Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 - Makan Malam Pertama
Tahu waktunya hanya tersisa sedikit lagi, Naina berlarian menuju kastil. Dua keranjang di tangannya penuh dengan bahan masakan. Ikan segar bertumpuk, buah-buahan manis memenuhi keranjang, satu dua berjatuhan seiring dengan langkah kakinya yang kian dipercepat.
Gaun yang menjuntai menutupi kaki basah sebagian dan juga bercampur lumpur hingga wajah mulusnya tercoreng. Naina begitu asik bermain dengan para binatang yang menyambutnya dengan baik, sampai lupa bahwa Tuan Minos menunggunya dengan perut lapar.
Sesampainya di kastil, Tora langsung menuntunnya menuju dapur. Gagak itu banyak membantu, mengarahkan ini itu, tentunya ia melakukannya atas izin Tuan Minos.
“Kenapa kamu bisa lama sekali di luar sana?” Meskipun Tora sudah tahu apa yang terjadi, tetap saja ia ingin mendengar jawaban gadis itu. Barangkali ia bisa mendapat informasi sesuatu.
Naina yang sibuk memotong-motong sayuran lantas menyahut tanpa mengalihkan pandangan, “Sebenarnya banyak hal yang tidak kumengerti. Salah satunya soal laranganmu yang mengatakan bahwa di hutan sana amat berbahaya, dua kali aku keluar kastil ini, selama di luar tidak ada hal yang aku takuti.”
“Justru aku malah bertemu binatang-binatang yang pandai bicara, mereka baik hati, mau membantu tugasku. Aku tidak tahu mereka datang dari mana dan mengapa mereka bisa berbicara, hanya saja aku merasa nyaman saat disambut baik oleh mereka,” imbuh Naina, senyuman kecil terukir di wajahnya.
Tora angguk-angguk. Berpikir sejenak.
“Apa kau tahu siapa mereka?” Naina bertanya kemudian, “Aku yakin kamu sudah tahu siapa ‘mereka’ yang kumaksud. Secara kamu pasti sedikit banyaknya melihatku dari bola sihir milik Tuan Minos.” Matanya berputar, tampak berpikir. “Atau mungkin justru Tuan Minos yang tahu dan bisa menjelaskan soal ini?”
Gagak yang singgah di pundak gadis itu langsung menggeleng, tidak tahu. “Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu. Karena memang hal seperti ini baru pertama kali terjadi. Dan hal yang paling menakjubkan adalah ketika kamu mampu membawa bunga mawar biru dengan selamat, padahal sebelumnya banyak yang gugur. Bahkan sebelum sampai di bukit.”
Mendengar jawaban tersebut, Naina kembali fokus memasak. Ikan segar yang ditangkapnya sudah dimasak, ditata rapih di atas piring bundar, saus tomat andalannya disiram ke atas permukaan ikan, tampilannya semakin menggugah selera.
“Di punggung perbukitan, banyak sekali kentang yang siap dipanen. Tidak tahu siapa yang menanam. Tapi aku langsung teringat bahwa Tuan Minos membenci kentang. Jadi aku memilih untuk tidak mengambilnya,” tutur Naina sedikit bercerita.
“Kau melakukan hal yang benar,” kekeh Tora menanggapi.
“Tapi apa kau tahu alasan mengapa Tuan Minos tidak menyukai kentang? Karena bagiku, semua orang di dunia ini harus suka kentang! Makanan paling enak dan sangat mengenyangkan, dulu aku hampir tiap hari memakan kentang.” Naina melanjutkan cerita.
Sedikit mengingat kehidupannya bersama ibu tiri dan dua saudara tirinya, bagi Naina kentang adalah makanan paling mewah yang pernah dirinya makan. Kentang rebus dengan saus tomat adalah perpaduan yang sempurna, bahkan jika hanya dirinya yang tak diberi ikan ataupun daging itu tidak masalah asalkan masih ada kentang.
“Sayangnya tidak semua orang akan menyukai apa yang kita sukai, Naina. Mungkin memang selera Tuan Minos bukan kentang yang amat kau sanjung barusan,” timpal Tora yang dibubuhi kekehan tipis.
Tapi Naina merasa memang ada suatu hal dibalik alasan mengapa suaminya itu tidak menyukai kentang. Lebih dari tidak menyukai, Tuan Minos bahkan amat membenci kentang. Apapun alasannya, Naina yakin itu bukan sebuah alasan sepele.
“Sepertinya itu lezat,” kata Tora yang mabuk dengan aroma dari masakan yang menguar memenuhi area dapur.
“Ya, sebentar lagi akan selesai. Ini akan sempat sebelum matahari tenggelam. Jadi, tolong panggilkan Tuan Minos untuk segera turun. Kita akan makan malam bersama setelah aku memindahkan semua makanan ini ke ruangan utama,” pinta Naina yang kemudian lantas diangguki oleh Tora.
Sementara burung gagak tadi sudah melesat meninggalkan dapur, Naina bergegas membawa masakan yang sudah selesai keluar dengan hati-hati. Pandangannya sesaat terhenti pada satu set meja makan yang teronggok di sudut dapur, berdebu dan penuh dengan jaring laba-laba.
Naina tidak mengerti, mengapa Tuan Minos memilih makan di meja panjang yang berada di ruangan utama ketimbang di sini. Meskipun banyak hal yang tidak dimengerti, Naina hanya bisa diam tanpa banyak bertanya, menjaga agar tidak berada dalam situasi berbahaya.
Selesai menaruh piring-piring berisi masakan ke atas meja panjang dan menyusunnya dengan rapih, Naina juga menarik kursi untuk diduduki Tuan Minos ketika pria itu sudah berjalan mendekat. Sebisa mungkin Naina menghindari pandangan, bulu kuduknya meremang sempurna saat merasakan atmosfer yang berubah semenjak kedatangan Tuan Minos.
Pria dengan tudung yang menutupi wajah masih belum mengatakan apa-apa, tidak juga melihat ke arah Naina, tapi ia tahu samar-samar melalui ekor mata dan mendengar derit lantai bergesekan dengan kaki kursi yang ditarik, gadis itu hendak duduk di sampingnya.
Tapi...
“Kenapa?”
Pertanyaan Tuan Minos menghentikan gerakan bokong Naina yang nyaris mendarat, sehingga urung niatnya membuat tubuhnya mengambang sesaat sebelum akhirnya kembali berdiri tegap.
“Maaf, Tuan?” Naina mengerutkan dahi penuh kebingungan.
Tora yang berada di seberang meja sontak mengamati sepasang suami-istri tersebut secara bergantian. Mulai mengendus akan ada perdebatan yang terjadi, dan selalu dimulai oleh Tuannya.
“Kenapa kau menarik kursi?” Ujung garpu di tangannya ia ketuk-ketukan ke atas meja, pandangannya masih setia lurus ke depan, tapi pertanyaannya barusan sukses membuat Naina canggung setengah mati.
“Ten-tu karena aku akan ikut makan malam ber—”
“Memangnya aku mengizinkan?” Kali ini kepalanya menoleh sempurna, mata biru terangnya bertemu pandang dengan jelaga hitam Naina.
Tidak ada sahutan apa-apa. Naina kadung sakit hati, merasa kehadirannya tidak dihargai dan tidak diinginkan. Apa bedanya dirinya dengan pembantu? Yang membedakan hanya statusnya saja.
Tapi tak apa, hal seperti bukan pertama kali ia rasakan. Jadi Naina sudah pandai mengatur emosi dan menutupi rasa sakit hatinya, bahkan senyuman masih sempat terbit di wajahnya yang kaku.
“Lihatlah dirimu!” Tuan Minos memandangi Naina dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan datar. “Mana mungkin aku membiarkanmu menduduki kursi itu dan ikut bergabung di sini dengan penampilanmu yang kotor seperti itu.”
“Bawa makananmu ke belakang, jangan makan di sini!” imbuhnya sambil mendesis, pandangannya sudah beralih kembali ke depan.
Naina mengangguk pasrah. “Baik, Tuan.”
Tora yang merasa kasihan pada gadis itu, tak mampu melakukan apa-apa. Dirinya tidak punya kuasa apapun untuk menghentikan ataupun menasehati, terlebih terang-terangan membelanya di depan Tuan Minos.
Seiring langkah Naina yang menjauh, Tuan Minos mulai fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Mengambil ikan yang terhidang, sayur hijau sebagai pelengkap, lalu mulai mengayunkan sendok ke dalam mulut.
Ketika suapan pertama berhasil dikunyah, menyatu dalam lidah, seperkian detik pria bertudung itu termangu tanpa berkedip. Bahkan tangannya yang masih memegang sendok nampak membeku, tatapan matanya kosong tapi pikirannya melambung jauh ke masa lalu.
“Tuan? Ada apa?” Tora menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Tuannya.
Namun Tuan Minos tidak menanggapi apa-apa, pandangannya jatuh pada makanan di piringnya. Daging ikan yang baru secuil dimakan, sekarang dengan lahap ia kunyah. Sebelah tangannya menarik ujung tudung ke depan, semakin menutupi wajahnya hingga yang terlihat hanya mulut yang sibuk mengunyah.
Tora tersenyum. Menunggu sampai Tuan Minos memberi komentar.
Sementara itu, Naina yang mengamati dari ujung pintu ikut tersenyum juga. Hatinya menghangat melihat suaminya itu begitu lahap memakan masakannya, pertanda bahwa malam ini dirinya berada dalam zona aman.
“Banyak hal menyakitkan yang kuterima, tapi tugasku hanya mengabdi sebagai istrimu, Tuan. Akan kujalani kehidupan ini dengan penuh rasa syukur, menanti dengan sabar ada apa di ujung takdir ini,” gumam Naina sambil menyusut air matanya yang nyaris jatuh.
***