Laras cuma tahu caranya buat kamu marah aja.”
Tuti begitu kesal mendengar cerita menantunya yang semakin hati semakin menjengkelkan. Dia terus berusaha mencuci otak sang anak supaya bisa secepatnya dan memiliki menantu impian seperti Dania.
“Aku paham, Bu. Cuma masalahnya satu. Aku bertahan sama Laras hanya karena Langit, itu saja. Aku tidak tega jika Langit tahu kami berpisah bagaimana nasibnya nanti?” tanya Jefri penuh keseriusan menatap ibunya.
“Hahh … Urusan Langit bisa diatur. Biarkan dia sama Laras terpenting kamu bertanggung jawab memberikan uang untuk Langit sekolah. Atau bisa juga kita sewa pengacara hebat agar hak asuh Langit ada di tangan kita. Dengan begitu kamu dan Dania bisa segera menikah dan mengurus Langit bersama. Gimana?”
Sang ibu tersenyum sambil mengusap lengan anaknya membuat Jefri berpikir keras dan terdiam beberapa menit.
Tidak berhenti di situ saja. Tuti terus menghasut hingga memanas-manasi sang anak demi mencapai tujuannya. Di mana dia tidak ingin Jefri selalu berada di genggaman Laras yang tidak bisa diharapkan. Berbeda sama Dania yang memang tercipta untuk menjadi tulang rusuk anaknya.
Keromantisan yang selalu diungkapkan oleh Tuti berhasil mempengaruhi Jefri. Senyuman di bibir terukir membuatnya langsung memeluk ibunya.
“Ibu benar. Kayanya aku harus ke suatu tempat di mana kehadiranku selalu di hargai. Aku pergi dulu, Bu. Dahhh ….”
Tuti berdiri melambaikan tangan sambil tersenyum melihat semangat Jefri kembali membaik. Tak perlu bertanya karena dia sudah tahu ke mana anaknya akan pergi demi menjemput kebahagiaannya.
*****
Bersambung.